Dalam melaksanakan shalat berjamaah, kadang muncul problem yang perlu disikapi dalam tinjauan syara’. Misalnya tentang perincian dan aturan hukum memisahkan diri dari imam di pertengahan melaksanakan shalat berjamaah, atau biasa disebut dengan istilah mufaraqah. Mufaraqah sendiri dapat terjadi ketika makmum melakukan niat memisahkan diri dari imam dengan melaksanakan shalat secara sendiri-sendiri. Misalnya dalam hati makmum melafalkan niat Nawaitu mufaraqatal imam atau Nawaitul mufaraqah minal imam, atau Saya berniat memisahkan diri dari imam.
Dalam
hukum mufaraqah terdapat lima perincian hukum yang berlaku bagi makmum, sesuai
keadaan dan kondisi yang terjadi pada saat shalat berjamaah. Syaikh Abdurrahman
bin Muhammad Ba’lawi dalam kitabnya menjelaskan :
الْحَاصِلُ
أَنَّ قَطْعَ الْقُدْوَةِ تَعْتَرِيْهِ اْلأَحْكَامُ الْخَمْسَةُ وَاجِباً كَأَنْ
رَأَى إِمَامَهُ مُتَلَبِّسًا بِمُبْطِلٍ وَسُنَّةٍ لِتَرْكِ اْلإِمَامِ سُنَّةً
مَقْصُوْدَةً وَمُبَاحًا كَأَنْ طَوَّلَ اْلإِمَامُ وَمَكْرُوْهاً مُفَوِّتاً
لِفَضِيْلَةِ الْجَمَاعَةِ إِنْ كَانَ لِغَيْرِ عُذْرٍ وَحَرَاماً إِنْ تَوَقَّفَ
الشِّعَارُ عَلَيْهِ أَوْ وَجَبَتِ الْجَمَاعَةُ كَالْجُمْعَةِ
Kesimpulannya,
memutus hubungan dengan imam terdapat lima rincian hukum. Pertama, wajib,
seperti saat makmum melihat imam melakukan hal yang membatalkan shalat. Kedua,
sunnah, yakni ketika imam meninggalkan sebuah kesunnahan yang dianjurkan (dalam
shalat). Ketiga, mubah, seperti ketika imam memanjangkan shalat. Keempat,
makruh dan dapat menghilangkan keutamaan shalat jamaah, yakni ketika mufaraqah
tanpa adanya udzur. Kelima, haram, Yakni ketika syiar shalat berjamaah hanya
terwujud pada dirinya atau ketika jamaah merupakan suatu kewajiban, seperti
pada shalat Jumat. (Kitab Bughyatul
–Mustarsyidin, Juz I, halaman 153)
-
Sebagai penjelasannya :
Pertama adalah wajib. Kondisi yang mewajibkan makmum mufaraqah adalah jika dia tahu
bahwa shalat imam batal, baik karena imam terkena najis atau melakukan perkara
yang membatalkan salat. Misalnya, makmum melihat najis yang mengenai imam atau
melihat sebagian aurat imam terbuka karena sarungnya bolong.
Kedua adalah sunnah. Jika imam sengaja meninggalkan perbuatan yang sangat dianjurkan
untuk dikerjakan di dalam salat, maka makmum disunnahkan mufaraqah dari imam
tersebut. Misalnya, imam sengaja meninggalkan tasyahud awal atau qunut, dalam
kondisi seperti ini makmum disunnahkan mufaraqah agar bisa melakukan tasyahud
awal atau qunut.
Ketiga adalah mubah. Jika imam memanjangkan shalat, maka makmum dibolehkan mufaraqah.
Misalnya, imam rukuk atau sujud terlalu lama, atau membaca surah yang panjang.
Dalam kondisi seperti ini, makmum dibolehkan memilih antara terus berjamaah
bersama imam atau mufaraqah.
Keempat adalah makruh. Makmum dihukumi makruh mufaraqah dari imam jika tidak ada udzur
tertentu yang membolehkan mufaraqah. Misalnya, makmum mufaraqah dari imam
padahal imam tidak melakukan perkara yang membatalkan shalat, tidak
meninggalkan perkara yang sangat disunahkan dalam shalat atau imam tidak
memanjangkan bacaan surah Al-Qur’an. Dalam kondisi seperti ini, makmum dihukumi
makruh mufaraqah dari imam dan dapat kehilangan keutamaan shalat berjamaah.
Kelima adalah haram. Dalam shalat yang wajib dilaksanakan berjamaah, makmum haram
mufaraqah dari imam. Misalnya shalat Jumat. Dalam shalat Jumat, makmum haram
mufaraqah karena shalat Jumat wajib dilakukan secara berjamaah.