Status kepanitiaan zakat yang dibentuk atas prakarsa masyarakat
seperti di masjid, perkantoran, sekolahan dan tempat lainnya untuk mengumpulkan
dan menyalurkan zakat yang tidak diangkat oleh imam, dalam hal ini adalah
presiden atau pejabat yang diberi kewenangan olehnya, seperti kantor urusan
agama (KUA) di tiap kecamatan sebagai ujung tombak kementerian Agama RI ,
maka kepanitiaan itu tidak berstatus sebagai amil syar'i.
Syaikh
Zainuddin Al-Malibari dalam kitabnya menjelaskan :
وَالْعَامِلُ - كَسَاعٍ -: وَهُوَ مَنْ يَبْعَثُهُ الْاِمَامُ لِاَخْذِ
الزَّكَاةِ، وَقَاسِمٍ وَحَاشِرٍ، لَا قَاضٍ
Amil yaitu, seperti halnya kurir zakat, ialah
orang yang diutus oleh imam (penguasa) untuk mengambil zakat, pembagi zakat,
pengumpul zakat, bukan qadhi. (KItab Fathul Mu'in, halaman 83)
Pengelolaan zakat yang dilakukan oleh panitia zakat bisa
dibenarkan, tapi terbatas pada menerima zakat dari muzakki (orang yang wajib
mengeluarkan zakat) dan mendistribusikannya kepada mustahiq (orang yang berhak
menerima zakat).
Selain masalah kewenangan, perbedaan antara panitia zakat
dengan amil syar'i adalah pada gugurnya kewajiban muzakki atas zakat.
Kalau Muzakki menyerahkan zakatnya kepada Amil maka kewajiban
membayar zakatnya sudah gugur walaupun ketika umpamanya terjadi amil belum
menyerahkan zakatnya kepada mustahiq.
Beda dengan apabila para muzakki menyerahkan zakatnya kepada panitia
zakat, karena panitia zakat hanya merupakan wakil atau perpanjangan tangan,
maka ketika panitia lalai dalam menyalurkan zakat dari muzakki, maka kewajiban
zakatnya belum gugur
Perbedaan
lainnya adalah, amil masih diperbolehkan atau berhak mendapatkan bagian zakat
bagi dirinya atas nama amil. Namun, panitia zakat tidak boleh mengambil sedikit
pun bagian zakat atas nama amil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar