PENDAHULUAN
pada akhir-akhir ini sebagian
golongan umat Islam yang mengklaim
dirinya telah menjalankan syari’at (agama) paling benar, paling murni, pengikut
para Salaf Sholeh dan sering menuduh serta melontarkan kritik tajam sebagai
perbuatan sesat dan syirik kepada sesama muslim, bahkan sampai berani
mengkafirkannya, hanya karena perbedaan pendapat dengan melakukan ritual-ritual
Islam seperti ziarah kubur, berkumpul membaca tahlilan/yasinan untuk kaum
muslimin yang telah meninggal, berdoa sambil
tawassul kepada Nabi saw dan para waliyyullah/ sholihin, mengadakan peringatan keagamaan diantaranya maulidan/
kelahiran Nabi saw, pembacaan Istighotsah, tabarruk dan sebagainya. Golongan
yang sering mengatakan dirinya paling benar itu tidak segan-segan menuduh orang
dengan fasiq, sesat, kafir, bid’ah dholalah, tahrif Al-Qur'an (merubah
Al-Qur’an) dan tuduhan-tuduhan keji lainnya. Laa haula walaa quwwata illah billahi. Ini fitnahan yang amat keji dan
membuat perpecahan antara sesama muslim.
Alasan yang sering mereka katakana adalah bahwa
semuanya ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulallah saw atau para sahabat,
dengan mengambil dalil hadits-hadits dan ayat-ayat Al-Qur’an yang menurut paham mereka yang berkaitan dengan amalan-amalan tersebut. Padahal ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulallah saw yang
mereka sebutkan tersebut ditujukan untuk orang-orang kafir dan orang-orang yang
membantah, merubah dan menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya.
Golongan pengingkar ini sering
mengatakan hadits-hadits mengenai suatu
amalan 'yang bertentangan dengan pahamnya' itu semuanya tidak ada, palsu, lemah, terputus dan
lain sebagainya, walaupun hadits-hadits tersebut telah dishahihkan oleh
ulama-ulama pakar hadits.Yang lebih mengherankan, para ulama golongan pengingkar
amalan-amalan tadi, berani menvonis bahwa amalan-amalan itu bid’ah munkar,
sesat, syirik dan lain sebagainya. Kalau seorang ulama sudah berani memfitnah seperti itu, bagaimana dengan orang-orang awam yang membaca tulisan tersebut? Pasti akan lebih berbahaya lagi, karena
mereka hanya menerima dan mengikuti tanpa tahu dan berpikir panjang
mengenai kata-kata ulama tersebut.
Perbedaan pendapat antara kaum muslimin itu selalu
ada, tetapi bukan untuk dipertentangkan dan
dipertajam dengan saling menyesatkan dan
mengkafirkan satu dengan yang lainnya. Pokok perbedaan pendapat soal-soal sunnah, nafilah yang dibolehkan ini
hendaknya dimusyawarahkan oleh para ulama kedua belah pihak. Karena
masing-masing pihak sama-sama berpedoman
pada Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasulallah saw (Al-Hadits), namun
berbeda dalam hal penafsiran dan penguraiannya (sudut pandang mereka).
Janganlah setelah menafsirkan dan
menguraikan ayat-ayat Allah dan hadits Nabi saw Lalu mengecam dan menyalahkan
bahkan berani menyesatkan/mengkafirkan kaum muslimin dan para ulama dalam suatu
perbuatan karena 'tidak sepaham dengan madzhabnya'. Orang seperti ini
sangatlah fanatik dan extreem yang menganggap dirinya paling benar dan faham
sekali akan dalil-dalil syari’at, menganggap kaum muslimin dan para ulama yang 'tidak
sependapat dengan mereka' adalah sesat, bodoh dan lain sebagainya. Kami
berlindung pada Allah swt, dalam hal tersebut.
Allah Maha Mengetahui hamba-Nya yang benar jalan hidupnya. Ingat firman
Allah swt.
قُلْ
كُلٌّ يَعْمَلُ عَلٰى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدٰى سَبِيْلاً
Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya
masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar
jalannya. (Q.S.
17 Al Israa' 84)
الَّذِيْنَ يَجْتَنِبُوْنَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلاَّ اللَّمَمَ
إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ مِّنَ
الْأَرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُوْنِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلاَ تُزَكُّوْا
أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقٰى
(Yaitu) orang yang menjauhi
dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain
dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas
ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia
menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka
janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang
orang yang bertakwa. (Q.S. 53 An Najm 32)
Tidak
sedikit hadits Nabi saw yang melarang kita menuduh, apalagi mengatakan kepada saudara seagama kita itu kafir,
musyrik, munafik atau perkataan yang menyakitkan lainnya. Hadits-hadits
tersebut diantaranya adalah :
و حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ يَحْيَى التَّمِيْمِيُّ وَيَحْيَى بْنُ أَيُّوْبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ
وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ جَمِيْعًا عَنْ إِسْمَعِيْلَ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ يَحْيَى
بْنُ يَحْيٰى أَخْبَرَنَا إِسْمَعِيْلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ دِيْنَارٍ
أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيْهِ يَا
كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلَّا رَجَعَتْ
عَلَيْهِ
Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At-Tamimi
dan Yahya bin Ayyub dan Qutaibah bin Said serta Ali bin Hujr semuanya dari
Ismail bin Ja'far, Yahya bin Yahya berkata, telah mengabarkan kepada kami
Ismail bin Ja'far dari Abdullah bin Dinar bahwa dia mendengar Ibnu Umar berkata, "Rasulullah saw bersabda:
"Siapa pun orang yang berkata kepada
saudaranya, 'Wahai kafir' maka sungguh salah seorang dari keduanya telah
kembali dengan kekufuran tersebut, apabila sebagaimana yang dia ucapkan. Namun apabila tidak maka ucapan tersebut
akan kembali kepada orang yang
mengucapkannya." (H.R.. Muslim no. 225 dan Bukhari No.
6104)
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ دَاوُدَ الْمَكِّيُّ , حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عَبْدِ اللهِ
بْنِ عُثْمَانَ الشَّامِيُّ، حَدَّثَنَا الضَّحَّاكُ بْنُ حَمْزَةَ، عَنْ عَلِيِّ
بْنِ زَيْدٍ، عَنْ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:كُفُّوْا عَنْ
أَهْلِ لآ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ لَا تُكَفِّرُوْهُمْ
بِذَنْبٍ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin dawud Al-Makkiy, telah menceritakan
kepada kami Utsman bin Abdullah bin Utsman Asy-Syamiy, telah menceritakan
kepada kami Adh-Dhohhak bin Hamzah, dari Ali bin Zaid, dari Said bin
Al-Musayyib, dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah saw bersabda “Tahanlah diri
kalian (jangan menyerang) orang ahli ‘Laa ilaaha illallah’ (yakni orang
Muslim). Janganlah kalian mengkafirkan mereka karena suatu dosa”. (H.R. Thabrani No. 12912)
وَحَدَّثَنِي
زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ بْنُ عَبْدِ الْوَارِثِ
حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ الْمُعَلِّمُ عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ
يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ أَنَّ أَبَا الْأَسْوَدِ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّهُ
سَمِعَ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعٰى لِغَيْرِ أَبِيْهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ وَمَنِ ادَّعٰى مَا لَيْسَ لَهُ فَلَيْسَ مِنَّا وَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ
النَّارِ وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللهِ وَلَيْسَ كَذٰلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan
kepada kami Abdu Ash-Shamad bin Abdul Warits telah menceritakan kepada kami
bapakku telah menceritakan kepada kami Husian Al-Mu'allim dari Ibnu Buraidah
dari Yahya bin Ya'mar bahwa Abu Al-Aswad telah menceritakan kepadanya dari Abu
Dzar bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda: "Tidaklah seorang
laki-laki yang mengklaim orang lain sebagai bapaknya, padahal ia telah
mengetahuinya (bahwa dia bukan bapaknya), maka ia telah kafir. Barangsiapa
mengaku sesuatu yang bukan miliknya maka ia bukan dari golongan kami, dan
hendaklah dia menempati tempat duduknya dari
neraka. Dan barangsiapa memanggil seseorang dengan kekufuan, atau
berkata, 'Wahai musuh Allah' padahal tidak demikian, kecuali perkataan tersebut
akan kembali kepadanya". (H.R.
Muslim 226)
حَدَّثَنَا سَعِيْدُ
بْنُ عُفَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ قَالَ حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ عَنِ ابْنِ
شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي مَحْمُوْدُ بْنُ الرَّبِيْعِ الْأَنْصَارِيُّ أَنَّ
عِتْبَانَ بْنَ مَالِكٍ وَهُوَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّنْ شَهِدَ بَدْرًا مِنَ الْأَنْصَارِ
أَنَّهُ أَتٰى رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ......... قَالَ وَحَبَسْنَاهُ عَلىٰ خَزِيْرَةٍ صَنَعْنَاهَا لَهُ قَالَ فَآبَ فِي الْبَيْتِ رِجَالٌ مِنْ
أَهْلِ الدَّارِ ذَوُوْ عَدَدٍ فَاجْتَمَعُوْا فَقَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ أَيْنَ
مَالِكُ بْنُ الدُّخَيْشِنِ أَوِ ابْنُ الدُّخْشُنِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ ذٰلِكَ مُنَافِقٌ لَا يُحِبُّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَقُلْ ذٰلِكَ أَلَا تَرَاهُ قَدْ
قَالَ لآ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ يُرِيْدُ بِذٰلِكَ وَجْهَ اللهِ قَالَ اللهُ
وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّا نَرٰى وَجْهَهُ وَنَصِيْحَتَهُ
إِلَى الْمُنَافِقِيْنَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لآ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ يَبْتَغِي بِذٰلِكَ وَجْهَ اللهِ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ ثُمَّ سَأَلْتُ
الْحُصَيْنَ بْنَ مُحَمَّدٍ الْأَنْصَارِيَّ وَهُوَ أَحَدُ بَنِي سَالِمٍ وَهُوَ
مِنْ سَرَاتِهِمْ عَنْ حَدِيْثِ مَحْمُوْدِ بْنِ الرَّبِيْعِ الْأَنْصَارِيِّ
فَصَدَّقَهُ بِذٰلِكَ
Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin 'Ufair
berkata, telah menceritakan
kepadaku Al-Laits berkata, telah menceritakan kepadaku 'Uqail dari Ibnu Syihab
berkata, telah menceritakan kapadaku Mahmud bin
Ar-Rabi' Al-Anshari bahwa 'Itban bin Malik seorang sahabat Rasulullah saw
yang pernah ikut perang Badar dari
kalangan Anshar, dia pernah menemui Rasulullah saw ……… "Lalu kami suguhkan
makanan dari daging yang kami masak untuk beliau. Maka berkumpullah warga desa
di rumahku dalam jumlah yang banyak. Salah seorang dari mereka lalu berkata,
"Mana Malik bin Ad-Dukhaisyin atau Ibnu Ad- Dukhsyun?" Ada seorang
yang menjawab, "Dia munafik, dia tidak mencintai Allah dan Rasul-Nya." Maka Rasulullah saw pun bersabda:
"Janganlah kamu ucapkan seperti itu. Bukankan kamu tahu dia telah
mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAH dengan mengharap ridla Allah?" Orang itu
menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu" 'Itban berkata, "Kami
lihat pandangan dan nasehat beliau itu untuk kaum Munafikin. Bersabda
Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan neraka
bagi orang yang mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAH dengan mengharap ridla Allah?" Ibnu Syihab berkata, "Kemudian
aku tanyakan kepada Al-Hushain bin Muhammad Al-Anshari salah seorang
dari Bani Salim yang termasuk orang
terpandang tentang hadits Mahmud bin Ar-Rabi' ini. Maka dia
membenarkannya." (H.R. Bukhari
No. 425)
Kita boleh mengeritik atau
mensalahkan suatu golongan muslimin,
bila golongan ini sudah jelas benar-benar menyalahi dan keluar dari garis-garis syari’at Islam. Umpama mereka
meniadakan kewajiban sholat setiap
hari, menghalalkan minum alkohol, makan babi dan lain sebagainya, yang
mana hal ini sudah jelas dalam nash bahwa sholat itu wajib dan minum alkohol serta
makan babi itu haram. Jadi bukan menyesatkan, mengkafirkan amalan-amalan sunnah
yang baik, seperti berkumpulnya orang untuk berdzikir bersama pada Allah swt.
(pembacaan istighothah, yasinan, tahlilan, ziarah kubur dan lain sebagainya),
apalagi sampai-sampai menghalalkan darah mereka karena tidak sependapat dengan
golongan tersebut, Na'udzubillahi.
Begitu juga kita boleh mengeritik/mensalahkan suatu
golongan muslimin yang meriwayatkan hadits tentang tajsim/penjasmanian atau
penyerupaan/tasybih Allah swt sebagai makhluk-Nya (Umpama; Allah mempunyai tangan, kaki, wajah secara hakiki atau
arti yang sesungguhnya), karena semua ini tidak dibenarkan oleh
ulama-ulama pakar Islam karena hadits tersebut bertentangan dengan firman Allah
swt.
فَاطِرُ السَّمآوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجاً يَذْرَؤُكُمْ فِيْهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ البَصِيْرُ
(Dia) Pencipta langit dan
bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari
jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang
biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan
Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. 42 Asy Syuura 11)
لاَ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ
Dia tidak
dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus
lagi Maha Mengetahui. (Q.S. 6 Al An'aam 103)
سُبْحَانَ
اللهِ عَمَّا يَصِفُوْنَ
Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan, (Q.S. 37 Ash Shaaffaat
159)
Dengan demikian perbedaan pendapat antara golongan
muslimin yang sudah jelas dan tegas
melanggar syari’at Islam, inilah yang harus diselesaikan dengan baik antara para ulama setiap golongan
tersebut. Jadi bukan dengan cara tuduh menuduh, cela-mencela antara
setiap kaum muslimin.
Kami ambil satu contoh:
“Pengalaman seorang pelajar di kota Makkah
berceritera bahwa ada seorang ulama tunanetra yang suka menyalahkan dan juga
mengenyampingkan ulama-ulama lain yang tidak sepaham dengan nya, mendatangi seorang ulama yang berpendapat tentang
jaiznya/bolehnya melakukan takwil (penggeseran arti) terhadap ayat-ayat mutasyabihat/samar seperti ayat: Yadullah
fauqo aidiihim (tangan Allah di
atas tangan mereka), Tajri bi a’yunina ([kapal] itu berlayar dengan
mata Kami) dan lain sebagainya. Ulama yang membolehkan ta’wil itu berpendapat
bahwa kata tangan pada ayat itu berarti kekuasaan (jadi bukan berarti tangan
Allah swt secara hakiki/sebenarnya) sedangkan kata mata pada ayat ini berarti
pengawasan.Ulama tunanetra yang memang tidak
setuju dengan kebolehan menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat di atas itu
langsung membantah dan mengajukan argumentasi dengan cara yang tidak sopan dan
menuduh ulama yang membolehkan takwil sama artinya dengan melakukan tahrif
(perubahan) terhadap ayat Al-Qur’an. Ulama yang membolehkan takwil itu setelah
didamprat habis-habisan dengan tenang memberi komentar: “Kalau anda melarang takwil, maka anda akan
buta dan tersesat di akhirat”. Ulama tunanetra itu bertanya: “Mengapa anda
mengatakan demikian?”. Ulama yang
membolehkan takwil menjawab: Bukankah dalam surat Al-Isra’ ayat 72 Allah
swt berfirman:
وَمَنْ
كَانَ فِي هٰذِهِ أَعْمٰى فَهُوَ فِي الْأَخِرَةِ أَعْمٰى وَأَضَلُّ سَبِيْلاً
Dan barang
siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia
akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar). (Q.S. 17 Al Israa' 72)
Kalau saya tidak boleh mentakwilkan ayat ini, maka
buta pada ayat ini pasti diartikan dengan buta mata dan tentunya nasib anda
nanti akan sangat menyedihkan yakni buta diakhirat karena didunia ini anda telah buta mata (tunanetra). Karenanya bersyukurlah
dan hargai pendapat orang-orang yang membolehkan takwil sehingga kalimat
buta pada ayat di atas 'menurut mereka' diartikan dengan: buta hatinya jadi bukan arti
sesungguhnya yaitu buta matanya. Ulama yang tunanetra itu akhirnya diam
membisu, tidak memberikan tanggapan apa-apa".
Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur'an dan perintah
Rasulallah saw. agar kita bersangka baik dan tidak mengkafirkan antara sesama
muslim, bila ada perbedaan dengan mereka alangkah baiknya jika diselesaikan
dengan berdialog.
اُدْعُ إِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ
سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. 16 An-Nahl 125)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar