Senin, 25 Maret 2024

Talqin Menurut Empat Madzhab



Talqin secara bahasa berarti mengajar atau memahamkan secara lisan. Sedangkan secara istilah, talqin adalah mengajar dan mengingatkan kembali kepada mayit (orang yang meninggal dunia) yang baru saja dikubur dengan kalimat-kalimat tertentu. Mentalqin mayit merupakan tradisi masyarakat Indonesia yang sudah dilakukan secara turun temurun.

Lalu, bagaimana hukumnya mentalqin mayit?   Para ulama berbeda pendapat tentang mentalkin mayit ini,

Sebagian ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menyatakan, mentalqin mayit setelah dikubur itu hukumnya sunnah.

Syekh Ibnu Abidin dari mazhab Hanafi dalam kitabnya mengatakan:

وَإِنَّمَا لَا يُنْهَى عَنِ التَّلْقِيْنِ بَعْدَ الدَّفْنِ لِأَنَّهُ لَا ضَرَرَ فِيْهِ بَلْ نَفْعٌ، فَإِنَّ الْمَيِّتَ يَسْتَأْنِسُ بِالذِّكْرِ  

Sesungguhnya tidak dilarang mentalqin mayit setelah dikubur karena tidak ada kemadharatan di dalamnya, bahkan terdapat manfaat. Sebab, mayit memperoleh manfaat dari pemberitahuan tersebut. (Kitab Hasyiyah Raddul Mukhtar, Juz II, halaman 207).

Syekh Muhammad bin Yusuf Al-Mawwaq dari mazhab Maliki dalam kitabnya mengatakan: 

 إذَا أُدْخِلَ الْمَيِّتُ قَبْرَهُ فَإِنَّهُ يُسْتَحَبُّ تَلْقِيْنُهُ فِي تِلْكَ السَّاعَةِ، وَهُوَ فِعْلُ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ الصَّالِحِيْنَ مِنَ الْأَخْيَارِ، لِأَنَّهُ مُطَابِقٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ}. وَأَحْوَجُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ إلَى التَّذْكِيْرِ بِاللهِ عِنْدَ سُؤَالِ الْمَلَائِكَةِ  

Jika mayit telah dimasukkan ke dalam kuburnya, maka sesungguhnya disunnahkan mentalqinnya pada saat itu. Hal ini merupakan perbuatan penduduk Madinah yang shaleh lagi baik, karena sesuai dengan firman Allah ta’ala : (Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman). Dan seorang hamba sangat membutuhkan peringatan tentang Allah saat ditanya oleh malaikat (Kitab At-Taj Wal Iklil li Mukhtashari Khalil, juz II, halaman 375).  

Imam Nawawi dari mazhab Syafi’i dalam kitabnya mengatakan:

يُسْتَحَبُّ تَلْقِيْنُ الْمَيِّتِ عَقِبَ دَفْنِهِ فَيَجْلِسُ عِنْدَ رَأْسِهِ إنْسَانٌ، وَيَقُوْلُ: يَا فُلَانَ ابْنَ فُلَانٍ وَيَا عَبْدَ اللهِ ابنَ أَمَةِ اللهِ، أُذْكُرِ العَهْدَ الَّذِي خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا: شَهَادَةَ أَنْ لَا إِلَهَ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَأَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ، وَأَنَّ النَّارَ حَقٌّ، وَأَنَّ البَعْثَ حَقٌّ، وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَارَيْبَ فِيْهَا، وَأَنَّ اللهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُوْرِ. وَأَنَّكَ رَضِيْتَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، وَبِالْكَعْبَةِ قِبْلَةً، وَبِالْمُؤْمِنِيْنَ إِخْوَانًا.  

Disunnahkan mentalqin mayit segera setelah menguburnya, di mana seseorang duduk di depan kepala mayit, dan berkata: Wahai fulan anak fulan, dan wahai hamba Allah anak hamba perempuan Allah. Ingatlah janji yang atasnya kamu keluar dari dunia, yaitu persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu baginya, dan sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba dan rasul-NYA, surga itu benar, neraka itu benar, kebangkitan itu benar, kiamat itu pasti datang tiada keragu-raguan di dalamnya, Allah akan membangkitkan orang yang ada dalam kubur. Dan sungguh kamu telah meridhai Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Nabi Muhammad saw sebagai Nabi, Al-Qur’an sebagai imam, Ka’bah sebagai kiblat, dan kaum Mukminin sebagai saudara. (Kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Juz V, halaman 303 - 304).  

Syekh Mansur bin Yunus Al-Bahuti dari mazhab Hanbali dalam kitabnya mengatakan:

وَسُنَّ تَلْقِيْنُهُ أَيْ: الْمَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ عِنْدَ الْقَبْرِ، لِحَدِيْثِ أَبِي أُمَامَةَ اْلبَاهِلِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ  

Dan disunnahkan mentalqin mayit maksudnya  mayit setelah dikebumikan di kuburan, karena hadits riwayat Abi Umamah Al-Bahili ra. (Kitab Syarh Muntahal Iradat, Juz II, halaman 739).  

Sebagian ulama dari mazhab Hanafi menegaskan, mentalqin mayit setelah dikubur hukumnya mubah. Syekh Usman bin Ali Az-Zaila’i  dari mazhab Hanafi dalam kitabnya mengatakan:

أَنَّ تَلْقِيْنَ الْمَيِّتِ مَشْرُوْعٌ، لِأَنَّهُ تُعَادُ إلَيْهِ رُوْحُهُ وَعَقْلُهُ، وَيَفْهَمُ مَا يُلَقَّنُ  

Sesungguhnya mentalqin mayit itu disyariatkan, sebab ruhnya dikembalikan kepadanya begitu pula akalnya. Dia memahami apa yang ditalqinkan (diajarkan). (KitabTabyinul Haqaiq Syarh Kanzud Daqaiq, Juz III, halaman 157).

Syekh Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya mengatakan:

تَلْقِينُهُ بَعْدَ مَوْتِهِ لَيْسَ وَاجِبًا بِالْإِجْمَاعِ، وَلَا كَانَ مِنْ عَمَلِ الْمُسْلِمِيْنَ الْمَشْهُوْرِ بَيْنَهُمْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخُلَفَائِهِ. بَلْ ذَلِكَ مَأْثُوْرٌ عَنْ طَائِفَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ؛ كَأَبِي أُمَامَةَ، وَوَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ. فَمِنَ الْأَئِمَّةِ مَنْ رَخَّصَ فِيْهِ كَالْإِمَامِ أَحْمَدَ، وَقَدِ اسْتَحَبَّهُ طَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ، وَأَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ. وَمِنَ الْعُلَمَاءِ مَنْ يَكْرَهُهُ لِاعْتِقَادِهِ أَنَّهُ بِدْعَةٌ. فَالْأَقْوَالُ فِيْهِ ثَلَاثَةٌ: اَلِْاسْتِحْبَابُ، وَالْكَرَاهَةُ، وَالْإِبَاحَةُ، وَهَذَا أَعْدَلُ الْأَقْوَالِ  

Mentalqin mayit setelah kematiannya itu tidak wajib, berdasarkan ijma’, juga tidak termasuk perbuatan yang masyhur di kalangan umat Islam pada masa Nabi saw dan para khalifahnya. Tetapi, hal itu diceritakan dari sebagian sahabat, seperti Abi Umamah dan Watsilah bin Al-Asqa’. Karenanya, sebagian ulama membolehkannya, seperti imam Ahmad. Dan Sungguh mensunahkannya sebagian sahabat (murid) imam Ahmad, dan sahabat-sahabat imam Syafi’i. Sebagian ulama menghukuminya makruh, karena meyakininya sebagai bid’ah. Dengan demikian, ada tiga pendapat dalam hal ini; sunnah, makruh, dan mubah. Dan pendapat yang terakhir (mubah) merupakan pendapat yang paling adil.  (Kitab Majmu' Al-Fatawa, Juz  XXIV, halaman 297-298).

Syekh Abdul Wahab Al-Baghdadi dari madzhab Maliki Al-Maliki dalam kitabnya mengatakan:

وَكَذَا يُكْرَهُ عِنْدَهُ أَيْ عِنْدَ مَالِكٍ تَلْقِيْنُهُ بَعْدَ وَضْعِهِ فِي قَبْرِهِ  

Begitu pula dimakruhkan, menurut imam Malik, mentalqin mayit setelah diletakkan di dalam kubur. (Kitab, Syarhur Risalah, halaman 266).  

Dengan demikian dapat disimpulkan, para ulama berbeda pendapat tentang hukum mentalqin mayit setelah dikubur. Sebagian ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menghukuminya sunnah. Sebagian ulama mazhab Hanafi yang lain menghukuminya mubah. Sedangkan, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menghukuminya makruh.   Dari ketiga pendapat di atas, tampaknya pendapat yang menyatakan kesunnahan mentalqin mayit merupakan pendapat yang kuat, sebab didukung oleh hadits riwayat Abu Umamah, bahwa Rasulullah saw bersabda:  

 إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمِ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلا يُجِيبُ  

Bila seseorang dari kalian mati, maka ratakanlah tanah di kuburnya. Lalu hendaknya salah seorang di antara kalian berdiri di atas kuburnya, kemudian berkata: “Wahai Fulan putra si Fulanah’. Sungguh si mayit mendengarnya dan tidak menjawabnya. (H. R. Thabrani no. 7906).

Imam Nawawi mengomentari hadits tersebut dalam kitabnya :

قلت فهذا الحديث وان كان ضعيفا فيستأنس به وقد اتفق علماء المحدثين وغيرهم علي المسامحة في أحاديث الفضائل والترغيب والترهيب

Komentarku dalam hadits ini, bahwa sekalipun hadits itu dhaif tetapi dapat dijadikan sebagai dalil penguat. Apalagi para ulama ahli hadits dan ulama lain sepakat menerima hadits-hadits terkait amal utama, berita gembira, dan peringatan. (Kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Juz V, halaman 304).  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar