Senin, 30 Januari 2017

Hukum tajdidun nikah (memperbarui nikah)



Menurut pendapat yang kuat, memperbarui nikah itu boleh. Karena di dalam memperbarui nikah terdapat unsur  tajammul  (memperindah) dan ihtiyath  (kehati-hatian dari sepasang suami-istri). Dan menurut Syaikh Ibnu Hajar  Al-Haitami dan jumhur ulama Syafi’iyah tidak membatalkan nikah yang pertama, asalkan pengantin laki-laki tetap meyakini bahwa nikah yang pertama tidak rusak, dan juga tidak termasuk pengakuan talak (tidak wajib membayar mahar).
Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya mengatakan :
أَنَّ مُجَرَّدَ مُوَافَقَةِ الزَّوْجِ عَلَى صُورَةِ عَقْدٍ ثَانٍ مَثَلًا لَا يَكُوْنُ اعْتِرَافًا بِانْقِضَاءِ الْعِصْمَةِ الْأُولَى بَلْ وَلَا كِنَايَةَ فِيهِ وَهُوَ ظَاهِرٌ ...... وَمَا هُنَا فِي مُجَرَّدِ طَلَبٍ مِنْ الزَّوْجِ لِتَحَمُّلٍ أَوْ احْتِيَاطٍ فَتَأَمَّلْهُ
Sesungguhnya semata-mata persetujuan suami melakukan bentuk aqad nikah yang kedua (misalnya), bukanlah merupakan pengakuan habisnya tanggung jawab (pengakuan thalaq) atas  nikah yang pertama, dan juga bukan merupakan kinayah dari pengakuan tadi dan itu jelas ..... beliau mengatakan, sedangkan apa yang dilakukan suami di sini (dalam memperbaharui nikah) semata-mata keinginannya untuk memperindah atau berhati-hati. (Kitab Tuhfah Al-Muhtaj bi Syarh Al-Minhaj, Juz VII, halaman 391)
Keterangan di atas sejalan dengan hadits nabi saw :
عَنْ سَلَمَةَ قَالَ بَايَعْنَا النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَقَالَ لِى  يَا سَلَمَةُ أَلاَ تُبَايِعُ. قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ قَدْ بَايَعْتُ فِى الأَوَّلِ. قَالَ وَفِى الثَّانِى
Dari Salamah, ia berkata : Kami melakukan bai'at kepada Nabi saw di bawah pohon kayu. Lalu beliau menanyakan kapadaku : Ya Salamah, apakah kamu tidak melakukan bai'at? Aku menjawab Ya Rasulullah, sesungguhnya aku sudah melakukan bai'at pada waktu pertama (sebelum ini), Beliau bersabda : Sekarang kali kedua. (H. R. Bukhari no. 7208)

Dari hadits di atas dapat ditarik pengertian bahwa Salamah yang telah bai'at kepada Nabi, namun beliau tetap menganjurkan Salamah melakukan bai'at sekali lagi bersama-sama para sahabat yang lain dengan tujuan menguatkan bai'at Salamah yang pertama. Karena itu, bai'at Salamah kali kedua ini tentunya tidak membatalkan bai'atnya yang pertama.

Tajdidun nikah dapat diqiyaskan kepada tindakan Salamah mengulangi bai'at ini, mengingat keduanya sama-sama merupakan ikatan janji antara beberapa pihak.

Namun menurut Syaikh Yusuf  bin Ibrahim Al-Ardabili dalam kitabnya, beliau mengatakan wajib membayar mahar karena sebagai pengakuan jatuhnya talak.
وَلَوْ جَدَّدَ رَجُلٌ نِكَاحَ زَوْجَتِهِ لَزِمَهُ مَهْرٌ آخَرُ ِلأَنَّهُ إِقْرَارٌ بِالْفُرْقَةِ وَيَنْتَقِضُ بِهِ الطَّلاَقُ وَيَحْتَاجُ إِلَى التَّحْلِيْلِ فِى الْمَرَّةِ الثَّالِثَةِ
Dan Jika seorang suami memperbaharui nikah kepada isterinya, maka wajib memberi mahar (mas kawin) karena ia mengakui perceraian, dan memperbaharui nikah termasuk mengurangi (hitungan) talaq. Kalau dilakukan sampai tiga kali, maka diperlukan muhallil. (Al-Anwar li A’mal Al-Abrar, Juz II, halaman 156).

1 komentar:

  1. bai'at dalam dalil tsb adalah janji setia untuk taat.. apapun perintah Nabi Wajib diikuti... yang dimaksud hadist tersebut bukan memperbarui nikah... karna bai'at di jaman nabi itu untuk seluruh umat nabi muhammad bahwa umat islam harus janji setia untuk taat segala perintah Allah dan Rosul..

    BalasHapus