Selasa, 06 Desember 2016

Hukum puasa Tarwiyah



Para ulama menfatwakan bahwa puasa sepuluh hari (kecuali hari Ied) dari awal bulan Dzulhijjah hukumnya sunnah, berdasarkan hadits :

عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامَ عَاشُوْرَاءَ وَالْعَشْرَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ
Dari Hafshah, ia berkata : Ada empat macam yang tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi saw : Puasa Asyura (tanggal 10 Muharram), puasa 10 hari (di bulan Dzulhijjah), puasa tiga hari pada setiap bulan, dan melakukan shalat dua rakaat sebelum shalat subuh. (H. R. Nasa'i no. 2415, Ahmad no. 27216, dan lainnya)

Tidak ada satu hadits pun yang jelas dan tegas menyatakan sunnah berpuasa pada hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzulhijjah). Namun perlu kita ketahui, banyak fuqaha yang menfatwakan bahwa puasa pada hari Tarwiyah itu hukumnya sunnah berdasarkan dua alasan berikut :

1. Atas dasar ihtiyath (berhati-hati) dan cermat dalam mengupayakana mendapat fadhilah puasa Arafah yang begitu besar.

Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam kitabnya, berkata :

(وَيُسَنُّ) مُتَأَكِّدًا (صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ) لِغَيْرِ حَاجٍّ، لِأَنَّهُ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الَّتِيْ هُوَ فِيْهَا وَالَّتِيْ بَعْدَهَا - كَمَا فِي خَبَرِ مُسْلِمٍ - وَهُوَ تَاسِعَ ذِي الْحِجَّةِ، وَاْلأَحْوَطُ صَوْمُ الثَّامِنِ مَعَ عَرَفَةَ
Dan termasuk sunnah muakkad puasa pada hari Arafah bagi selain orang yang sedang melaksanakan ibadah haji, sebab perbuatan tersebut dapat menghapus dosa satu tahun yang telah lalu dan satu tahun sesudahnya, sebagaimana terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim. Pengertian hari Arafah ialah tanggal atau hari yang kesembilan dari bulan Dzulhijjah atau haji. Untuk lebih berihtiyath, sebaiknya berpuasa pada tanggal atau hari ke delapana (hari Tarwiyah) beserta hari Arafah. (Kitab Fathul Mu'in, halaman 59)

Sayyid Bakri Syatha Ad-Dimyathi dalam kitabnya, ketika mengomentari ucapan pengarang Kitab Fathul Mu'in tersebut,berkata :

(قَوْلُهُ: وَاْلأَحْوَطُ صَوْمُ الثَّامِنِ) أَيْ لِأَنَّهُ رُبَمَا يَكُوْنُ هُوَ التَّاسِعُ فِي الْوَاقِعِ.
Ucapannya : Untuk lebih berihtiyath, sebaiknya berpuasa pada tanggal atau hari ke delapana. Maksudnya, karena mungkin saja menyataannya hari itu tepat tanggal kesembilan. (Kitab I'anatuth Thalibin, Juz. II, halaman 265)

2. Karena hari Tarwiyah termasuk salah satu hari yang sepuluh selain hari Ied dari awal bulan Dzulhijjah yang dalam hadits di atas dinyatakan sunnah berpuasa pada hari itu

Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam kitabnya, berkata :

وَيَتَأَكَّدَ صَوْمُ الثَّمَانِيَةِ قَبْلَهُ: لِلْخَبَرِ الصَّحِيْحِ فَيْهَا، اَلْمُقْتَضِي لِأَفْضَلِيَةِ عَشْرِهَا عَلَى عَشْرِ رَمَضَانَ اْلأَخِيْرِ
Dan termasuk sunnah muakkad puasa delapan hari sebelumnya (hari Arafah) karena terdapat hadits shahih mengenai hal ini yang menunjukkan keutamaan puasa sepuluh hari dari awal bulan Dzulhijjah dari sepuluh hari yang terahir dari bulan Ramadhan. (Kitab Fathul Mu'in, halaman 59)

Sayyid Bakri Syatha Ad-Dimyathi dalam kitabnya, ketika mengomentari ucapan pengarang Kitab Fathul Mu'in tersebut,berkata :

(قَوْلُهُ: وَيَتَأَكَّدَ صَوْمُ الثَّمَانِيَةْ قَبْلَهُ) أَيْ يَوَمِ عَرَفَةَ، فَعَلَيْهِ يَكُوْنُ الَّثامْنُ مَطْلُوْبًا مِنْ جِهَتَيْنِ: جِهَةِ اَلإِحْتِيَاطِ لِعَرَفَةَ، وَجِهَةِ دَخُوْلِهِ فِي اْلعَشْرِ غَيْرِ اْلعِيْدِ
Ucapannya : Dan termasuk sunnah muakkad puasa delapan hari sebelumnya. Maksudnya hari Arafah. Maka atas dasar itulah, puasa pada tanggal atau hari kedelapan (hari Tarwiyah) itu dituntut berdasarkan dua segi : Pertama, atas dasar ihtiyath (hati-hati) untuk mendapatkan hari Arafah. Kedua, atas dasar hari Tarwiyah termasuk sepuluh hari awal Dzulhijjah selain hari Ied. (Kitab I'anatuth Thalibin, Juz. II, halaman 266)


Baca pula tulisan kami : http://www.wongsantun.com/2017/08/amalan-sepuluh-hari-pertama-bulan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar