Niat adalah sesuatu yang sangat pokok dalam
pelaksanaan ibadah. Kadang-kadang menentukan sah atau tidaknya suatu ibadah
yang dikerjakan. Dalam hadits dijelaskan :
عَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَيَقُولُ إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Dari Umar bin Khoththob ra, katanya dia mendengar Rosulullah
saw, bersabda : Tiap-tiap amal tergantung dengan niatnya. Balasan bagi setiap
amal manusia, ialah pahala bagi apa yang diniatkannya. (H. R. Bukhari no. 1)
Di
dalam shalat ada tata cara tertentu yang mesti dilakukan dalam berniat. Dalam
madzhab Syafi’i, satu hal yang paling mendasar yang mesti diperhatikan adalah
bahwa niat shalat dilakukan di dalam hati bersamaan dengan pengucapan
takbiratul ihram. Mengucapkan niat shalat dengan mulut sebelum takbratul ihram
adalah bukan kewajiban namun suatu kesunnahan untuk dapat membantu hati
mengucapkannya pada saat mulut mengucapkan takbiratul ihram
Imam Ramli dalam kitabnya menegaskan :
( وَيُنْدَبُ النُّطْقُ )
بِالْمَنْوِيِّ (قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ
وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنِ الْوَسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ خِلَافِ مَنْ
أَوْجَبَهُ
Dan Disunnahkan
melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar lisan dapat membantu
(kekhusyukan) hati, untuk menjauhkan was-was, dan untuk menghindar dari perbedaan pendapat karena
ada orang yang mewajibkan melafalkan niat. (Kitab Nihayah
Al-Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj, Juz IV, halaman 54)
Sebagai
gambaran bisa dicontohkan, bila seorang yang hendak melakukan shalat sebelum
mengucapkan takbiratul ihram ia mengucapkan niat dengan mulutnya, namun saat
takbiratul ihram hatinya tidak mengucapkan niat tersebut maka tidak sah niatnya
dan karenanya tidak sah pula shalatya.
Berikutnya,
orang yang hendak melakukan shalat sebelum mengucapkan takbiratul ihram ia diam
saja, tidak mengucapkan niat dengan mulutnya, namun pada saat mengucapkan
takbiratul ihram dibarengi hatinya mengucapkan niat maka sah niatnya.
Yang
sunnah adalah bila seorang hendak melakukan shalat sebelum mengucapkan
takbiratul ihram ia mengucapkan niat dengan mulutnya, lalu ketika mengucapkan
takbiratul ihram hatinya membarengi dengan mengucapkan niat.
Dari
gambaran-gambaran tersebut maka seandainya terjadi kesalahan pengucapan niat di
mulut namun benar pengucapannya di dalam hati maka niat tersebut dianggap sah
karena yang dipakai adalah niat yang ada di dalam hati. Sebagai contoh, orang
yang hendak melakukan shalat maghrib sebelum takbiratul ihram mulutnya
mengucapkan niat dengan menyebut shalat isya, sementara ketika takbiratul ihram
hatinya berniat dengan menyebutkan shalat maghrib maka sah niat dan shalatnya.
Namun bila yang terjadi sebaliknya maka tidak sah niat dan shalatnya.
Syaikh
Salim bin Sumair Al-Hadhrami dalam kitabnya mengatakan :
اَلنِّيَّةُ ثَلَاثُ دَرَجَاتٍ: اِنْ كَانَتِ الصَّلَاةُ فَرْضًا
وَجَبَ قَصْدُ الْفِعْلِ وَالتَّعْيِيْنُ وَالْفَرْضِيَّةُ وَاِنْ كَانَتْ نَافِلَةً
مُؤَقَّتَةً كَرَاتِبَةٍ اَوْ ذَاتَ سَبَبٍ وَجَبَ قَصْدُ الْفِعْلِ وَالتَّعْيِيْنُ
وَاِنْ كَانَتْ نَافِلَةً مُطْلَقَةً وَجَبَ قَصْدُ الْفِعْلِ فَقَطْ
Niat
shalat itu ada tiga tingkatan, bila shalatnya fardlu maka wajib memenuhi unsure
: Menyengaja melakukan pekerjaan (qashdul fi’li), menentukan shalatnya
(ta’yin), dan menyebutkan kefardluan (fardliyah). Bila shalatnya sunnah yang
tertentu waktunya seperti shalat rawatib atau shalat yang memiliki sebab maka
niatnya wajib memenuhi unsure : Menyengaja
melakukan pekerjaan dan menentukan shalatnya. Dan bila shalatnya sunah mutlak
maka niatnya wajib memenuhi unsur menyengaja melakukan pekerjaan saja ( Kitab
Safinatun Najah , halaman 33)
Lebih
lanjut apa yang disampaikan Syekh Salim di atas dijelaskan oleh Syekh Nawawi
Banten dalam kitabnya Kasyifatus Saja dengan penjelasan sebagai berikut:
1.
Niat shalat fardlu harus mencakup tiga unsur yakni qashdul fi’li, ta’yin dan fardliyah.
Yang
dimaksud dengan qashdul fi’li adalah berniat melakukan shalat dimana dalam
kalimat niat berupa kata ushollii yang berarti saya berniat shalat. Adapun yang
dimaksud ta’yin adalah menentukan nama shalatnya seperti maghrib, isya atau
lainnya. Sedangkan yang dimaksud fardliyah adalah menyebutkan kata fardla pada
saat berniat.
Dengan
demikian maka kalimat niat untuk shalat fardlu, semisal shalat madhrib adalah:
اُصَلِّى فَرْضَ الْمَغْرِبِ
Ushallii fardlal
maghribi (Saya berniat shalat fardlu maghrib)
2.
Niat shalat sunah yang telah ditentukan waktunya atau shalat sunah yang
memiliki sebab dalam niatnya wajib memuat dua unsur yakni qashdul fi’li dan
ta’yin.
Shalat
yang telah ditentukan waktunya seperti shalat dluha, shalat tahajud, shalat tarawih
dan lainnya. Sedangkan shalat yang memiliki sebab seperti shalat istisqa,
shalat hajat, shalat gerhana dan lainnya.
Dengan
demikian maka kalimat niat untuk shalat sunnah, semisal shalat tahajud adalah:
اُصَلِّى التَّهَجُّدِ
Ushallit
tahajjuda (Saya berniat shalat tahajud)
3.
Niat shalat sunah mutlak cukup hanya dengan memenuhi unsur qashdul fi’li saja.
Yang
disebut shalat sunah mutlak adalah shalat sunah yang tidak terikat oleh waktu
dan sebab tertentu. Sebagai gambaran, bila sewaktu-waktu tanpa sebab tertentu seseorang
ingin melakukan shalat sunah maka shalat yang dilakukannya itu adalah shalat
sunah mutlak.
Kalimat
niat untuk shalat ini cukup dengan kata:
اُصَلِّى
Ushollii (Saya
berniat shalat)
Kalimat-kalimat
niat tersebut di atas sudah mencukupi tanpa harus ada tambahan kata mustaqbilal
qiblati, adâ’an, lillâhi ta’âlâ atau penyebutan jumlah bilangan rakaat seperti
rak’ataini, arba’a raka’âtin atau tsalâtsa raka’âtin. Karena kata-kata tambahan
tersebut berstatus hukum sunah. Bila yang bersangkutan menyebutkan bilangan
rakaat namun salah tidak sesuai dengan bilangan yang semestinya maka menjadikan
shalatnya tidak sah. Seperti mau melakukan shalat dhuhur tapi dalam niatnya
menyebutkan tiga rakaat.
Bila
orang yang mau melakukan shalat secara berjamaah dan ia sebagai makmum maka
pada niatnya harus ditambahi kata ma’muuman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar