Selasa, 31 Oktober 2017

Ibadah Mahdhah dan Ghairu Mahdhah



Sebagai hamba Allah maka seluruh sikap dan perbuatan atau amal perbuatan kita selama 24 jam adalah untuk beribadah kepada Allah, dalam Al-Qur'an disebutkan :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (Q.S. 51 Adz Dzaariyaat 56)

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ
dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). (Q.S. 15 Al Hijr 99)


Para ulama yang shaleh terdahulu mengklasifikasikan ibadah ke dalam dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya, yaitu :

1. Ibadah Mahdhah

Ibadah mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang apa saja yang telah ditetapkan Allah baik tata cara dan perincian-perinciannya (sifat, waktu, tempat dll). Dengan prinsip : Harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari Al-Quran maupun Hadits. Tata caranya harus berpola kepada apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini ukurannya bukan logika. Azaznya kepatuhan dan ketaatan (ta'abbudi). Dalam Ibadah Mahdhah ini berlaku kaidah ushul fiqih :

اَلْأَصْلُ فِى اْلعِبَادَةِ اَلتَّحْرِيْمُ وَالْبَطْلُ إِلاَّ مَا جَاءَ بِهِ الدَّ لِيْلِ عَلىَ اَوَامِرِهِ
Hukum asal dalam beribadah adalah haram dan batal kecuali yang ada dalil yang memerintahkan

Contoh-contoh ibadah mahdhah antara lain :  Masalah-masalah ushul, seperti syahadat, shalat lima waktu, Zakat, puasa, haji dll.

Menambah atau mengurangi, termasuk berimprovisasi dalam perkara pokok ini, berarti bid’ah. Mengimani, mematuhi, dan melaksanakan perkara pokok agama, pada prinsipnya, bersifat ta’abbudi. Tidak perlu bertanya kenapa shalat dhuhur empat rakaat, shalat subuh dua rakaat. Kenapa haji harus di kota Mekkah. Tidak perlu kritis kenapa puasa mulai fajar sampai maghrib.  Improvisasi dalam perkara ushul terlarang, karena sifatnya ibadah mahdhah.

2. Ibadah Ghairu Mahdhah

Ibadah ghairu mahdhah ialah segala amalan yang diizinkan oleh Allah yang tata cara dan perincian-perinciannya tidak ditetapkan dengan jelas. Dengan prinsip : Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang, selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh dilakukan. Tata laksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasulullah sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah diperbolehkan. Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau mudharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, itu buruk, merugikan dan mudharat, maka tidak boleh dilaksanakan. Azasnya Manfaat, selama itu bermanfaat maka boleh dilakukan. Dalam ibadah ghairu mahdhah, jangan bertanya mana dalil yang memerintahkannya. Tapi tanyakan dalil mana yang melarangnya?Dalam Ibadah ini berlaku kaidah ushul fiqih :

اَلْأَصْلُ فِي اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةِ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ


Pada dasarnya segala sesuatu itu hukumnya diperbolehkan sepanjang tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya

Contoh-contoh ibadah ghairu mahdhah antara lain :  Masalah-masalah furu', seperti shalat subuh dengan qunut atau tidak, dzikir, dakwah, tolong menolong dll.

Jika dalam ibadah mahdhah yang bersifat ta’abbudi tidak boleh ada improvisasi, maka dalam ibadah ghairu mahdhah ini justru terbuka lebar terhadap inovasi. Tidak ada bid’ah (kullu bid’atin dlalalah) dalam ibadah ghairu mahdhah.

Ibadah ghairu mahdhah adalah seluruh amal manusia yang dinilai ibadah karena niat dan sebab (illat) nya. Illat adalah faktor yang menentukan hukum, dalam kaidah ushul fiqih :

اَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وَسَبَبِهِ وُجُوْدًا وَعَدَمُا
Ada dan tidaknya hukum itu tergantung pada sebab (illat) nya.


Ukuran illat adalah maslahat-mudharat. karena itu berlaku kaidah niat dan illat. Jika niatnya jelek dan menimbulkan mudharat, nilai ibadahnya bisa kurang atau hilang sama sekali. Tetapi jika niatnya bagus dan menimbulkan maslahat (baik secara personal maupun sosial), hukumnya sunnah, bernilai ibadah tinggi. Sebahai contoh memakai jubah dan sorban jika niatnya mengikuti Rasulullah bisa bernilai ibadah. Jika murni karena budaya, hukumnya mubah.  Tetapi, jika niatnya pamer keshalehan dan dampaknya ujub personal, hukumnya haram karena nilai ibadahnya hilang sama sekali.

BACA JUGA :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar