Jumat, 07 Februari 2025

Khatib Jum'at Tidak Duduk di Antara Dua khutbah

 


Hendaknya khatib mampu menunaikan rukun dan syarat khutbah dengan baik dan benar. Namun karena satu dan lain hal, masih ditemukan beberapa khatib yang kurang memperhatikan syarat atau rukun khutbah ini. Bahkan, tak jarang ada salah satu syarat atau rukunnya yang tertinggal, baik disadari maupun tidak. Ini seringkali menjadi perdebatan di masyarakat. Padahal, syarat dan rukun merupakan dua hal yang wajib ada demi keabsahan ibadah yang bersangkutan. Adapun perbedaan di antara keduanya terletak pada waktu dan tempat. Syarat berada di luar ibadah, sedangkan rukun berada dalamnya.

Salah satu syarat syahnya khutbah adalah duduk di antara dua khutbah, Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhrami, dalam kitabnya Safinatun Najah halaman 18, mengatakan :

(فَصْلٌ) شُرُوْطُ الْخُطْبَتَيْنِ عَشَرَةٌ : اَلطَّهَارَةُ عَنِ الْحَدَثَيْنِ الْأَصْغَرِ وَاْلَأكْبَرِ وَالطَّهَارَةُ عَنِ النَّجَاسَةِ فِيْ الثَّوْبِ وَالْبَدَنِ وَالْمَكَانِ وَسَتْرُ الْعَوْرَةِ وَالْقِيَامُ عَلَى الْقَادِرِ وَالْجُلُوْسُ بَيْنَهُمَا فَوْقَ طُمَأْنِيْنَةِ الصَّلاَةِ وَالْمُوَالَاةُ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ الصَّلاَةِ وَأَنْ تَكُوْنَ بِالْعَرَبِيَّةِ وَأَنْ يُسْمِعَهُمَا أَرْبَعِيْنَ وَأَنْ تَكُوْنَ كُلُّهَا فِيْ وَقْتِ الّظُهْرِ

Syarat syahnya khutbah jum’at ada sepuluh :

1.  Bersih dari hadats kecil (seperti kencing) dan besar seperti junub.

2.  Suci dari najis pada pakaian, badan dan tempatnya

3.  Menutup aurat.

4.  Khutbah disampaikan dengan berdiri bagi yang mampu.

5.  Duduk di antara dua khutbah, selama kira-kira lebih dari ukuran thuma'ninah dalam shalat

6.  Kedua khutbah dilaksanakan dengan berurutan

7.  Khutbah dan shalat Jum’at dilaksanakan secara berurutan.

8.  Kedua khutbah disampaikan dengan bahasa Arab.

9.  Khutbah Jum’at didengarkan oleh 40 orang laki-laki

10. Khutbah Jum’at dilaksanakan dalam waktu Dzuhur.

Hal ini juga berdasarkan hadits nabi :

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَجْلِسُ ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا

Dari Jabir bin Samurah, bahwasanya Rasulullah saw berkhutbah dengan berdiri, lalu duduk kemudian berdiri dan berkhutbah. (H. R. Muslim no. 2033)

Bila khatib itu meninggalkan salah satu syarat syahnya khutbah, seperti tidak duduk di antara dua khutbah maka konsekuensinya, khutbah itu harus diulang lagi dari awal, sebelum shalat Jum'at dilaksanakan. Yang mengulanginya bisa saja sang khatib sendiri, di mana setelah dia turun dari mimbar, harus ada yang mengingatkan bahwa dia lupa membaca salah satu rukunnya, atau boleh saja takmir masjid naik mimbar menyelamatkan shalat Jum'at itu agar menjadi sah. Cukup mengucapkan rukun-rukunnya saja tanpa isi atau keterangan lainnya, seperti dalam khutbah pertama hanya membaca :

اَلْحَمْدُ لِلهِ اَللهم صَلِّ عَلىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اِتَّقُوْااللهَ - قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ

Dan dalam khutbah kedua hanya membaca :

اَلْحَمْدُ لِلهِ اَللهم صَلِّ عَلىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اِتَّقُوْااللهَ - قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ
- اَللهم اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ

Tentu ini hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang paham ilmu fiqih, khususnya fiqih shalat Jum'at. Jika hal itu tidak dilakukan dan langsung melaksanakan shalat Jum'ah, maka Jum'ahnya ikut menjadi batal, karena dua khutbah itu menjadi salah satu rukun jum'ah. Jika jum'ah batal, maka wajih i'adah Dhuhur (mengulang dengan shalat Dhuhur)

Duduk di Antara Dua Khutbah

 


عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَجْلِسُ ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا

Dari Jabir bin Samurah, bahwasanya Rasulullah saw berkhutbah dengan berdiri, lalu duduk kemudian berdiri dan berkhutbah. (H. R. Muslim no. 2033)

Khatib Jum'at Lupa Tidak Membaca Shalawat

 


Jika khatib Jum'at tidak membaca shalawat kepada nabi Muhammad saw dalam khutbah, maka jelas sekali bahwa khutbah Jum'at itu kurang satu dari lima rukunnya. Akibatnya, khutbah itu menjadi tidak sah.

Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhrami, dalam kitabnya Safinatun Najah halaman 18, mengatakan :

)فَصْلٌ) أَرْكَانُ الْخُطْبَتَيْنِ خَمْسَةٌ: حَمْدُ اللِه فِيْهِمَا وَالصَّلاَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْهِمَا وَالْوَصِيَّةُ بِالتَّقْوَى فِيْهِمَا وَقِرَاءَةُ آيَةٍ مِنَ الْقُرْآنِ فِيْ أِحْدَاهُمَا وَالدُّعَاءُ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فِي الْأَخِيْرَةِ .

 

Rukun khutbah Jum’at ada lima :

1. Mengucapkan Alhamdulillah (memuji kepada Allah) dalam khutbah pertama dan kedua

2. Bershalawat kepada Nabi Muhammad saw dalam khutbah pertama dan kedua

3. Berwasiat ketaqwaan kepada jamaah Jum’at dalam khutbah pertama dan kedua

4. Membaca ayat Al-qur’an dalam salah satu dari dua khutbah.

5. Mendo’akan kaum mukmin dan mukminat dalam khutbah kedua.

Konsekuensinya, khutbah itu harus diulang lagi dari awal, sebelum shalat Jum'at dilaksanakan. Yang mengulanginya bisa saja sang khatib sendiri, di mana setelah dia turun dari mimbar, harus ada yang mengingatkan bahwa dia lupa membaca salah satu rukunnya, atau boleh saja takmir masjid naik mimbar menyelamatkan shalat Jum'at itu agar menjadi sah. Cukup mengucapkan rukun-rukunnya saja tanpa isi atau keterangan lainnya, seperti dalam khutbah pertama hanya membaca :

اَلْحَمْدُ لِلهِ اَللهم صَلِّ عَلىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اِتَّقُوْااللهَ - قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ

Dan dalam khutbah kedua hanya membaca :

اَلْحَمْدُ لِلهِ اَللهم صَلِّ عَلىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اِتَّقُوْااللهَ - قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ
- اَللهم اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ

Tentu ini hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang paham ilmu fiqih, khususnya fiqih shalat Jum'at. Jika hal itu tidak dilakukan dan langsung melaksanakan shalat Jum'ah, maka Jum'ahnya ikut menjadi batal, karena dua khutbah itu menjadi salah satu rukun jum'ah. Jika jum'ah batal, maka wajih i'adah Dhuhur (mengulang dengan shalat Dhuhur)

Senin, 27 Januari 2025

Larangan Menyiramkan Sperma di Rahim Wanita Lain

 



مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَسْقِيَنَّ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ

Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah sekali-kali menyiramkan air spermanya (berzina) di kebun (rahim) orang lain. (H. R. Abi Syaibah no. 17460 Ibnu Hibban no. 4850, Baihaqi no. 18470).

Rabu, 22 Januari 2025

Hukum Bayi Tabung Menurut Islam

 

Memiliki keturunan adalah keinginan atau dambaan bagi setiap muslim. Namun tidak sedikit yang belum juga mendapat amanah dari Allah tersebut meski sudah menikah bertahun-tahun lamanya karena berbagai macam persoalan. Dunia kedokteran modern saat ini telah  menawarkan bayi tabung sebagai solusi bagi siapa saja yang belum dikaruniai seorang keturunan. Lalu bagaimana hokum bayi tabung menurut Islam ?

 Bayi tabung ialah bayi yang dihasilkan bukan dari persetubuhan, tetapi dengan cara mengambil mani atau sperma laki-laki dan sel telur wanita. Lalu dimasukkan ke dalam suatu alat dalam waktu tertentu atau beberapa hari lamanya. Setelah hal tersebut dianggap mampu menjadi janin, maka dimasukkan ke dalam rahim ibu.

Nah proses bayi tabung yang semacam itu hukumnya di tafsil (dirinci) sebagai berikut :

Pertama : Apabila sperma yang ditabung dan yang dimasukkan ke dalam rahim wanita tersebut ternyata buka sperma suami istri, maka hukumnya haram.

Dalam hadits disebutkan :

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَسْقِيَنَّ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ

Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah sekali-kali menyiramkan air spermanya (berzina) di kebun (rahim) orang lain. (H. R. Abi Syaibah no. 17460 Ibnu Hibban no. 4850, Baihaqi no. 18470).

Kedua : Apabila sperma yang ditabung tersebut adalah sperma suami istri, tetapi cara mengeluarkan sperma tidak dengan cara yang diperbolehkan syara’ (muhtaram) maka hukumnya juga haram.

Cara mengeluarkan sperma yang diperboleh di antaranya seperti saat suami bermimpi basah lalu keluar sperma dan spermanya diambil, atau seorang istri mengeluarkan sperma istrinya dengan tangannya (onani).

Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini dalam kitabnya menyatakan :

لَوِ اسْتَمْنَى الرَّجُلَ بِيَدِ امْرَأَتِهِ أَوْ أَمَتِهِ جَازَ لِأَنَّهَا مَحَلُّ اسْتِمْتَاعِهِ

Jika seorang suami sengaja mengeluarkan spermanya (dengan beronani) dengan perantara tangan istrinya atau budak wanitanya, maka hal tersebut boleh karena istri dan budak perempuannya itu memang tempat atau wahana yang diperbolehkannya untuk bersenang-senang. (Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayah Al-Ikhtishar , halaman 627)

Ketiga : Apabila sperma yang ditabung itu merupakan sperma suami istri dan cara mengeluarkanya termasuk muhtaram, serta dimasukkan ke dalam rahim istrinya sendiri, Maka hukumnya boleh.

Jadi yang diperbolehkan yaitu apabila sperma yang dimasukkan tabung itu milik suami istri dan sperma itu dimasukkan ke rahim istrinya.

Syaikh Ibnu Katsir dalam kitabnya menyatakan :

عَنِ النَّبِيِّ صّلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا مِنْ ذَنْبٍ بَعْدَ الشرِّْكِ أَعْظَمُ مِنْ نُطْفَةٍ وَضَعَهَا رَجُلٌ فِيْ رَحِمٍ لاَ يَحِلُّ لَهُ 

Dari nabi saw bersabda : Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dari pada sperma yang ditempatkan seorang laki-laki (berzina) di dalam rahim wanita yang tidak halal baginya,” (Tafsirul Qur’anil ‘Adzim, Juz IV, halaman 31)

Minggu, 19 Januari 2025

Pembunuh dan yang Terbunuh Masuk Neraka

 


عَنِ أَبِي بَكْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُوْلُ فِى النَّارِ. فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُوْلِ قَالَ إِنَّهُ كَانَ حَرِيْصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ

Dari Abu Bakrah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda : Apabila ada dua orang muslim bertemu dengan membawa pedang (untuk bertengkar), maka orang yang membunuh dan terbunuh masuk neraka, aku bertanya : Wahai Rasulullah,orang yang membunuh ini (sudah layak masuk neraka), maka bagaimana dengan orang yang terbunuh ? Beliau menjawab : Sesungguhnya dia juga benar-benar ingin membunuh temannya. (H. R. Bukhari no. 31)

Kamis, 26 Desember 2024

Masa Fatrah Antara Nabi Isa dan Nabi Muhammad

 


عَنْ سَلْمَانَ قَالَ فَتْرَةٌ بَيْنَ عِيسَى وَمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتُّمِائَةِ سَنَةٍ

Dari Salman berkata : Masa fatrah (tidak ada risalah/wahyu dari Allah) antara Nabi Isa dan Nabi Muhammad saw adalah enam ratus tahun.. (H. R. Bukhari no. 3948)