عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُؤْتَى
بِالرَّجُلِ الْمَيِّتِ عَلَيْهِ الدَّيْنُ فَيَسْأَلُ هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ
مِنْ قَضَاءٍ. فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ وَفَاءً صَلَّى عَلَيْهِ وَإِلاَّ
قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ. فَلَمَّا فَتَحَ اللهُ عَلَيْهِ الْفُتُوحَ
قَالَ أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّىَ
وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ.
Dari Abu
Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw didatangkan seorang laki-laki yang
meninggal yang hutangnya belum dibayar. Lalu beliau bertanya : Apakah ia
meninggalkan seorang yang bisa melunasi hutangnya? Jika ada yang bisa
menanggung dan melunasinya, maka beliau menshalati jenazahnya, dan jika tidak
ada, beliau bersanda : Shalatilah jenazah teman kalian. Ketika Allah telah
membuka berbagai kemenangan (dalam banyak perang) bagi Rasulullah, beliau
bersabda : Aku lebih dekat dengan orang-orang beriman dari pada diri mereka
sendiri. Maka berang siapa yang meninggal dan mempunyai hutang belum terbayar,
maka kuajibankulah yang melunasinya. Dan barang siapa yang meninggalkan harta,
maka itu adalah untuk ahli warisnya. (H. R. Muslim no. 4242)
Pada bagian
awal hadits ini mengandung larangan menshalati jenazah orang yang berhutang dan
tidak meninggalkan sesuatu yang dapat menanggung dan melunasi hutangnya. Juga
mengandung pengertian bahwa larangan atau makruh menangguhkan atau
mengulur-ngulur waktu untuk melunasi hutang dan sebaliknya justru memotivasi
agar segera melunasi hutang sebelum ajal datang menjemputnya.
Pada bagian
akhir hadits ini membolehkan menshalati jenazah orang yang berhutang, sekaligus
me-nasakh atau membatalkan pada bagian awal hadits di atas yang
melarangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar