Rabu, 07 Mei 2025

Hukum Mufaraqah Dalam Shalat



 Dalam melaksanakan shalat berjamaah, kadang muncul problem yang perlu disikapi dalam tinjauan syara’. Misalnya tentang perincian dan aturan hukum memisahkan diri dari imam di pertengahan melaksanakan shalat berjamaah, atau biasa disebut dengan istilah mufaraqah.  Mufaraqah sendiri dapat terjadi ketika makmum melakukan niat memisahkan diri dari imam dengan melaksanakan shalat secara sendiri-sendiri. Misalnya dalam hati makmum melafalkan niat Nawaitu mufaraqatal imam atau Nawaitul mufaraqah minal imam, atau Saya berniat memisahkan diri dari imam.

Dalam hukum mufaraqah terdapat lima perincian hukum yang berlaku bagi makmum, sesuai keadaan dan kondisi yang terjadi pada saat shalat berjamaah. Syaikh Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi dalam kitabnya menjelaskan :

  الْحَاصِلُ أَنَّ قَطْعَ الْقُدْوَةِ تَعْتَرِيْهِ اْلأَحْكَامُ الْخَمْسَةُ وَاجِباً كَأَنْ رَأَى إِمَامَهُ مُتَلَبِّسًا بِمُبْطِلٍ وَسُنَّةٍ لِتَرْكِ اْلإِمَامِ سُنَّةً مَقْصُوْدَةً وَمُبَاحًا كَأَنْ طَوَّلَ اْلإِمَامُ وَمَكْرُوْهاً مُفَوِّتاً لِفَضِيْلَةِ الْجَمَاعَةِ إِنْ كَانَ لِغَيْرِ عُذْرٍ وَحَرَاماً إِنْ تَوَقَّفَ الشِّعَارُ عَلَيْهِ أَوْ وَجَبَتِ الْجَمَاعَةُ كَالْجُمْعَةِ

Kesimpulannya, memutus hubungan dengan imam terdapat lima rincian hukum. Pertama, wajib, seperti saat makmum melihat imam melakukan hal yang membatalkan shalat. Kedua, sunnah, yakni ketika imam meninggalkan sebuah kesunnahan yang dianjurkan (dalam shalat). Ketiga, mubah, seperti ketika imam memanjangkan shalat. Keempat, makruh dan dapat menghilangkan keutamaan shalat jamaah, yakni ketika mufaraqah tanpa adanya udzur. Kelima, haram, Yakni ketika syiar shalat berjamaah hanya terwujud pada dirinya atau ketika jamaah merupakan suatu kewajiban, seperti pada shalat Jumat. (Kitab Bughyatul –Mustarsyidin, Juz I, halaman 153)  -

Sebagai penjelasannya :

Pertama adalah wajib. Kondisi yang mewajibkan makmum mufaraqah adalah jika dia tahu bahwa shalat imam batal, baik karena imam terkena najis atau melakukan perkara yang membatalkan salat. Misalnya, makmum melihat najis yang mengenai imam atau melihat sebagian aurat imam terbuka karena sarungnya bolong.

Kedua adalah sunnah. Jika imam sengaja meninggalkan perbuatan yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan di dalam salat, maka makmum disunnahkan mufaraqah dari imam tersebut. Misalnya, imam sengaja meninggalkan tasyahud awal atau qunut, dalam kondisi seperti ini makmum disunnahkan mufaraqah agar bisa melakukan tasyahud awal atau qunut.

Ketiga adalah mubah. Jika imam memanjangkan shalat, maka makmum dibolehkan mufaraqah. Misalnya, imam rukuk atau sujud terlalu lama, atau membaca surah yang panjang. Dalam kondisi seperti ini, makmum dibolehkan memilih antara terus berjamaah bersama imam atau mufaraqah.

Keempat adalah makruh. Makmum dihukumi makruh mufaraqah dari imam jika tidak ada udzur tertentu yang membolehkan mufaraqah. Misalnya, makmum mufaraqah dari imam padahal imam tidak melakukan perkara yang membatalkan shalat, tidak meninggalkan perkara yang sangat disunahkan dalam shalat atau imam tidak memanjangkan bacaan surah Al-Qur’an. Dalam kondisi seperti ini, makmum dihukumi makruh mufaraqah dari imam dan dapat kehilangan keutamaan shalat berjamaah.

Kelima adalah haram. Dalam shalat yang wajib dilaksanakan berjamaah, makmum haram mufaraqah dari imam. Misalnya shalat Jumat. Dalam shalat Jumat, makmum haram mufaraqah karena shalat Jumat wajib dilakukan secara berjamaah.

Hendaknya bagi orang yang melaksanakan shalat berjamaah, khususnya para makmum agar betul-betul memahami ketentuan serta perincian hukum tentang mufaraqah ini, hal ini dimaksudkan agar makmum betul-betul dapat menyikapi berbagai problem dalam shalat berjamaah, khususnya yang berkaitan dengan perbuatan imam shalatnya. Dengan begitu shalat berjamaah yang dilakukan dapat berjalan dengan baik dan benar. 

Selasa, 06 Mei 2025

Bacaan Saat Khotib Duduk di Antara Dua Khutbah

 


Salah satu Syarat sahnya khutbah Jum'at adalah duduk di antara dua khutbah, lalu saat khatib duduk di antara dua khutbah, bacaan apa yang sebaiknya dibaca oleh khatib dan jamaah shalat Jumat?

Untuk khatib yang sedang duduk di antara dua khutbah dianjurkan membaca surat Al-Ikhlas.

Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya menyatakan :

ذُكِرَ فِي الْعُبَابِ أَنَّهُ يُسَنُّ لَهُ قِرَاءَةُ سُوْرَةِ الْإِخْلَاصِ وَقُلْتُ فِي شَرْحِهِ لَمْ أَرَ مَنْ تَعَرَّضَ لِنَدْبِهَا بِخُصُوْصِهَا فِيْهِ وَيُوَجَّهُ بِأَنَّ السُّنَّةَ قِرَاءَةُ شَيْءٍ مِنَ الْقُرْآنِ فِيْهِ كَمَا يَدُلُّ عَلَيْهِ رِوَايَةُ ابْنِ حِبَّانَ كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي جُلُوْسِهِ مِنْ كِتَابِ اللهِ وَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ السُّنَّةَ ذَلِكَ فَهِيَ أَوْلَى مِنْ غَيْرِهَا لِمَزِيْدِ ثَوَابِهَا وَفَضَائِلِهَا وَخُصُوْصِيَّاتِهَا

Disebutkan dalam kitab Al-‘Ubab, bahwa disunahkan bagi khatib membaca Surat Al-Ikhlas. Dalam penjelasannya atas kitab tersebut aku mengatakan, aku tidak melihat satu pun ulama yang menjelaskan tentang kesunahan membaca surat Al-Ihlas bagi khatib secara khusus saat ia duduk di antara dua khutbah. Sisi pandang kesunahannya adalah bahwa perkara yang sunah dilakukan khatib adalah membaca ayat suci Al-Qur’an saat ia duduk di antara dua khutbah sebagaimana yang ditunjukan oleh hadits riwayat Ibnu Hibban bahwa Rasulullah saw membaca ayat suci Al-Qur’an dalam duduknya di antara dua khutbah. Bila demikian sunahnya, maka surat Al-Ikhlas lebih utama untuk dibaca dari pada yang lain, karena pahala, keutamaan dan kekhusuan yang dimilikinya melebihi ayat Al-Qur’an lainnya”. (Kitab Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, Juz II, halaman 469) 

Sementara bagi jamaah shalat Jumat, yang dianjurkan adalah menyibukan diri dengan berdoa. Sebab berdoa pada saat khatib duduk di antara dua khutbah mustajab (dikabulkan)  oleh Allah.

Dalam hadits disebutkan :

عَنْ أَبِى بُرْدَةَ بْنِ أَبِى مُوسَى الْأَشْعَرِىِّ قَالَ قَالَ لِى عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ أَسَمِعْتَ أَبَاكَ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى شَأْنِ سَاعَةِ الْجُمُعَةِ قَالَ قُلْتُ نَعَمْ سَمِعْتُهُ يَقُوْلُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ هِىَ مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الْإِمَامُ إِلَى أَنْ تُقْضَى الصَّلاَةُ

Dari Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asy'ari ia berkata, Abdullah bin Umar bertanya padaku : Apakah kamu pernah mendengar ayahmu meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw perihal satu waktu (yang mustajab) pada hari Jum'at? Abu Burdah berkata, Saya menjawab : Ya, aku mendengarnya, ia berkata, Aku mendengar Rasulullah saw bersabda : Waktunya ialah antara imam duduk (di mimbar) hingga selesai shalat Jum'at. (H. R. Muslim no. 2012, Abu Daud no. 1051)

Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya menyatakan :

 وَيُؤْخَذُ مِمَّا ذُكِرَ عَنِ الْقَاضِي أَنَّ السُّنَّةَ لِلْحَاضِرِيْنَ اْلِاشْتِغَالُ وَقْتَ هَذِهِ الْجِلْسَةِ بِالدُّعَاءِ لِمَا تَقَرَّرَ أَنَّهُ مُسْتَجَابٌ حِيْنَئِذٍ وَإِذَا اشْتَغَلُوْا بِالدُّعَاءِ فَالْأَوْلَى أَنْ يَكُوْنَ سِرًّا لِمَا فِي الْجَهْرِ مِنْ التَّشْوِيْشِ عَلَى بَعْضِهِمْ وَلِأَنَّ الْإِسْرَارَ هُوَ الْأَفْضَلُ فِي الدُّعَاءِ إلَّا لِعَارِضٍ

Dan dapat diambil kesimpulan dari statemen Al-Qadli Husain bahwa sunah bagi hadirin jamaah Jumat adalah menyibukan diri dengan berdoa saat duduknya khatib di antara dua khutbah, sebab telah dinyatakan bahwa berdoa pada waktu tersebut mustajab. Saat mereka berdoa, yang lebih utama adalah dibaca dengan pelan, sebab membaca dengan keras dapat mengganggu jamaah Jumat yang lain dan karena membaca dengan suara pelan adalah cara yang lebih utama dalam berdoa kecuali terdapat kondisi baru datang yang menuntut dibaca dengan keras. (Kitab Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, Juz II, halaman 469)


Senin, 05 Mei 2025

Doa di Antara Dua Khutbah Mustajab

 


عَنْ أَبِى بُرْدَةَ بْنِ أَبِى مُوسَى الْأَشْعَرِىِّ قَالَ قَالَ لِى عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ أَسَمِعْتَ أَبَاكَ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى شَأْنِ سَاعَةِ الْجُمُعَةِ قَالَ قُلْتُ نَعَمْ سَمِعْتُهُ يَقُوْلُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ هِىَ مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الْإِمَامُ إِلَى أَنْ تُقْضَى الصَّلاَةُ

Dari Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asy'ari ia berkata, Abdullah bin Umar bertanya padaku : Apakah kamu pernah mendengar ayahmu meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw perihal satu waktu (yang mustajab) pada hari Jum'at? Abu Burdah berkata, Saya menjawab : Ya, aku mendengarnya, ia berkata, Aku mendengar Rasulullah saw bersabda : Waktunya ialah antara imam duduk (di mimbar) hingga selesai shalat Jum'at. (H. R. Muslim no. 2012, Abu Daud no. 1051

Sabtu, 03 Mei 2025

Hukum Non Muslim Berkurban


 

Berkurban memiliki sisi positif tidak hanya berkaitan dengan penghambaan kepada Sang Khaliq, tapi juga sebagai bentuk solidaritas kepada sesama. Oleh karenanya, pahala berkurban sangat besar sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hadits Nabi. Dalam realitasnya, saat musim kurban berlangsung, tidak hanya kalangan umat Islam yang berpartisipasi, tapi non-Muslim juga kadang ikut ambil bagian.

Biasanya pengusaha non Muslim atau dari kalangan yang lain turut serta menyumbangkan binatang kurban, mereka memasrahkannya kepada panitia atau tokoh agama lainnya untuk disembelih dan dibagikan pada saat momen lebaran haji.   Pertanyaannya adalah, bagaimana status kurban non Muslim tersebut? Apa sikap yang harus dilakukan panitia atau tokoh agama saat dipasrahi binatang kurban dari non Muslim?  

Imam Bukhari dalam kitab sahihnya menegaskan kebolehan menerima pemberian hadiah dari non Muslim dengan mengutip beberapa hadits yang menjadi tendesi atas pendapatnya, yaitu :

بَاب قَبُوْلِ الْهَدِيَّةِ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. وَقَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَاجَرَ إِبْرَاهِيٍمُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ بِسَارَةَ فَدَخَلَ قَرْيَةً فِيْهَا مَلِكٌ أَوْ جَبَّارٌ فَقَالَ أَعْطُوْهَا آجَرَ. وَأُهْدِيَتْ لِلنَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاةٌ فِيْهَا سُمٌّ . وَقَالَ أَبُوْ حُمَيْدٍ أَهْدَى مَلِكُ أَيْلَةَ لِلنَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَغْلَةً بَيْضَاءَ ، وَكَسَاهُ بُرْدًا ، وَكَتَبَ لَهُ بِبَحْرِهِمْ .

Bab (kebolehan) menerima hadiah dari orang-orang musyrik. Abu Hurairah berkata dari Nabi saw bahwa Nabi Ibrahim Hijrah bersama Sarah (istrinya), lalu memasuki daerah yang di dalamnya ada sosok raja atau sang diktator, sang raja berkata, berilah dia hadiah. Nabi Muhammad diberi hadiah kambing yang terdapat racunnya. Abu Hamid berkata; Raja Ayla memberi hadiah kepada Nabi keledai putih dan selimut serta menyurati Nabi di Negara mereka,” (Kitab shahih Bukhari, Juz IX, halaman 384)

Syaikh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam komentarnya atas referensi di atas mengatakan bahwa pendapat al-Bukhari tegas mengenai kebolehan menerima hadiah non-Muslim. Menurut al-Asqalani, al-Bukhari secara tidak langsung  memvonis lemah riwayat lain yang melarang pemberian non Muslim.  

Syaikh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya menjelaskan :

قَوْلُهُ : ( بَاب قَبُوْلِ الْهَدِيَّةِ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ ) أَيْ جَوَاز ذَلِكَ وَكَأَنَّهُ أَشَارَ إِلَى ضَعْفِ الْحَدِيْثِ الْوَارِدِ فِي رَدِّ هَدِيَّةِ الْمُشْرِكِ

Ucapannya (Imam Bukhari) ; Bab menerima hadiah dari orang-orang musyrik. Maksudnya kebolehan menerimanya. Imam Bukhari seakan-akan memberi isyarat tentang lemahnya hadits yang menolak hadiah orang musyrik. (Kitab  Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, Juz VIII, halaman 110)

Syaikh Ibnu Hajar Al-Asqalan juga mengutip beberapa pendapat ulama yang mengkomparasikan beberapa hadits yang bertentangan mengenai masalah tersebut. Menurutnya, pendapat yang kuat adalah bahwa hadits yang melarang menerima pemberian non-Muslim konteksnya adalah pemberian yang terindikasi kuat bertujuan menghancurkan orang Islam atau berdampak merugikan mereka. Sedangkan hadits yang membolehkannya diarahkan kepada tujuan menghibur dan kepentingan mendakwahkan Islam

وَأَوْرَدَ الْمُصَنِّفُ عِدَّةَ أَحَادِيِثَ دَالَّةٍ عَلَى اَلْجَوَازِ فَجَمَعَ بَيْنَهَا اَلطَّبَرِيُّ بِأَنَّ اْلِامْتِنَاعَ فِيْمَا أُهْدِيَ لَهُ خَاصَّة وَالْقَبُوْل فِيْمَا أُهْدِيَ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَفِيْهِ نَظَرٌ لِأَنَّ مِنْ جُمْلَةِ أَدِلَّةِ اَلْجَوَازِ مَا وَقَعَتِ الْهَدِيَّة فِيْهِ لَهُ خَاصَّة ، وَجَمَعَ غَيْرُهُ بِأَنَّ اْلِامْتِنَاعَ فِي حَقِّ مَنْ يُرِيْدُ بِهَدِيَّتِهِ التَّوَدُّدَ وَالْمُوَالَاةَ وَالْقَبُوْلَ فِي حَقِّ مَنْ يُرْجَى بِذَلِكَ تَأْنِيْسُهُ وَتَأْلِيْفُهُ عَلَى الْإِسْلَامِ وَهَذَا أَقْوَى مِن الْأَوَّلِ

Sang pengarang (Imam Bukhari) menyebutkan beberapa hadits yang menunjukkan kebolehan menerima hadiah non Muslim. Imam Thabari mengomparasikan bahwa penolakan Nabi diarahkan kepada hadiah yang secara khusus diberikan kepada beliau, dan hadits yang menerima diarahkan kepada pemberian untuk orang-orang Islam secara umum. Pendapat ini perlu dikaji ulang, sebab di antara dalil yang membolehkan adalah hadiah yang secara khusus diberikan kepada Nabi. Ulama lain memberikan jalan tengah bahwa penolakan Nabi konteksnya adalah non Muslim yang bertujuan konspirasi (jahat), dan penerimaan Nabi konteksnya adalah non Muslim yang dengan menerima hadiahnya dimaksudkan menghibur dan memberinya simpati agar masuk Islam. Ini adalah pendapat yang lebih kuat dibandingkan yang pertama. (Kitab  Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, Juz VIII, halaman 110)

status hukum kurbannya non Muslim adalah tidak sah sebagai kurban. Namun pemberian  binatang kurban dari mereka tetap boleh diterima oleh orang Islam atas nama sedekah, bahkan menjadi langkah yang tepat untuk menjaga keharmonisan antar umat beragama. Binatang pemberian non Muslim tersebut halal dimakan dengan syarat penyembelihnya adalah orang Islam

Selasa, 29 April 2025

Bolehkan Non Muslim Ikut Patungan Kurban Sapi

 


Pada umumnya patungan kurban sapi itu adalah tujuh orang, lalu bagaimana kalau yang satu orang itu non muslim, apakah enam orang yang kurban itu sah kurbannya.

Jika ada non muslim (kafir dzimmi) bergabung dalam patungan sapi, maka tidak merusak niat peserta yang lain dalam berkurban. Meskipun perlu kita fahami bahwa patungan non muslim tersebut bukan kurban tapi pemberian pada umumnya karena kurban adalah ibadah yang hanya sah dari seorang muslim.

 Imam Nawawi dalam kitabnya menyebutkan

يجوز أن يشترك سبعة في بدنة أو بقرة للتضحية سواء كانوا كلهم أهل بيت واحد أو متفرقين أو بعضهم يريد اللحم فيجزئ عن المتقرب وسواء كان أضحية منذورة أو تطوعا هذا مذهبنا وبه قال أحمد وداود وجماهير العلماء الا أن داود جوزه في التطوع دون الواجب وبه قال بعض أصحاب مالك وقال أبو حنيفة ان كانوا كلهم متفرقين جاز وقال مالك لا يجوز الاشتراك مطلقا كما لا يجوز في الشاة الواحدة

Boleh patungan tujuh orang untuk seekor onta atau sapi, baik mereka semua satu rumah, atau dari keluarga yang berbeda, atau ada sebagian yang tidak berniat kurban karena hanya menginginkan dagingnya dan sah untuk yang berniat kurban, baik kurban nadzar atau kurban sunah. Inilah pendapat madzhab kami (syafiiyah), dan ini pendapat Imam Ahmad, Daud (Azh-Zhahiri) serta mayoritas ulama. Hanya saja, Daud membolehkan patungan jika kurbannya bukan kurban wajib. Dan ini pula yang menjadi pendapat sebagian Malikiyah. Sementara Abu Hanifah mengatakan, Jika mereka semua niatnya untuk kurban, boleh patungan. Kemudian Imam Malik mengatakan, Tidak boleh patungan secara mutlak, sebagaimana tidak boleh patungan untuk seekor kambing.  (Kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Juz VIII, halaman 398)

Status hukum kurbannya non-Muslim adalah tidak sah sebagai kurban. Namun pemberian daging binatang kurban dari mereka tetap boleh diterima oleh orang Islam atas nama sedekah, bahkan menjadi langkah yang tepat untuk menjaga keharmonisan antar umat beragama. Binatang pemberian non-Muslim tersebut halal dimakan dengan syarat penyembelihnya adalah orang Islam (sesuai dengan Syariat).

Dalam Al-Qur'an disebutkan :

وَلاَ تَأْكُلُوْا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لَيُوْحُوْنَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوْهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُوْنَ

Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. (Q.S.  Al-An'aam, ayat  121)


Senin, 28 April 2025

Bolehkah Khotib Minum Saat Berkhutbah

 


Minum pada saat khutbah sedang berlangsung karena haus adalah diperbolehkan, baik bagi jamaah maupun bagi khatib. Berbeda jika meminumnya bukan karena untuk menghilangkan rasa haus, tetapi karena hanya ingin bersenang-senang saja atau sekadar ingin minum padahal tidak haus.

Imam Nawawi dalam kitabnya menjelaskan :

يُسْتَحَبُّ لِلْقَوْمِ اَنْ يُقْبِلُوا عَلَى الْخَطِيبِ مُسْتَمِعِينَ وَلَا يَشْتَغَلُوا بِغَيْرِهِ حَتَّى قَالَ اَصْحَابُنَا يُكْرَهُ لَهُمْ شُرْبُ الْمَاءِ لِلتَّلَذُّذِ وَلَا بَأْسَ يَشْرَبُهُ لِلْعَطَشِ لِلْقَوْمِ وَالْخَطيبِ هَذَا مَذْهَبُنَا، قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ رَخَّصَ فِي الشُّرْبِ طَاوُسٌ وَمُجَاهِدٌ وَالشَّافِعِيُّ وَنَهَي عَنْهُ مَالِكٌ وَالْاَوْزَاعِيُّ وَاَحْمَدُ وَقَالَ الْاَوْزَاعِيُّ تَبْطُلُ الْجُمُعَةُ إِذَا شَرِبَ وَالْاِمَامُ يَخْطُبُ وَاخْتَارَ ابْنُ الْمُنْذِرِ اَلْجَوَازَ قَالَ وَلَا اَعْلَمُ حُجَّةً لِمَنْ مَنَعَهُ قَالَ الْعَبْدَرِىُّ قَوْلُ الْاَوْزَاعِيِّ مُخَالِفٌ لِلْاِجْمَاعِ

Sunah bagi jamaah shalat Jumat untuk menghadap khatib seraya menyimak baik-baik isi khutbahnya dan tidak boleh menyibukkan dengan selainnya sehingga para ulama madzhab kami (Madzhab Syafi‘i) berpendapat bahwa makruh bagi mereka minum untuk bersenang-senang, dan tidak menjadi masalah jika meminum karena haus baik bagi jamaah maupun khatibnya, ini adalah pandangan madzhab kami. Ibnul Mundzir mengatakan bahwa Thawus, Mujahid, dan Imam Syafi'i memberikan rukhsah (keringanan). Sedangkan Imam Malik, Al-Auza‘i, dan Imam Ahmad melarang minum saat khutbah sedang berlangsung. Al-Auza‘i berpendapat kebatalan jumatan ketika minum saat imam atau khathib sedang berkhutbah. Sedangkan Ibnul Mundzir memilih pendapat untuk membolehkannya. Ia berkata : Saya tidak tahu hujjah ulama yang melarang minum saat khutbah sedang berlangsung. Sedang Al-Abdari menyatakan : Pendapat Al-Auza‘i menyalahi ijma’ ulama, (Kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Juz IV, halaman 529)

Sabtu, 26 April 2025

Kubur itu Bagaikan Taman Surga

 


عَنْ أَبِى سَعِيْدٍ  قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الْقَبْرُ رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ أَوْ حُفْرَةٌ مِنْ حُفَرِ النَّارِ

Dari Abu Said ia berkata, Rasulullah bersabda : Sesungguhnya kubur itu tak ubahnya bagaikan taman dari taman-taman surga atau lubang dari lubang-lubang neraka. (H. R. Tirmidzi no. 2648)