Senin, 28 Mei 2018

Suami Istri Bermesraan Saat Puasa Ramadhan




Bermesraan antara suami istri yang disertai syahwat (atau karena motivasi syahwat) dalam keadaan berpuasa, secara fiqih formal (hukum) maka hukumnya makruh karena kalau tidak terkendali dapat mengarah pada terjadinya persetubuhan yang amat dilarang.

Namun dalam perspektif fiqih spiritual (tasawuf) perilaku yang demikian (bermesraan dalam keadaan berpuasa) jelas tidak baik karena dapat mengganggu dan mengurangi paahala puasa, dan sebagai salah satu pertanda belum mampunya seseorang mengendalikan diri/nafsu. Sangat beda dengan Rasulullah saw yang sangat mampu dalam mengendalikan diri beliau, dijelaskan dalam hadits :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لإِرْبِهِ
Dari Aisyah rah, ia berkata : Rasulullah saw pernah mencium dan mencumbuku mesra ketika beliau sedang berpuasa. Tetapi beliau memang seorang yang paling bisa mengendalikan nafsunya di antara kalian. (H. R. Muslim no. 2632)

Orang yang sedang bepuasa jika sampai melakukan hubungan badan (bersetubuh) dengan istri dalam keadaan sadar atau sengaja, maka puasanya jelas batal dan wajib membayar denda (kafarat), sebagai mana dijelaskan dalam hadits :

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هَلَكْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ وَمَا أَهْلَكَكَ. قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى فِى رَمَضَانَ. قَالَ هَلْ تَجِدُ مَا تُعْتِقُ رَقَبَةً. قَالَ لاَ. قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيْعُ أَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ. قَالَ لاَ. قَالَ فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا. قَالَ لاَ. قَالَ ثُمَّ جَلَسَ فَأُتِىَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيْهِ تَمْرٌ. فَقَالَ تَصَدَّقْ بِهَذَا. قَالَ أَفْقَرَ مِنَّا فَمَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا. فَضَحِكَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata : Seorang laki-laki datang menghadap Nabi saw dan berkata : Celaka diriku wahai Rasulullah. Beliau bertanya : Apa yang telah mencelakakanmu? Laki-laki itu menjawab : Saya telah menggauli isteriku di siang hari pada bulan Ramadlan. Beliau bertanya : Sanggupkah kamu untuk memerdekakan budak? Ia menjawab : Tidak. Beliau bertanya lagi : Sanggupkan kamu berpuasa dua bulan berturut-turut? Ia menjawab : Tidak. Beliau bertanya lagi : Sanggupkah kamu memberi makan kepada enam puluh orang miskin? Ia menjawab : Tidak. Abu Hurairah berkata : Kemudian laki-laki itu pun duduk, lalu diber Nabi saw satu keranjang berisi kurma. Maka beliau pun bersabda : Bersedekahlah dengan kurma ini. Laki-laki itu pun berkata : Adakah orang yang lebih fakir dari kami. Karena tidak ada penduduk di sekitar sini yang lebih membutuhkannya dari pada kami. (Mendengar ucapan itu), maka Nabi saw tertawa hingga gigi taringnya terlihat. Akhirnya beliau bersabda : Pulanglah dan berilah makan keluargamu dengannya. (H. R. Muslim no. 2651, Bukhari no. 6711)

Lain halnya jika suami sekedar mengecup kening istri, sebagai perwujudan dan ekspresi kasih sayang atau istri mencium tangan suami ketika bersalaman sebagai perwujudan dan ekspresi penghormatan, maka tidak masalah, tidak makruh, tidak mengganggu pahala puasa, bahkan merupakan kabaikan yang berpahala, selama semua itu tidak didasari dengan nafsu.

BACA JUGA :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar