Selasa, 29 April 2025

Bolehkan Non Muslim Ikut Patungan Kurban Sapi

 


Pada umumnya patungan kurban sapi itu adalah tujuh orang, lalu bagaimana kalau yang satu orang itu non muslim, apakah enam orang yang kurban itu sah kurbannya.

Jika ada non muslim (kafir dzimmi) bergabung dalam patungan sapi, maka tidak merusak niat peserta yang lain dalam berkurban. Meskipun perlu kita fahami bahwa patungan non muslim tersebut bukan kurban tapi pemberian pada umumnya karena kurban adalah ibadah yang hanya sah dari seorang muslim.

 Imam Nawawi dalam kitabnya menyebutkan

يجوز أن يشترك سبعة في بدنة أو بقرة للتضحية سواء كانوا كلهم أهل بيت واحد أو متفرقين أو بعضهم يريد اللحم فيجزئ عن المتقرب وسواء كان أضحية منذورة أو تطوعا هذا مذهبنا وبه قال أحمد وداود وجماهير العلماء الا أن داود جوزه في التطوع دون الواجب وبه قال بعض أصحاب مالك وقال أبو حنيفة ان كانوا كلهم متفرقين جاز وقال مالك لا يجوز الاشتراك مطلقا كما لا يجوز في الشاة الواحدة

Boleh patungan tujuh orang untuk seekor onta atau sapi, baik mereka semua satu rumah, atau dari keluarga yang berbeda, atau ada sebagian yang tidak berniat kurban karena hanya menginginkan dagingnya dan sah untuk yang berniat kurban, baik kurban nadzar atau kurban sunah. Inilah pendapat madzhab kami (syafiiyah), dan ini pendapat Imam Ahmad, Daud (Azh-Zhahiri) serta mayoritas ulama. Hanya saja, Daud membolehkan patungan jika kurbannya bukan kurban wajib. Dan ini pula yang menjadi pendapat sebagian Malikiyah. Sementara Abu Hanifah mengatakan, Jika mereka semua niatnya untuk kurban, boleh patungan. Kemudian Imam Malik mengatakan, Tidak boleh patungan secara mutlak, sebagaimana tidak boleh patungan untuk seekor kambing.  (Kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Juz VIII, halaman 398)

Status hukum kurbannya non-Muslim adalah tidak sah sebagai kurban. Namun pemberian daging binatang kurban dari mereka tetap boleh diterima oleh orang Islam atas nama sedekah, bahkan menjadi langkah yang tepat untuk menjaga keharmonisan antar umat beragama. Binatang pemberian non-Muslim tersebut halal dimakan dengan syarat penyembelihnya adalah orang Islam (sesuai dengan Syariat).

Dalam Al-Qur'an disebutkan :

وَلاَ تَأْكُلُوْا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لَيُوْحُوْنَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوْهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُوْنَ

Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. (Q.S.  Al-An'aam, ayat  121)


Senin, 28 April 2025

Bolehkah Khotib Minum Saat Berkhutbah

 


Minum pada saat khutbah sedang berlangsung karena haus adalah diperbolehkan, baik bagi jamaah maupun bagi khatib. Berbeda jika meminumnya bukan karena untuk menghilangkan rasa haus, tetapi karena hanya ingin bersenang-senang saja atau sekadar ingin minum padahal tidak haus.

Imam Nawawi dalam kitabnya menjelaskan :

يُسْتَحَبُّ لِلْقَوْمِ اَنْ يُقْبِلُوا عَلَى الْخَطِيبِ مُسْتَمِعِينَ وَلَا يَشْتَغَلُوا بِغَيْرِهِ حَتَّى قَالَ اَصْحَابُنَا يُكْرَهُ لَهُمْ شُرْبُ الْمَاءِ لِلتَّلَذُّذِ وَلَا بَأْسَ يَشْرَبُهُ لِلْعَطَشِ لِلْقَوْمِ وَالْخَطيبِ هَذَا مَذْهَبُنَا، قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ رَخَّصَ فِي الشُّرْبِ طَاوُسٌ وَمُجَاهِدٌ وَالشَّافِعِيُّ وَنَهَي عَنْهُ مَالِكٌ وَالْاَوْزَاعِيُّ وَاَحْمَدُ وَقَالَ الْاَوْزَاعِيُّ تَبْطُلُ الْجُمُعَةُ إِذَا شَرِبَ وَالْاِمَامُ يَخْطُبُ وَاخْتَارَ ابْنُ الْمُنْذِرِ اَلْجَوَازَ قَالَ وَلَا اَعْلَمُ حُجَّةً لِمَنْ مَنَعَهُ قَالَ الْعَبْدَرِىُّ قَوْلُ الْاَوْزَاعِيِّ مُخَالِفٌ لِلْاِجْمَاعِ

Sunah bagi jamaah shalat Jumat untuk menghadap khatib seraya menyimak baik-baik isi khutbahnya dan tidak boleh menyibukkan dengan selainnya sehingga para ulama madzhab kami (Madzhab Syafi‘i) berpendapat bahwa makruh bagi mereka minum untuk bersenang-senang, dan tidak menjadi masalah jika meminum karena haus baik bagi jamaah maupun khatibnya, ini adalah pandangan madzhab kami. Ibnul Mundzir mengatakan bahwa Thawus, Mujahid, dan Imam Syafi'i memberikan rukhsah (keringanan). Sedangkan Imam Malik, Al-Auza‘i, dan Imam Ahmad melarang minum saat khutbah sedang berlangsung. Al-Auza‘i berpendapat kebatalan jumatan ketika minum saat imam atau khathib sedang berkhutbah. Sedangkan Ibnul Mundzir memilih pendapat untuk membolehkannya. Ia berkata : Saya tidak tahu hujjah ulama yang melarang minum saat khutbah sedang berlangsung. Sedang Al-Abdari menyatakan : Pendapat Al-Auza‘i menyalahi ijma’ ulama, (Kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Juz IV, halaman 529)

Sabtu, 26 April 2025

Kubur itu Bagaikan Taman Surga

 


عَنْ أَبِى سَعِيْدٍ  قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الْقَبْرُ رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ أَوْ حُفْرَةٌ مِنْ حُفَرِ النَّارِ

Dari Abu Said ia berkata, Rasulullah bersabda : Sesungguhnya kubur itu tak ubahnya bagaikan taman dari taman-taman surga atau lubang dari lubang-lubang neraka. (H. R. Tirmidzi no. 2648)

Jumat, 25 April 2025

Bolehkah Niat Kurban Sekaligus Aqiqah

 


Tidak sedikit orang yang ketika menginjak usia dewasa belum diaqiqahi oleh orang tuanya. Mungkin karena belum mampu atau sebab hal lain. Saat dewasa, si anak tersebut ingin berkurban, kemudian timbul sebuah pertanyaan: Bagaimana jika aqiqah mereka dibarengkan dengan kurban sekaligus, apakah yang demikian itu sah? Ulama Syafiiyyah berbeda pendapat menyikapi hal ini.

Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami dan mayoritas ulama berpendapat tidak cukup, bahkan jika dilakukan tidak sah. Syaikh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya menjelaskan :

لَوْ نَوَى بِشَاةٍ الْأُضْحِيَّةَ وَالْعَقِيْقَةَ لَمْ تَحْصُلْ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا وَهُوَ ظَاهِرٌ،  لِأَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا سُنَّةٌ مَقْصُوْدَةٌ وَلِأَنَّ الْقَصْدَ بِالْأُضْحِيَّةِ الضِّيَافَةُ الْعَامَّةُ وَمِنَ الْعَقِيْقَةِ الضِّيَافَةُ الْخَاصَّةُ وَلِأَنَّهُمَا يَخْتَلِفَانِ فِي مَسَائِلَ

Apabila seseorang niat berkurban dan aqiqah sekaligus dengan satu kambing, maka keduanya tidak sah dan itu sudah jelas. Karena masing-masing hukumnya sunah yang memiliki tujuan tersendiri. Dan sesungguhnya tujuan kurban tergolong hidangan yang bersifat umum, sedangkan aqiqah tergolong hidangan yang bersifat khusus dan keduanya memiliki banyak perbedaan dan permasalahan. (Kitab Tuhfah Al-Muhtaj fi Syarh Al-Minhaj,  Juz XXXXI, halaman 172)

Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab lainnya beliau mengatakan :

أَنَّهُ لَا تَدَاخُلَ فِي ذَلِكَ لِأَنَّ كُلًّا مِنَ الْأُضْحِيَّةِ وَالْعَقِيْقَةِ سُنَّةٌ مَقْصُوْدَةٌ لِذَاتِهَا وَلَهَا سَبَبٌ يُخَالِفُ سَبَبَ الْأُخْرَى وَالْمَقْصُوْدُ مِنْهَا غَيْرُ الْمَقْصُوْدِ مِنَ الْأُخْرَى إذِ الْأُضْحِيَّةُ فِدَاءٌ عَنِ النَّفْسِ وَالْعَقِيْقَةُ فِدَاءٌ عَنِ الْوَلَدِ

Bahwasanya alasan tidak boleh digabung karena masing-masing dari kurban dan aqiqah memiliki kesunahan tersendiri serta sebab maupun tujuan yang tidak sama antara satu dengan yang lain, karena kurban sebagai tebusan untuk diri sendiri dan aqidah untuk anak yang dilahirkan. (Kitab Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, Juz IX, halaman 420)

Sedangkan menurut Imam Romli, ia bisa mendapatkan pahala kedua-duanya. Maksudnya, apabila bertepatan antara tanggal 10-13 Dzulhijjah ada orang yang berkurban sekaligus niat beraqiqah dengan hewan yang sama berupa satu kambing (untuk wanita) atau dua kambing (untuk laki-laki), menurut Imam Romli hal ini bisa mendapatkan pahala kurban dan aqiqah. Pahalanya berlipat ganda. Tentu harus diniati dari hati orang yang berkurban itu. Apabila tidak diniati, tidak akan mendapat pahala kedua-duanya.

Imam Ramli dalam kitabnya menjelaskan :

وَلَوْ نَوَى بِالشَّاةِ الْمَذْبُوْحَةِ الْأُضْحِيَّةَ وَالْعَقِيْقَةَ حَصَلَا خِلَافًا لِمَنْ زَعَمَ خِلَافَهُ

Apabila seseorang niat pada kambing yang di sembelih untuk dijadikan kurban sekaligus aqiqah maka keduanya sah. Pendapat ini berbeda dengan yang menyelisihkannya. ( Kitab Nihayah Al-Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj, Juz XXVII, halaman 233)

Sedangkan menurut pendapat yang diutarakan oleh Syaikh Ibnu Hajar Al-Asqalani, bila orang yang belum diaqiqahi oleh orang tuanya, kemudian ia menjalankan ibadah kurban, maka kurbannya itu saja sudah cukup baginya tanpa perlu beraqiqah

Syaikh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya menyatakan :

وَعِنْدَ عَبْدِ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرَ عَنْ قَتَادَةَ  مَنْ لَمْ يَعُقّ عَنْهُ أَجْزَأْتِهِ أُضْحِيَّتِهِ  وَعِنْدَ ابْنِ أَبِي شَيْبَة عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيْرِيْنَ وَالْحَسَنِ  يُجْزِئ عَنِ الْغُلَامِ الْأُضْحِيَّةِ مِنَ الْعَقِيْقَةِ

Menurut Abdur Razzaq, dari Ma'mar dari Qatadah : Barang siapa yang belum diaqiqahi maka cukup baginya berkurban. Menurut Ibnu Abi Syaibah dari Muhammad ibn Sirin dan Al-Hasan : Cukup bagi seorang anak kurban dari aqiqah. (Kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, Juz XV, halaman 397)

Jadi kesimpulannya, terdapat perbedaan pendapat dalam madzhab Syafi'I yaitu antara Imam Romli yang memperbolehkan satu hewan dengan diniatkan kurban dan aqiqah serta mendapatkan dua pahala sekaligus. Sedangkan menurut Ibnu Hajar Al-Haitami, tidak sah dengan niat kurban sekaligus niat aqiqah jadi harus diniatkan salah satu saja. Sedangkan menurut pendapat Syaikh Ibnu Hajar Al-Asqalani yaitu apabila penyembelihan bertepatan waktu kurban maka cukup diniatkan kurban saja. Ini akan mencukupi tuntutan sunnah aqiqah pada seseorang.

Rabu, 12 Februari 2025

Hukum Membuka Warung Makanan di Bulan Puasa

 


Hukum menjual makanan atau buka warung makanan pada siang hari di bulan puasa dirinci sebagai berikut:

Pertama boleh

Jika dipastikan pembeli tidak menggunakannya untuk maksiat, yaitu ketika pembelinya adalah orang-orang yang tidak berkewajiban puasa. Seperti anak kecil, wanita haid atau nifas, orang yang sakit, dan musafir yang melakukan perjalanan dengan jarak yang diperbolehkan qashar shalat (kurang lebih 81 km). Atau bisa jadi pembeli adalah orang yang wajib puasa, namun nasi yang dibeli dibungkus dan dibawa pulang, sehingga ada kemungkinan nasi tersebut untuk persiapan berbuka, atau untuk keluarga yang tidak wajib puasa, semisal untuk anaknya.

Kedua makruh

Jika dikhawatirkan akan digunakan maksiat. Seperti ada pembeli yang berkewajiban puasa, dan ada kekhawatiran dari penjual bahwa nasi tersebut akan dimakan di siang hari dalam keadaan wajib puasa.

Ketiga haram

Jika diduga kuat atau bahkan diyakini akan digunakan untuk maksiat. Seperti ketika diketahui pembelinya adalah orang yang wajib puasa, dan penjual yakin akan dimakan di siang hari, semisal penjual mengenal pembeli adalah orang yang berkewajiban puasa, namun sering tidak puasa.

Syaikh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairami dalam kitabnya mengatakan :

 ( وَبَيْعِ نَحْوِ رُطَبٍ ) كَعِنَبٍ ( لِمُتَّخِذِهِ مُسْكِرًا ) بِأَنْ يَعْلَمَ مِنْهُ ذَلِكَ أَوْ يَظُنَّهُ فَإِنْ شَكَّ فِيهِ أَوْ تَوَهَّمَهُ مِنْهُ فَالْبَيْعُ لَهُ مَكْرُوهٌ وَإِنَّمَا حُرِّمَ أَوْ كُرِهَ ؛ لِأَنَّهُ سَبَبٌ لِمَعْصِيَةٍ مُحَقَّقَةٍ أَوْ مَظْنُونَةٍ أَوْ لِمَعْصِيَةٍ مَشْكُوكٍ فِيهَا أَوْ مُتَوَهَّمَةٍ

(Haram menjual semisal kurma segar), seperti anggur, (kepada orang yang menjadikannya sebagai minuman keras), dengan gambaran penjual mengetahui atau menduga kuat akan dijadikan hal tersebut. Tetapi jika dia meragukannya atau hanya mengira-ngira saja, maka jual belinya adalah makruh. Hukum haram atau makruh tersebut dikarenakan penjualan tersebut merupakan sebab dari terjadinya kemaksiatan yang nyata atau yang diduga, atau kemasiatan yang diragukan atau dikira-kira. (Kitab  Hasyiyah Bujairami 'alal Minhaj , Juz VII, halaman 37)

Sebagai kesimpulan, membuka warung makanan pada siang hari di bulan puasa adalah diperbolehkan, kecuali jika ada dugaan kuat atau keyakinan nasi atau makanan yang dibeli akan dimakan di siang hari oleh orang yang wajib berpuasa, maka hukumnya menjadi haram. 

Sebagai solusi, untuk menghindari adanya potensi kemaksiatan, sebaiknya jualan makanan dilakukan di sore hari menjelang berbuka, atau malam hari. Jika penjualan tetap dilakukan pada siang hari, maka hanya melayani orang-orang yang tidak wajib puasa, seperti anak kecil, orang yang haid atau nifas, orang yang sakit atau musafir. Sebaiknya makanan tersebut dibungkus, agar tidak ada kekhawatiran warung tersebut digunakan tempat makan orang-orang yang berkewajiban puasa

Jumat, 07 Februari 2025

Khatib Jum'at Tidak Duduk di Antara Dua khutbah

 


Hendaknya khatib mampu menunaikan rukun dan syarat khutbah dengan baik dan benar. Namun karena satu dan lain hal, masih ditemukan beberapa khatib yang kurang memperhatikan syarat atau rukun khutbah ini. Bahkan, tak jarang ada salah satu syarat atau rukunnya yang tertinggal, baik disadari maupun tidak. Ini seringkali menjadi perdebatan di masyarakat. Padahal, syarat dan rukun merupakan dua hal yang wajib ada demi keabsahan ibadah yang bersangkutan. Adapun perbedaan di antara keduanya terletak pada waktu dan tempat. Syarat berada di luar ibadah, sedangkan rukun berada dalamnya.

Salah satu syarat syahnya khutbah adalah duduk di antara dua khutbah, Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhrami, dalam kitabnya Safinatun Najah halaman 18, mengatakan :

(فَصْلٌ) شُرُوْطُ الْخُطْبَتَيْنِ عَشَرَةٌ : اَلطَّهَارَةُ عَنِ الْحَدَثَيْنِ الْأَصْغَرِ وَاْلَأكْبَرِ وَالطَّهَارَةُ عَنِ النَّجَاسَةِ فِيْ الثَّوْبِ وَالْبَدَنِ وَالْمَكَانِ وَسَتْرُ الْعَوْرَةِ وَالْقِيَامُ عَلَى الْقَادِرِ وَالْجُلُوْسُ بَيْنَهُمَا فَوْقَ طُمَأْنِيْنَةِ الصَّلاَةِ وَالْمُوَالَاةُ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ الصَّلاَةِ وَأَنْ تَكُوْنَ بِالْعَرَبِيَّةِ وَأَنْ يُسْمِعَهُمَا أَرْبَعِيْنَ وَأَنْ تَكُوْنَ كُلُّهَا فِيْ وَقْتِ الّظُهْرِ

Syarat syahnya khutbah jum’at ada sepuluh :

1.  Bersih dari hadats kecil (seperti kencing) dan besar seperti junub.

2.  Suci dari najis pada pakaian, badan dan tempatnya

3.  Menutup aurat.

4.  Khutbah disampaikan dengan berdiri bagi yang mampu.

5.  Duduk di antara dua khutbah, selama kira-kira lebih dari ukuran thuma'ninah dalam shalat

6.  Kedua khutbah dilaksanakan dengan berurutan

7.  Khutbah dan shalat Jum’at dilaksanakan secara berurutan.

8.  Kedua khutbah disampaikan dengan bahasa Arab.

9.  Khutbah Jum’at didengarkan oleh 40 orang laki-laki

10. Khutbah Jum’at dilaksanakan dalam waktu Dzuhur.

Hal ini juga berdasarkan hadits nabi :

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَجْلِسُ ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا

Dari Jabir bin Samurah, bahwasanya Rasulullah saw berkhutbah dengan berdiri, lalu duduk kemudian berdiri dan berkhutbah. (H. R. Muslim no. 2033)

Bila khatib itu meninggalkan salah satu syarat syahnya khutbah, seperti tidak duduk di antara dua khutbah maka konsekuensinya, khutbah itu harus diulang lagi dari awal, sebelum shalat Jum'at dilaksanakan. Yang mengulanginya bisa saja sang khatib sendiri, di mana setelah dia turun dari mimbar, harus ada yang mengingatkan bahwa dia lupa membaca salah satu rukunnya, atau boleh saja takmir masjid naik mimbar menyelamatkan shalat Jum'at itu agar menjadi sah. Cukup mengucapkan rukun-rukunnya saja tanpa isi atau keterangan lainnya, seperti dalam khutbah pertama hanya membaca :

اَلْحَمْدُ لِلهِ اَللهم صَلِّ عَلىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اِتَّقُوْااللهَ - قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ

Dan dalam khutbah kedua hanya membaca :

اَلْحَمْدُ لِلهِ اَللهم صَلِّ عَلىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اِتَّقُوْااللهَ - قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ
- اَللهم اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ

Tentu ini hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang paham ilmu fiqih, khususnya fiqih shalat Jum'at. Jika hal itu tidak dilakukan dan langsung melaksanakan shalat Jum'ah, maka Jum'ahnya ikut menjadi batal, karena dua khutbah itu menjadi salah satu rukun jum'ah. Jika jum'ah batal, maka wajih i'adah Dhuhur (mengulang dengan shalat Dhuhur)

Duduk di Antara Dua Khutbah

 


عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَجْلِسُ ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا

Dari Jabir bin Samurah, bahwasanya Rasulullah saw berkhutbah dengan berdiri, lalu duduk kemudian berdiri dan berkhutbah. (H. R. Muslim no. 2033)