Kamis, 09 Januari 2020

Siapa Wali Dari Anak Hasil Zina



Definisa anak zina menurut Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya beliau menegaskan :

أما ولد الزنا: فهو الولد الذي أتت به أمه من طريق غير شرعي، أو هو ثمرة العلاقة المحرمة
Adapun anak zina adalah anak yang dilahirkan oleh ibunya melalui jalan yang tidak syar’i atau anak dari hasil hubungan yang diharamkan. (Kitab  Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Juz VIII halaman 430)

Ibnu Rusyd dalam kitabnya menegaskan :

وَاتَّفَقَ الْجُمْهُوْرُ عَلَى أَنَّ أَوْلَادَ الزِّنَا لَا يُلْحَقُوْنَ بِآبَائِهِمْ إِلَّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ عَلَى اخْتِلَافٍ فِي ذَلِكَ بَيْنَ الصَّحَابَةِ
Mayoritas ulama sepakat bahwa anak zina tidak dinasabkan kepada bapak mereka  kecuali anak-anak yang lahir pada masa jahiliyah sebagaimana yang diriwayatkan dari sayyidina Umar bin al-Khaththab ra, dan dalam hal ini terjadi perbedaan di antara shahabat” (IKitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid,  Juz II, halaman 358)

Mayoritas ulama berpendapat bahwa anak zina dinasabkan kepada ibunya. Konsekwensi dari penasaban anak zina ke ibunya mengakibatkan si anak tidak memilik wali. Sedangkan orang yang tidak memilik wali, maka walinya adalah penguasa/sulthan. Atau dengan kata lain, walinya adalah wali hakim. Dalam hadits diasebutkan :

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ قَالَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِىُّ مَنْ لاَ وَلِىَّ لَهُ
Dari Aisyah,bahwasanya Rasulullah saw bersabda : Wanita mana saja yang menikah dengan tanpa wali, maka nikahnya batil. Jika lelaki telah menggaulinya,maka ia wajib membayar maskawin untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya. Maka apabila mereka bersengketa, penguasa dapat menjadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali. (H. R. Titmidzi no. 1125, Abu Daud no. 2025 dan lainnya)

Hasil Keputusan forum Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Lombok pada tahun 2017 mengenai status perwalian, nasab, nafkah, dan hak waris bagi anak yang dilahirkan dari hasil zina :

Pertama, jika perempuan yang hamil itu dinikahi secara syar’i, yakni dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syarat dan rukunnya, maka berlaku hukum nasab, wali, dan nafkah

Kedua, jika perempuan yang hamil itu tidak dinikahi secara syar’i, maka ada perinciaannya:

1. Jika anak tersebut lahir pada saat ibunya belum dinikahi siapapun, maka anak itu bernasab kepada ibunya saja

2. Jika anak tersebut lahir setelah ibunya dinikahi baik oleh ayah biologisnya atau orang lain, di sini ada tafshil (rincian) :

a) jika (janin) lahir lebih dari 6 bulan (dari akad nikah), maka nasab anak itu jatuh kepada suami ibunya.

b) tetapi, jika lahir kurang dari 6 bulan (dari akad nikah), maka anak itu tidak bisa bernasab kepada suami ibunya.

para Ulama yang mengikuti acara tersebut mengutip salah satunya keterangan Imam Al-Mawardi yang mengangkat perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih, sebagai berikut:

Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad Al-Mawardi menegaskan dalam kitabnya :

فَأَمَّا إِنْ كَانَتِ الزَّانِيَةُ خَلِيَّةً وَلَيْسَتْ فِرَاشًا لِأَحَدٍ يَلْحَقُهَا وَلَدُهَا ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْوَلَدَ لَا يَلْحَقُ بِالزَّانِي وَإِنِ ادَّعَاهُ ، وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ : يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادَّعَاهُ بَعْدَ قِيَامِ الْبِيِّنَةِ ، وَبِهِ قَالَ ابْنُ سِيرِينَ وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ ، وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ : يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادَّعَاهُ بَعْدَ الْحَدِّ وَيَلْحَقُهُ إِذَا مَلَكَ الْمَوْطُوءَةَ وَإِنْ لَمْ يَدِّعِهِ ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ : إِنْ تَزَوَّجَهَا قَبْلَ وَضْعِهَا وَلَوْ بِيَوْمٍ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ ، وَإِنْ لَمْ يَتَزَوَّجْهَا لَمْ يَلْحَقْ بِهِ
Jika perempuan itu kosong, yakni tidak menikah sampai persalinan, maka anak itu dinisbahkan kepadanya (ibu). Menurut Mazhab Syafi’i, anak itu tidak dinisbahkan kepada lelaki yang berzina meskipun ia mengakuinya. Menurut Al-Hasan Al-Bashri, hal itu dimungkinkan jika lelaki tersebut mengakuinya disertai bukti. Pendapat ini dipakai oleh Ibnu Sirin dan Ibnu Rahawaih. Ibrahim An-Nakha’i mengatakan, anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki bila ia mengakuinya setelah sangsi had dan anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki bila ia memiliki budak perempuan meskipun ia tak mengakui bayi itu sebagai anaknya. Imam Hanafi mengatakan, anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki yang menikahi ibunya meskipun sehari sebelum pesalinan, tetapi jika lelaki itu tidak menikahi ibunya, maka anak itu tidak bisa dinisbahkan kepadanya. (Kitab Al-Hawi Al-Kabir, Juz VIII, halaman 162).

Jadi sebagai kesimpulan status wali bagi anak dari hasil zina masih ada perbedaan antar ulama seperti yang dijelaskan di atas. Semoga kita bisa menyikapi perbedaan ini dengan bijak


BACA JUGA :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar