Kamis, 18 Februari 2021

Jangan Menghina Tuhan Agama Lain

 


Dalam Islam, menghina Tuhan agama lain merupakan suatu hal yang sangat dilarang. Karena dapat menimbulkan kerusakan yang besar. Bukan hanya bagi dirinya sendiri namun juga terhadap Allah swt

Al-Qur’an adalah cerminan akhlak Rasulullah. Salah satu di antara akhlak yang diajarkan Al-Qur’an dan diterapkan oleh Rasulullah adalah mengucapkan kata-kata yang baik dalam berhubungan sosial. Termasuk menghindari mencela agama lain terutama terhadap tuhan mereka ketika berdakwah. Tentu ini menjadi sebuah peringatan bagi kita semua khususnya dengan banyaknya dai-dai muda yang terkadang secara sengaja maupun tidak sengaja menjelekkan agama lain dalam ceramahnya

Tentunya, di era modern ini mencaci agama lain justru menyebabkan citra yang buruk bagi umat Islam. Karena itu, meskipun cacian atas agama lain tersebut sesuai dengan kenyataan, tetaplah tidak diperbolehkan. Karena hal itu, justru berdampak buruk pada citra agama Islam

Dalam Al-Qur'an disebutkan :

وَلاَ تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (Q.S. 6 Al An'aam 108)

Dalam penghujung ayat di atas merupakan sebuah peringatan agar umat Islam memasrahkan urusan non-Muslim kepada Allah. Karena hanya Allah lah yang berhak memberikan hidayah kepada makhluknya. Sedangkan, dakwah para Dai hanyalah sebagai lantaran dalam masuknya hidayah ke dalam hati umat.

Syaikh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan :

يقول تعالى ناهي الرسوله صلى الله عليه وسلم والمؤمنين عن سب آلهة المشركين، وإن كان فيه مصلحة، إلا أنه يترتب عليه مفسدة أعظم منها، وهي مقابلة المشركين بسب إله المؤمنين، وهو الله لا إله إلا هو

Allah swt berfirman, melarang Rasul-Nya dan orang-orang mukmin memaki sesembahan orang-orang musyrik, sekalipun dalam makian itu terkandung maslahat, hanya saja akan mengakibatkan mafsadat (kerusakan) yang lebih besar dari pada itu. Kerusakan yang dimaksud adalah balasan makian yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terhadap Tuhan kaum mukmin. (Kitab Tafsir Ibnu Katsir, Juz III, halaman 314)

عن ابن عباس في هذه الآية: قالوا: يا محمد، لتنتهين عن سبك آلهتنا، أو لنهجون ربك، فنهاهم الله أن يسبوا أوثانهم،

Dari Ibnu Abbas sehubungan dengan asbabul nuzul ayat ini. Disebutkan bahwa orang-orang musyrik berkata : Hai Muhammad, berhentilah kamu dari mencaci tuhan-tuhan kami, atau kalau tidak berhenti kami akan balas mencaci maki Tuhanmu. Maka Allah melarang kaum mukmin mencaci berhala-berhala sesembahan kaun musyrik. (Kitab Tafsir Ibnu Katsir, Juz III, halaman 314)

Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya menjelaskan :

قال العلماء: حكمها باق في هذه الأمة على كل حال، فمتى كان الكافر في منعة وخيف أن يسب الإسلام أو النبي عليه السلام أو الله عز وجل، فلا يحل لمسلم أيسب صلبانهم ولا دينهم ولا كنائسهم، ولا يتعرض إلى ما يؤدي إلى ذلك، لأنه بمنزلة البعث على المعصية.

Ulama berkata : Hukum larangan mencaci agama lain adalah hukum pasti dan tidak bisa diubah dengan alasan apapun, selama dikhawatirkan kaum non-Muslim mencaci agama Islam atau Nabi saw atau Allah swt, maka selama itulah umat Islam tidak diperbolehkan mencaci agama lain baik itu mencaci salib mereka, agama mereka  ataupun mencaci gereja mereka, serta umat Islam tidak boleh melakukan hal-hal yang menjurus terhadap penghinaan terhadap agama Islam karena hal tersebut terhitung melakukan hal yang berpotensi buruk". (KItab Tafsir Al-Qurthubi, Juz VII, halaman 61)

Secara umum, bila seseorang itu dimaki atau dicaci, maka dia akan membalas caciannya, seperti dicontohkan dalam hadits :

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو  رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ

Dari Abdullah bin Amru ra dia berkata; Rasulullah saw bersabda : Sesungguhnya termasuk dari dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya sendiri,  beliau ditanya: Kenapa hal itu bisa terjadi wahai Rasulullah? beliau menjawab : Seseorang mencela (melaknat) ayah orang lain, kemudian orang tersebut membalas mencela ayah dan ibu orang yang pertama. (H. R. Bukhari no. 5973) 

Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa meninggalkan suatu maslahat demi mencegah terjadinya mafsadat (kerusakan) yang jauh lebih parah dari pada maslahat adalah hal yang diperintahkan.

 hal ini juga sesuai dengan kaidah fiqih :

دَرْءُ الْمَفَاسِدُ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

(mencegah timbulnya bahaya itu harus diprioritaskan dibanding mengupayakan adanya manfaat).

Berikut Video yang berkaitan dengan judul :



Tidak ada komentar:

Posting Komentar