Minggu, 01 Januari 2017

Hukum bulu ayam yang diambil dari ayam hidup



Bulu ayam diambil dari seekor ayang yang masih hidup, tidak dipandang najis, tetapi ulama memandangnya suci, karena bulu tersebut diambil dari binatang yang dagingnya halal dimakan dan hal ini sudah merupakan ijma' (kesepakatan pendapat) ulama.

Imam Nawawi dalam kitabnya menjelaskan :

إِذَا جُزَّ شَعْرٌ أَوْ صُوْفٌ أَوْ وَبَرٌ مِنْ مَأْكُوْلِ الَّلحْمِ فَهُوَ طَاهِرٌ بِنَصِّ اْلقُرْآنِ وَاِجْمَاعِ اْلاُمَّةِ
Apabila dipotong rambut atau bulu (baik yang halus maupun yang kasar) dari binatang yang dagingnya halam dimakan, maka dia itu (hukumnya) suci dengan nash Al-Qur'an dan ijma' ulama. (Kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Juz I, halaman 241)

Syaikh Abdurrahman bin Saqaf bin Husain As-Saqaf Al-Alawi Asy-Syafi'i dalam kitabnya menerangkan :

وَالْجُزْءُ الْمُنْفَصِلُ مِنَ الْحَيَوَانِ اْلحَيِّ نَجَسٌ غَيْرَ السَّمَكِ وَالْجَرَادِ وَاْلآدَمِيِّ، لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيْمَةِ وَهِىَ حَيَّةٌ فَهِىَ مَيْتَةٌ
Dan bagian yang terpisah dari binatang yang hidup, adalah najis, kecuali ikan, belalang dan manusia. Karena ada sebuah hadits yang diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda : Sesuatu yang terputus dari seekor binatang padahal ia masih hidup, maka dia itu (dipandang) bangkai. (H. R. Abu Daud no. 2860, Tirmidzi no. 1555). (Kitab Al-Halaqatur Rabi'ah minad Durusil Fiqhiyah, halaman 29)

Kemudian pada halaman yang sama beliau menambahkan penjelasan :

وَشَعْرُ الْمَأْكُوْلِ وَصُوْفُهُ وَوَبَرُهُ وَرِيْشُهُ طَاهِرَاتٌ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى : وَمِنْ أَصْوَافِهَا وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَا أَثَاثاً وَمَتَاعًا إِلَى حِيْنٍ

Dan adapun rambut binatang yang halal dimakan dagingnya dan bulunya (bulu domba, bulu unta dan bulu burung) adalah (hukumnya) suci, berdasarkan firman Allah swt : dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu). (Q.S. 16 An-Nahl 80). (Kitab Al-Halaqatur Rabi'ah minad Durusil Fiqhiyah, halaman 29)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar