Minggu, 31 Agustus 2025

Surga dan Neraka itu Sangat Dekat

 


عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلْجَنَّةُ أَقْرَبُ إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ شِرَاكِ نَعْلِهِ ، وَالنَّارُ مِثْلُ ذَلِكَ

Dari Ibnu Mas'ud ia berkata, Nabi saw bersabda : Surga itu lebih dekat kepada seseorang di antaramu dari pada tali sandalnya, begitu juga neraka. (H. R. Bukhari no. 6488)

Rabu, 27 Agustus 2025

Nabi Shalat Baca Tiga Surat Panjang

 


عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ فَقُلْتُ يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ. ثُمَّ مَضَى فَقُلْتُ يُصَلِّى بِهَا فِى رَكْعَةٍ فَمَضَى فَقُلْتُ يَرْكَعُ بِهَا. ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلاً إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيْهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ ثُمَّ رَكَعَ فَجَعَلَ يَقُولُ سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ. فَكَانَ رُكُوْعُهُ نَحْوًا مِنْ قِيَامِهِ ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ. ثُمَّ قَامَ طَوِيْلاً قَرِيْبًا مِمَّا رَكَعَ ثُمَّ سَجَدَ فَقَالَ سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى. فَكَانَ سُجُوْدُهُ قَرِيْبًا مِنْ قِيَامِهِ

Dari Hudzaifah ia berkata, Pada suatu malam, aku salat bersama Nabi saw lalu beliau memulai dengan surat Al-Baqarah (setelah Al-Fatihah). Dalam hati aku berkata, (mungkin) beliau akan rukuk setelah sampai seratus ayat, namun ternyata beliau melanjutkan. Dalam hati aku berkata, (mungkin) beliau melakukan shalat ini dengan membaca (habis) surat Al-Baqarah, namun beliau melanjutkan dengan surat An-Nisa dan menyelesaikannya, kemudian membaca surat Ali Imran dan menyelesaikannya. Beliau membacanya dengan perlahan. Ketika sampai pada ayat tentang tasbih, maka beliau bertasbih, dan ketika sampai pada ayat tentang permohonan, maka beliau memohon. Ketika sampai pada ayat permohonan perlindungan, maka beliau berlindung. Setelah itu beliau rukuk dan mengucapkan : Subhaana rabbiyal ‘azhiim (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung). Ketika itu rukunya hampir sama dengan berdirinya, lalu beliau mengucapkan : Sami’allahu liman hamidah (Allah mendengar orang yang memuji-Nya). Beliau berdiri lama seperti ketika rukuk, lalu beliau sujud dan mengucapkan : Subhaana rabbiyal a’laa (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi). Ketika itu sujud beliau hampir sama dengan berdirinya. (H. R. Muslim no. 1850)

Senin, 25 Agustus 2025

Mukmin yang Lebih Baik Dari yang lemah

 


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوَلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah saw bersabda : Mukmin yang kuat lebih baik dan dicintai oleh Allah dari mukmin yang lemah. Pada setiap hal terdapat kebaikan. Peliharalah dari sesuatu yang mendatangkan manfaat padamu. Mohonlah pertolongan pada Allah dan jangan bersikap lemah. Bila kamu ditimpa musibah, jangan berkata : Sikaranya saya berbuat demikian, niscaya begini dan begini. Tetapi katakanlah : Semua itu adalah ketetapan Allah. Sesungguhnya kalimat seandainya dapat membukakan pintu bagi godaan syetan. (H.R. Muslim no. 6945).

Sabtu, 23 Agustus 2025

Dua Nikmat Sering Dilupakan

 


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا  قَالَ قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ اَلصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

Dari Ibnu Abbas ra dia berkata, Nabi saw bersabda : Dua nikmat yang kebanyakan manusia itu rugi yaitu kesehatan dan kesempatan. (H.R. Bukhari no. 6412)

Kamis, 07 Agustus 2025

Hukum Makmum Shalat di Serambi dan Pintunya Tertutup

 


Mengenai shalat berjamaah, di mana imam berada di dalam masjid dan makmum berada di serambi tetapi pintu masjid tertutup, maka akan terjadi permasalahan berkaitan dengan jamaah, yakni imam dan makmum dianggap tidak berkumpul dalam satu tempat.

Serambi masjid menurut statusnya, diistilahkan dengan rahabah atau harim. Kedua istilah itu dijelaskan sebagi berikut:

1. RAHABA

Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam kitabnya mengatakan :

وَرَحْبَتُهُ، وَهِيَ مَا خَرَجَ عَنْهُ، لَكِنْ حُجِرَ لِاَجْلِهِ، سَوَاءٌ أَعُلِمَ وَقْفِيَتُهَا مَسْجِدً أَوْ جُهِلَ أَمْرُهَا، عَمَلًا بِالظَّاهِرِ

Rahabah adalah tempat yang berada di luar masjid dan disediakan (hajr) untuk perluasan masjid baik diketahui perwakafannya untuk masjid ataupun tidak diketahui karena memandang dzahirnya. (Kitab Fathul Mu'in, Juz II, halaman 33). 

Adapun hukum jamaah pada rahabah yang imamnya berada di dalam masjid dan pintunya tertutup hukumnya sah, selama rahabah tersebut tidak diyakini dibangun setelah pembangunan masjid dan tidak pula diyakini bukan termasuk bagian masjid. Dengan kata lain, jamaah tersebut sah karena ruang rahabah dan ruang dalam masjid dianggap satu ruangan meskipun pintu masuk ke dalam masjid tertutup.

Syaikh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairami dalam kitabnya menyebutkan :

وَمِنْهُ يُؤْخَذُ أَنَّهُ لَا يَضُرُّ غَلْقُ تِلْكَ الْأَبْوَابِ وَرَحْبَةُ الْمَسْجِدِ كَهُوَ فِي صِحَّةِ اقْتِدَاءِ مَنْ فِيهَا بِإِمَامِ الْمَسْجِدِ وَإِنْ بَعُدَتْ الْمَسَافَةُ وَحَالَتْ أَبْنِيَةٌ نَافِذَةٌ

Diambil dari keterangan sebelumnya bahwasanya terkuncinya pintu tidak membahayakan sahnya jamaah (jamaah antara di dalam ruangan masjid dan di luar ruangan masjid), dan hukum rahabah masjid itu hukumnya seperti dalam masjid sama-sama sahnya orang yang berjamaah di rahabah masjid sedangkan imamnya di dalam masjid, meskipun jaraknya jauh dan terhalang bangunan yang bisa untuk menuju imam. (Kitab Hasyiyah Bujairami 'alal Minhaj, Juz III, halaman 336). 

Kemudian kriteria penghalang yang tidak mempengaruhi keabsahan jamaah di dalam ruangan masjid dan di luar ruangan masjid, Imam Ramli dalam kitabnya mengatakan

قَالَ : الْمُرَادُ نَافِذَةٌ نُفُوذًا يُمْكِنُ اسْتِطْرَاقُهُ عَادَةً

Imam Romli mengatakan bahwa yang dimaksud dengan penghalang yang bisa untuk menuju imam adalah yang mungkin untuk berjalan menuju imam. (Kitab Nihayah Al-Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj , Juz VI, hal. 139).

Imam Ramli dalam kitabnya mengatakan :

( قَوْلُهُ : وَلَوْ مُغْلَقَةً ) أَيْ وَإِنْ ضَاعَ مِفْتَاحُ الْغَلْقِ لِأَنَّهُ يُمْكِنُ فَتْحُهُ بِدُونِهِ ، وَمِنْ الْغَلْقِ الْقَفْلُ فَلَا يَضُرُّ

(Ucapan penulis: walaupun pintunya terkunci) artinya walaupun kuncinya terbengkalai (hilang) karena masih mungkin membuka pintu dengan cara lain dan termasuk kunci adalah gembok, maka tidak membahayakan keabsahan jamaah. (Kitab Nihayah Al-Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj , Juz VI, hal. 139).

Sedangkan hukum berjamaah pada rahabah yang diyakini dibangun setelah pembangunan masjid, atau diyakini bahwa rahabah bukan termasuk bagian masjid adalah tidak sah apabila makmum berada di dalam rahabah dan imam berada di dalam masjid dengan pintu tertutup karena sudah tidak dianggap satu ruangan.

Sayyid Bakri Syatha Ad-Dimyathi menyatakan dalamkitabnya :

فمتى لم يتيقن الحدوث بعده، أو لم يتيقن أنها غير مسجد، فهي من المسجد.

ومتى ما تيقن أحدهما، فهي ليست منه.

Maka ketika rahabah tidak diyakini dibangun setelah pembanguna masjid atau tidak diyakini bukan termasuk bagian masjid, maka rahabah dihukumi bagian dari masjid. Dan ketika rahabah diyakini sebaliknya, maka rahabah bukan termasuk masjid. (Kitab I'anatuth Thalibin, juz 2, hal. 34).

Hukum tidak sahnya jamaah tersebut karena tertutupnya pintu yang menjadikan jamaah tidak dianggap berada pada satu ruangan. Dan hukum ini berlaku apabila tertutupnya pintu masjid  sejak awal mulai berjamaah.

Syaikh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairami dalam kitabnya menyebutkan :

فَإِنْ حَالَ مَا يَمْنَعُ مُرُورًا كَشُبَّاكٍ أَوْ رُؤْيَةٍ كَبَابٍ مَرْدُودٍ أَوْ لَمْ يَقِفْ أَحَدٌ فِيمَا مَرَّ لَمْ يَصِحَّ الِاقْتِدَاءُ إذْ الْحَيْلُولَةُ بِذَلِكَ تَمْنَعُ الِاجْتِمَاعَ

Apabila di dalam tempat jamaah terdapat penghalang baik menghalangi jalan menuju imam seperti jendela atau menghalangi penglihatan seperti tertutupnya pintu ataupun tidak adanya seseorang yang berdiri di sebelah pintu masuk, maka mengikuti imam (jamaah) hukumnya tidak sah, karena tidak dianggap kumpul dalam satu tempat. (Kitab Hasyiyah Bujairami 'alal Minhaj, Juz III, halaman 332)

Sedangkan apabila tertutupnya pintu masjid itu terjadi ditengah-tengah melaksanakan shalat jamaah (seperti ada orang yang baru datang lalu menutupnya), maka hukumnya tetap sah.

Sayyid Bakri Syatha Ad-Dimyathi menyatakan dalamkitabnya :

فلو طرأ في أثنائها وعلم بانتقالات الامام ولم يكن بفعله لم يضر

Apabila tertutupnya pintu, terjadi di tengah-tengah melaksanakan jamaah, dan pergerakan imam masih dapat diketahui dan tertutupnya pintu bukan hal yang dilakukan oleh orang yang berjamaah, maka tidak mempengaruhi keabsahan jamaah. (Kitab I'anatuth Thalibin, juz 2, hal. 34).

2. HARIM

Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam kitabnya mengatakan :

وَهُوَ مَوْضِعُ اتَّصَلَ بِهِ وَهُيِّئَ لِمَصْلَحَتِهِ، كَانْصِبَابِ مَاءٍ، وَوَضْعِ نِعَالٍ

Harim adalah tempat yang sambung dengan masjid dan difungsikan untuk kemaslahatan masjid seperti menuangkan air dan meletakkan sandal”. (Kitab Fathul Mu'in, Juz II, halaman 34).

Dari uraian di atas,  jelaslah bahwa harim masjid tidak dihukumi masjid sehingga apabila jamaah berada di dalam harim sedangkan imam di dalam masjid dan pintu menuju imam tertutup, maka hukum jamahnya tidak sah, seperti rahabah yang tidak termasuk masjid.

Kesimpulannya, jika jamaah berada di serambi masjid sedangkan imam di dalam masjid dan pintu masjid tertutup, maka hukumnya diperinci (ditafsil) berdasarkan status serambi masjid itu sendiri sebagai berikut : Apabila serambi masjid  berstatus sebagai rahabah yang tidak diyakini dibangun setelah pembangunan masjid atau tidak diyakini bukan termasuk bagian masjid, maka jamaahnya tetap sah meskipun pintunya tertutup.   Apabila serambi masjid berstatus sebagai rahabah yang diyakini dibangun setelah pembangunan masjid atau diyakini bukan termasuk masjid, ataupun serambi berstatus sebagai harim, maka hukum jamaahnya tidak sah melihat pintu menuju imam tertutup.

Selasa, 05 Agustus 2025

Sujud Tilawah Dalam Shalat

 


Sujud tilawah adalah sujud yang disebabkan karena membaca atau mendengar ayat-ayat sajdah yang terdapat dalam Al-Qur’an. Sujud tilawah bisa dilakukan di luar shalat dan di dalam shalat, dengan syarat suci dari najis, hadast, menutup aurat dan menghadap qiblat

Halam hadits disebutkan :

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ عَلَيْنَا السُّوْرَةَ فِيْهَا السَّجْدَةُ فَيَسْجُدُ وَنَسْجُدُ حَتَّى مَا يَجِدُ أَحَدُنَا مَوْضِعَ جَبْهَتِهِ

Dari Ibnu Umar ra berkata : Nabi saw pernah membacakan untuk kami satu surat yang berisi ayat sajdah. Kemudian Beliau sujud. Lalu kami pun sujud hingga ada seorang diantara kami yang tidak mendapatkan tempat untuk meletakkan keningnya. (H. R. Bukhari no. 1075)

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِى يَقُوْلُ يَا وَيْلَهُ - وَفِى رِوَايَةِ أَبِى كُرَيْبٍ يَا وَيْلِى - أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُوْدِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَأُمِرْتُ بِالسُّجُوْدِ فَأَبَيْتُ فَلِىَ النَّارُ

Dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah saw bersabda : Apabila manusia membaca surat As-Sajdah, lalu dia sujud, maka setan menjauh menyendiri untuk menangis seraya berkata, 'Celakalah'. Dan dalam riwayat Abu Kuraib :  Celakalah aku, manusia disuruh bersujud maka mereka bersujud sehingga dia mendapatkan surga, sedangkan aku disuruh bersujud, lalu aku enggan, sehingga aku mendapatkan neraka. (H. R. Muslim No. 254)

Apabila telah sampai pada akhir ayat sajdah, kemudian turun (disertai niat dalam hati) untuk sujud sambil membaca takbir tanpa mengangkat tangan. Ketika sudah sujud kemudian baca doanya, setelah selesai naik kembali sambil membaca takbir, setelah dalam posisi berdiri (seperti semula) lanjutkan bacaan ayat yang tadi dibaca sebelum melakukan sujud tilawah, bila ayat sajdah yang tadi dibaca berada di tengah surat.

Namun bila ayat sajdah yang tadi dibaca berada di akhir surat maka setelah bangun dari sujud tilawah ia sejenak berdiri lalu diteruskan rukuk sambil membaca takbir seperti biasa, atau lebih disukai ditambah membaca sedikit ayat lagi atau surat pendek, lalu diteruskan dengan ruku’ dan seterusnya. Sujud tilawah yang di kerjakan di dalam shalat tidak memakai takbiratul ihram dan salam. namun bagi makmum tidak boleh mengerjakan sujud tilawah bilamana imamnya tidak mengerjakan, sekalipun makmum mendengar bacaan ayat-ayat sajdah.

Inilah niat sujud tilawah

نَوَيْتُ سَجْدَةَ التِّلَاوَةِ لِلهِ تَعَالَى

NAWAITU SAJDATAT TILAAWATI LILLAAHI TA'AALAA

Saya niat sujud tilawah karena Allah ta'ala

Inilah doa sujud tilawah

سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ فَتَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الخَالِقِيْنَ

SAJADA WAJHIYA LILLADZII KHOLAQOHU WA SHOWWAROHU WA SYAQQO SAM'AHU WA BASHOROHU BICHAULIHI WA QUWWATIHI FATABAAROKALLOHU AHSANAL KHOOLIQIIN

Wajahku bersujud kepada (Allah) yang telah menciptakannya, membuka pendengaran dan penglihatannya dengan daya dan kekuatan-Nya, Maha Suci Allau sebaik-baik pencipta.

Menurut Imam Nawawi bila yang dibaca adalah doa yang biasa dibaca saat sujud di waktu shalat maka diperbolehkan

Berdehem Dalam Shalat

 


Secara umum berdehem dalam shalat kalau ada udzur (Semisal, saat membaca surat Al-Fatihah, mushalli sulit mengeluarkan bunyi suaranya bila tidak berdehem, maka boleh baginya untuk berdehem), atau kepentingan yang mendesak maka tidak membatalkan shalat.  dalam hadits disebutkan :

عَنْ عَلِىٍّ قَالَ كَانَ لِى مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُدْخَلاَنِ مُدْخَلٌ بِاللَّيْلِ وَمُدْخَلٌ بِالنَّهَارِ فَكُنْتُ إِذَا أَتَيْتُهُ وَهُوَ يُصَلِّى يَتَنَحْنَحُ لِى.

Dari Ali, ia berkata: Aku memiliki dua pintu masuk kepada Rasulullah saw, satu di malam hari dan satu di siang hari. Setiap kali aku datang kepadanya saat beliau sedang salat, beliau akan berdeham untukku. (H. R. Ibnu Majah no. 3839, Nasa'i no. 1211 dan Ahmad no. 618)

Tapi bila sampai memperlihatkan satu huruf yang bisa difahami, Contoh satu huruf yang memahamkan adalah “Qi” yang berarti “Jagalah”.  atau dua huruf meski tidak difahami maka batal shalatnya. Bila tidak memperlihatkan huruf yang betul-betul jelas, semisal hanya suara-suara samar yang tidak jelas makhrajnya, maka tidak membatalkan secara mutlak, baik sedikit atau banyak, sengaja atau tidak sengaja. Faktanya, berdehem yang sering terjadi itu tidak sampai memperlihatkan huruf hijaiyyah yang terang, sehingga tidak membatalkan shalat. 

Syaikh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairami dalam kitabnya menyebutkan :

وَالظَّاهِرُ أَنَّ الْمُرَادَ ظَهَرَ بِكُلِّ مَرَّةٍ مِنَ التَّنَحْنُحِ وَنَحْوِهِ حَرْفَانِ فَأَكْثَرُ ؛ لِأَنَّ الصَّوْتَ الْغُفْلَ لَا عِبْرَةَ بِهِ ، كَمَا صَرَّحَ بِذَلِكَ. وَفِي كَلَامِهِ وَلَوْ نَهَقَ كَالْحِمَارِ أَوْ صَهَلَ كَالْفَرَسِ أَوْ حَاكَى شَيْئًا مِنَ الطُّيُوْرِ ، وَلَمْ يَظْهَرْ مِنْ ذَلِكَ حَرْفٌ مُفْهِمٌ أَوْ حَرْفَانِ لَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ ، وَإِلَّا بَطَلَتْ

Pendapat yang unggul bahwa dari berdehem dan semisalnya memperlihatkan dua huruf atau lebih. Karena suara yang tidak dikenal tidak dianggap sebagaimana dijelaskan oleh sang pengarang. Dan dalam statemennya, bila mushalli bersuara seperti suara keledai atau meringkik seperti suara kuda atau menceritakan satu dari beberapa suara burung dan tidak memperlihatkan satu huruf yang memahamkan, atau dua huruf, maka tidak batal shalatnya. Bila tidak demikian, maka batal. (Kitab Hasyiyah Bujairami 'alal Minhaj, Juz III, halaman 19)

Imam Nawawi dalam kitabnya mengatakan :

وأما التنحنح فحاصل المنقول فيه ثلاثة أوجه الصحيح الذى قطع به المصنف والاكثرون ان بان منه حرفان بطلت صلاته والا فلا والثانى لا تبطل وان بان حرفان قال الرافعي وحكى هذا عن نص الشافعي والثالث ان كان فمه مطبقا لم تبطل مطلقا والا فان بان حرفان بطلت والا فلا وبهذا قطع المتولي

Adapun berdehem, maka dari hasil nukilan pendapat ulama ada tiga pendapat. Yang paling shahih dan telah ditetapkan oleh mushannif (Imam Syairazi) dan kebanyakan ulama, jika seseorang berdehem sampai mengeluarkan suara dua huruf, maka shalatnya batal. Jika tidak sampai mengeluarkan suara dua huruf, maka tidak batal. Kedua, shalatnya tidak batal meskipun sampai mengeluarkan suara dua huruf. Imam al-Rafii berkata, ‘Ini dinukil dari pernyataan Imam Syafii.’ Ketiga, jika mulutnya tertutup, maka secara mutlak tidak batal. Namun jika tidak tertutup (terbuka) dan sampai mengeluarkan suara dua huruf, maka shalatnya batal. Jika tidak mengeluarkan suara dua huruf, maka tidak batal. Ini yang ditetapkan oleh Imam al-Mutawalli. (Kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab , Juz IV, Halaman 79)