Sabtu, 25 Juli 2015

Para sahabat bertawassul dengan Nabi Muhammad



        Para sahabat bertawassul dengan Nabi Muhammad, Dalam Sunan Tirmidzi disebutkan bahwa Utsman bin Hunaif ra. berkata “Ada seorang tuna netra datang menemui Nabi saw. dan meminta beliau untuk mendo’akannya agar dapat melihat kembali. Pada saat itu Rasulullah saw. memberikan dua pilihan kepadanya, yaitu didoakan sembuh atau bersabar dengan kebuataan tersebut. Tetapi lelaki itu bersikeras minta didoakan agar dapat melihat kembali. Rasulullah saw. kemudian memerintahkan nya untuk berwudhu dengan baik dan membaca doa berikut :

 اَللّٰهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ، نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِى حَاجَتِيْ هَذِهِ لِتُقْضَى لِيْ، اللهم فَشَفِّعْهُ فِيَّ
“Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan (perantaraan) Nabi-Mu Muhammad, Nabi penuh kasih sayang. (Wahai Rasul) sesungguhnya aku telah bertawajjuh kepada Tuhanku dengan (bertawassul dengan) mu agar hajatku ini terkabul. Ya Allah, terimalah syafa’at beliau untukku.” (H.R. Tirmidzi,Ibn Khuzaimah, Al-Hakim, Thabrani, semuanya mengatakan hadits ini  shahih)

عَنِ ابْنِ عُمَرَt أَنَّهُ خَدِرَتْ رِجْلُهُ فَقِيْلَ لَهُ : أُذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، فَقَالَ : يَا مُحَمَّدُ، فَكَأَنَّمَا نَشِطَ مِنْ عِقَالٍ
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra, bahwa suatu ketika kaki beliau terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada beliau : Sebutkanlah orang yang paling anda cintai. Lalu Ibn Umar berkata : Ya Muhammad. Maka seketika itu kaki beliau sembuh”. (H.R. Bukhari, dan disebutkan oleh Ibn Taimiyah dalam kitabnya Al-Kalam Al-Thayyib hal. 88) 

عَنْ مَالِكِ الدَّارِ، قَالَ : وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ الطَّعَامِ، قَالَ : أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِى زَمَنِ عُمَرَ، فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ r فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا، فَأَتَى الرَّجُلَ فِى الْمَنَامِ فَقِيْلَ لَهُ : أَئْتِ عُمَرَ فَأَقْرَئْهُ السَّلَامَ وَأَخْبِرْهُ أَنَّكُمْ مَسْقِيُّوْنَ، وَقُلْ لَهُ : عَلَيْكَ الْكَيْسَ، عَلَيْكَ الْكَيْسَ، فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ فَبَكَى عُمَرُ ثُمَّ قَالَ : يَا رَبِّ لاَ آلُوْ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ.
 “Diriwayatkan dari Malik Al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin Khaththab, bahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin Al-Haris Al-Muzani) mendatangi makan Rasulullah saw, dan mengatakan : Wahai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena sungguh mereka benar-benar telah binasa. Kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw, dan beliau bersabda kepadanya : Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya : Bersungguh-sungguhlah melayani umat. Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukan dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan : Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”. (H.R. Abu Syaibah dan dia menshahihkannya, Baihaqi, Ibn Abi Khaitsamah, Al-Hafidz Ibn Katsir juga mengatakan dalam kitabnya Al-Bidayah wa Al-Nihayah serta kitabnya Jami’ Al-Masanid di bagian Musnad Umar bin Khaththab juz 1 hal. 223 bahwa sanad hadits ini jayyid dan kuat. Menurut Al-Hafidz Ibn Hajar, yang dimaksud laki-laki yang mendatangi makam nabi saw, dan melakukan tawassul dalam hadits ini adalah sahabat Bilal bin Al-Muzani ra.).

            Hadits ini menunjukkan dibolehkannya bertawassul dengan para Nabi dan wali yang sudah meninggal dengan redaksi nida’ (memanggil) yaitu “Ya Rasulallah”. Ketika Bilal bin Al-Muzani mengatakan “Istasqi Liummatik”, maka maknamya ialah “ Mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu” bukan “Ciptakanlah hujan untuk umatmu”. Jadi dari sini diketahui bahwa bertawassul dengan mengatakan :

اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، قَدْ ضَاقَتْ حِيْلَتِيْ أَدْرِكْنِيْ يَارَسُوْلَ اللهِ أَوْ أَغْثِنِيْ يَارَسُوْلَ اللهِ.
“Ya Allah, curahkanlah shalawat dan salam atas junjungan kami Muhammad. Aku benar-benar tidak mampu, bantulah aku dengan doamu kepada Allah, hai Rasulullah. Atau tolonglah aku dengan doamu kepada Allah, hai Rasulullah.

            Rasulullah saw, bukanlah pencipta manfaat dan marabahaya. Beliau hanyalah sebab seseorang diberikan manfaat atau dijauhkan dari bahaya. Rasulullah saw, saja telah menyebut hujan sebagai mughits (penolong dan penyelamat) dalam hadits riwayat Abu Dawud dan lainnya dengan sanad yang shahih.
أللهم اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيْثًا مَرِيْعًا نَافِعًا غَيْرَ ضَارٍّ عَاجِلاً غَيْرِ آجِلٍ
“Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami, hujan yang menolong, menyelamatkan, enak, yang subur, memberi manfaat dan tidak mendatangkan bahaya, segera dan tidak ditunda”.

            Apabila Rasulullah saw, dibenarkan menamakan hujan sebagai mughits (penolong) dan nafi’ (pemberi manfaat), karena hujan dapat menyelamatkan kita dari kesusahan dengan izin allah, maka tentu tidak ada salahnya apabila seorang Nabi atau wali yang menyelamatkan dari kesusahan dan kesulitan dengan seizin Allah, kita sebut sebagai penolong dan penyelamat dalam ekspresi doa yang berbunyi :
أَغْثِنِيْ يَارَسُوْلَ اللهِ.
“Selamatkanlah dan tolonglah aku dengan doamu kepada Allah wahai Rasulullah”.

            Seorang muslim akan selalu berkeyakinan bahwa seorang Nabi atau wali hanyalah sebatas sebab, sedangkan pencipta manfaat dan yang menjauhkan dari bahaya secara hakiki adalah Allah, bukan Nabi atau wali tersebut. Sayyidina Umar yang mengetahui sahabat Bilal bin Al-Harits Al-Muzani mendatangi makam Nabi saw, kemudian bertawassul dan beristighatsah dengan mengatakan  يَا رَسُوْلَ اللهِ إِسْتَسْقِ لِأُمَّتِك  (Wahai Rasulullah, mohonkanlah turunnya hujan kepada Allah untuk umatmu), yang mengandung nida’ (memanggil) dan perkataan “istasqi” tidak mengkafirkan atau memusyrikan sahabat  Bilal bin Al-Harits Al-Muzani, bahkan sebaliknya beliau menyetujui perbuatannya dan tidak seorang pun dari sahabat Nabi yang memungkirinya. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang melarang kelompok atau orang yang bertawassul dan beristighatsah, lebih pandaikah dan lebih mengertikah pemahamannya tentang agama dibanding dengan sayyidina Umar dan sahabat lainnya?


         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar