Kamis, 06 Agustus 2015

cara mengendalikan amarah




     Sebagian manusia ada yang mempunyai tabiat kurang baik, diantaranya adalah emosi dan marah. Kita tidak dilarang untuk marah, namun diperintahkan untuk mengendalikan agar tidak sampai mudah marah sehingga menimbulkan efek yang kurang baik. “Sebaik-baik orang adalah yang tidak mudah marah dan cepat meridhai, sedangkan seburuk-buruk orang adalah yang   cepat marah dan lambat meridhai.” (H.R. Ahmad).

      Rasulullah saw. sebagai manusia adakalanya marah, namun marahnya tidak melampaui batas, itupun ia lakukan bukan karena masalah pribadi, melainkan karena kehormatan agama.

      Seorang penegak hukum (hakim) yang tidak mampu menahan marahnya, tidak akan mampu memutuskan perkara dengan adil. Dan seorang pemimpin yang mudah tersulut nafsu marahnya, maka tidak akan mampu memberikan jalan keluar bagi rakyatnya. Justru ia akan senantiasa memunculkan permu-suhan di masyarakatnya. Begitupun pula pasangan suami-istri yang tidak memiliki ketenangan jiwa, ia tidak akan mampu mengarungi bahtera hidupnya, karena masing-masing tidak mampu memejamkan mata atas kesalahan kecil pasangannya.

      Seorang yang mampu mengendalikan nafsu ketika marahnya berontak, dan mampu menahan diri dikala mendapat ejekan. Maka orang seperti inilah yang diharapkan menghasilkan kebaikan dan kebajikan bagi dirinya maupun lingkungannya. “Barang siapa menahan marahnya, maka Allah menahan siksanya.” (H.R. Thabrani).

     Menahan marah bukan pekerja-an gampang, bahkan sangat sulit untuk melakukannya. Ketika ada orang yang membuat gara-gara yang memancing emosi kita, barang kali darah kita langsung naik ke ubun-ubun, tangan sudah gemetar mau memukul, sumpah serapah sudah berada di ujung lidah tinggal menumpahkan saja, tapi jika saat itu kita mampu menahannya, maka bersyukurlah, karena kita termasuk orang yang kuat. “Orang yang kuat tidaklah yang kuat dalam bergulat, namun mereka yang bisa mengendalikan dirinya dari marah.” (H.R. Malik).

      Beberapa cara mengendalikan amarah adalah :

1.  Berwudhu
      “Sesungguhnya marah itu dari godaan syetan, sedang syetan diciptakan dari api. Dan api bisa dipadamkan dengan air. Oleh karena itu bila seseorang diantara kamu marah maka cepat-cepatlah berwudhu.” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud). 
2.  Membaca Ta’awwudz
     “Ada kalimat bila diucapkan niscaya akan hilang kemarah-an seseorang, yaitu : A’udzu billahi minasy syaithanir rajim (aku berlindung dari godaan syetan yang terkutuk).” (H.R. Bukhari dan Muslim).
3   3. Bersujud (dengan melakukan shalat minimal dua rakaat)
     “Ketahuilah sesungguhnya marah itu bara api dalam hati manusia, tidaklah engkau melihat merahnya katanya dan tegangnya urat darah di lehernya? Maka barang siapa yang mendapatkan hal itu, hendaklah ia menempelkan pipimya dengan tanah (sujud).” (H.R. Tirmidzi).
4.  Diam
     “Ajarilah (orang lain), mudah-kanlah, jangan mempersulit masalah, kalau kalian marah maka diamlah.” (H.R. Ahmad).
5.  Duduk
     “Kalau kalian marah maka duduklah, kalau tidak hilang juga maka bertiduranlah.” (H.R. Abu Dawud).

      Bagi orang yang imannya telah tumbuh dengan suburnya, maka tumbuh pula sifat-sifat jiwa besarnya. Subur pula rasa kesadarannya dan kemurahan hatinya. Kesabarannya pun bertambah besar dalam menghadapi sesuatu masalah. Tidak mudah memarahi seseorang yang bersalah dengan begitu saja, sekalipun telah menjadi haknya. “Barang siapa yang menahan marah. Padahal dia mampu untuk melaksanakannya. Maka Allah akan mengisi hatinya dengan ketenangan dan keimanan.” (H.R. Abu Dawud).

      Orang yang demikian ini akan mampu menguasai dirinya, menahan marahnya, mengekang lidahnya dari pembicaraan yang tidak patut. Wajib baginya melatih diri dengan cara membersihkan dirinya dari penyakit-penyakit hati, seperti : Ujub, takabur, sum’ah, riya’, bohong, mengadu domba dan sebagainya. Dan menyertainya dengan amalan-amalan ibadah dan ketaatan kepada Allah, demi meningkatkan derajat yang tinggi di sisi Allah. “Apakah tiada lebih baik saya beritahukan tentang sesuatu yang dengannya Allah meninggikan gedung-gedung dan mengangkat derajat seseorang? Para sahabat menjawab : Baik ya Rasulullah. Lalu Rasulullah saw. bersabda : Berlapang dadalah kamu terhadap orang yang membodohi kamu. Engkau suka memberi maaf kepada orang yang telah menganiaya kamu. Engkau suka memberi kepada orang yang tidak pernah memberikan sesuatu kepadamu. Dan engkau mau bersilaturrahim kepada orang yang telah memutuskan hubu-ngan dengan kamu.” (H.R. Thabrani).

      Biasanya orang yang dalam keadan marah sering tidak terkontrol ucapannya, adakalanya mencaci maki, mengutuk, melak-nat dan sebagainya. Padahal kutukan itu dapat kembali kapada orang itu bila yang dikutuk tidak pantas untuk dikutuk. “Bahwa-sanya seorang hamba apabila mengutuk kepada sesuatu, naiklah kutukan itu ke langit. Lalu dikunci pintu-pintu langit itu buatnya. Kemudian turunlah kutukan itu ke bumi, lalu dikunci pintu-pintu bumi baginya. Dan berkeliaranlah ia kekanan dan kekiri, maka apabila tidak mendapat tempat baru, ia pergi kepada yang dilaknat (dikutuk). Bila layak dilaknak (artinya kalau benar ia berhak mendapat laknak), tetapi apabila tidak layak, maka kembali kepada orang yang mengutuk (kembali ke alamat si pengutuk).” (H.R. Abu Dawud). Dalam hadits lain disebutkan : “Bukanlah dikatakan seorang mukmin, orang yang suka mencela, mengutuk, berkata-kata keji dan kotor.” (H.R Turmudzi).

Barang
Siapa yang
Menahan marahnya,
Maka Allah menahan
Siksanya (H.R.
Thabrani)

      Luqman Hakim pernah menasihati anaknya dengan nasihat :

1. Orang sabar tiada tampak, kecuali tengah marah.
2. Pemberani tiada tampak, kecuali tengah bertempur.
3.  Saudara tiada tampak, kecuali tengah membutuhkan bantuan.

      Seseorang memuji ulama’ Tabi’in, lau orang itu diminta alasan yang nyata oleh ulama’ tersebut tentang pujiannya itu, katanya :

1.   Kau pernah mengujiku tengah marah, hingga nyata kesabaran-ku? Jawabnya belum.
2. Kau pernah mengujiku di dalam perjalanan, hingga nyata padamu kebaikan akhlakku?. Jawabnya belum.
3. Kau pernah mengujiku tentang amanatku, hingga nyata padamu aku orang terpercaya? Jawab-nya belum.

Ulama’ tersebut berkata : Celaka kau, seorang tidak boleh memuji orang lain, sebelum nyata padanya 3 perkara tersebut di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar