Istri
bersedekah dengan harta suami diperbolehkan selama mendapat izin dari suaminya
dan digunakan untuk kebaikan.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ النَّبِيُّصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
أَنْفَقَتْ الْمَرْأَةُ مِنْ طَعَامِ بَيْتِهَا غَيْرَ مُفْسِدَةٍ كَانَ لَهَا
أَجْرُهَا بِمَا أَنْفَقَتْ وَلِزَوْجِهَا بِمَا كَسَبَ وَلِلْخَازِنِ مِثْلُ
ذَلِكَ لَا يَنْقُصُ بَعْضُهُمْ أَجْرَ بَعْضٍ شَيْئًا
Dari Aisyah rah
berkata; Nabi saw bersabda: Jika seorang isteri bersedekah (menginfaqkan)
makanan keluarganya yang tujuannya bukan mencari kerusakan maka baginya pahala
dari apa yang diinfaqkan itu dan begitu juga pahala bagi suaminya dari harta
hasil usahanya itu. Dan begitu juga seorang penjaga gudang (harta benda) akan
mendapatkan pahala tanpa dikurangi sedikitpun pahala masing-masingnya. (H. R.
Bukhari no. 2065)
عَنْ شُرَحْبِيْلَ بْنِ مُسْلِمٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ
قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِى حَقٍّ
حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ وَلاَ تُنْفِقُ الْمَرْأَةُ شَيْئًا مِنْ
بَيْتِهَا إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا. فَقِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَلاَ
الطَّعَامَ قَالَ ذَاكَ أَفْضَلُ أَمْوَالِنَا. ثُمَّ قَالَ الْعَارِيَةُ
مُؤَدَّاةٌ وَالْمِنْحَةُ مَرْدُوْدَةٌ وَالدَّيْنُ مَقْضِىٌّ وَالزَّعِيْمُ
غَارِمٌ
Dari
Syurahbil bin Muslim ia berkat,; saya mendengar Abu Umamah berkat, Aku
mendengar Rasulullah saw bersabda : Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah
memberikan hak kepada setiap yang memiliki hak, maka tidak ada wasiat bagi
pewaris. Dan tidak boleh seorang wanita bersedekah (menginfakkan) sesuatu dari
rumahnya kecuali dengan seizin suaminya. Kemudian beliau ditanya : Wahai
Rasulullah, tidak juga dengan makanan? Beliau menjawab : Itu adalah harta kita
yang terbaik. Kemudian beliau mengatakan : Pinjaman harus dikembalikan kepada
pemiliknya, sesuatu yang diberikan agar diambil manfaatnya dikembalikan kepada
pemiliknya, hutang harus dibayar, dan penanggung jawab adalah orang yang
bertanggung jawab. (H. R. Abu Daud no. 3567, Ahmad no. 22954)
Imam
Nawawi dalam kitabnya menulis :
وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا بُدَّ لِلْعَامِلِ - وَهُوَ الْخَازِنُ -
وَلِلزَّوْجَةِ وَالْمَمْلُوْكِ مِنْ إِذْنِ الْمَالِكِ فِي ذَلِكَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ إِذْنٌ أَصْلًا فَلَا أَجْرُ
لِأَحَدٍ مِنْ هَؤُلَاءِ الثَّلَاثَةِ، بَلْ عَلَيْهِمْ وِزْر بِتَصَرُّفِهِمْ فِي
مَالٍ غَيْرِهِمْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ.
وَالْإِذْنٍ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : اَلْإِذْنِ الصَّرِيْحُ فِي النَّفَقَةِ
وَالصَّدَقَةِ ، وَالثَّانِي : اَلْإِذْنِ الْمَفْهُوْمُ مِنْ اِطِّرَادِ الْعُرْفِ
وَالْعَادَةِ كَإِعْطَاءِ السَّائِلِ كِسْرَةِ وَنَحْوُهَا مِمَّا جَرَتِ
الْعَادَة بِهِ وَاطَّرَدَ الْعُرْفُ فِيْهِ ، وَعُلِمَ بِالْعُرْفِ رِضَاء
الزَّوْج وَالْمَالِك بِهِ ، فَإِذْنِهِ فِي ذَلِكَ حَاصِل وَإِنْ لَمْ يَتَكَلَّمْ. وَهَذَا إِذَا عَلِمَ رِضَاهُ لِاطِّرَادِ
الْعُرْف وَعَلِمَ أَنَّ نَفْسَهُ كَنُفُوْسِ غَالِبِ النَّاسِ فِي السَّمَاحَةِ
بِذَلِكَ وَالرِّضَا بِهِ ، فَإِنْ اِضْطَرَبَ الْعُرْف وَشَكَّ فِي رِضَاهُ أَوْ
كَانَ شَخْصًا يَشُحُّ بِذَلِكَ وَعَلِمَ مِنْ حَالِهِ ذَلِكَ أَوْ شَكَّ فِيْهِ
لَمْ يَجُزْ لِلْمَرْأَةِ وَغَيْرِهَا التَّصَدُّقُ مِنْ مَالِهِ إِلَّا بِصَرِيْحِ
إِذْنِهِ
Ketahuilah
bahwa Bila seorang pekerja yaitu penjaga harta tuannya, istri dan budak ingin bersedekah
(menginfaqkan) harta tuan atau suaminya, ia harus mendapatkan izin dari si
pemilik harta atau suami terlebih dahulu. Bila sama sekali tidak ada izinnya
maka tidak ada pahala yang didapatkan oleh ketiga golongan tersebut. Bahkan
ketiganya berdosa karena menggunakan harta orang lain tanpa seizin pemiliknya.
Yang namanya izin ada dua macam. Pertama : izin yang sharih (jelas) dalam
nafkah dan sedekah. Kedua : izin yang dipahami dari kebiasaan, seperti memberi
sepotong roti kepada peminta-minta, dan semisalnya dari kebiasaan yang biasa
berlangsung. Dan diketahui menurut kebiasaan bahwa suami dan pemilik harta
ridha. Dengan begitu diperoleh izinnya walaupun ia tidak mengucapkannya. Hal ini tentunya bila diketahui
keridhaannya menurut kebiasaan serta diketahui bahwa jiwanya sebagaimana jiwa
kedermawaan dan keridhaan sebagaimana keumuman orang-orang. Bila kebiasaannya
tidak tetap dan diragukan keridhaannya atau si pemilik harta atau suami itu
seorang yang pelit, dan itu diketahui atau diragukan dari keadaannya, maka
tidak boleh seorang istri dan selainnya menggunakan hartanya (untuk disedekahkan
kepada yang membutuhkan) kecuali mendapatkan izin yang sharih (jelas) darinya. (Kitab Syarah Shahih Muslim Juz III, halaman 473)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar