Selasa, 25 Juli 2017

Istri Bersedekah dengan Harta Suami



Istri bersedekah dengan harta suami diperbolehkan selama mendapat izin dari suaminya dan digunakan untuk kebaikan.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ النَّبِيُّصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَنْفَقَتْ الْمَرْأَةُ مِنْ طَعَامِ بَيْتِهَا غَيْرَ مُفْسِدَةٍ كَانَ لَهَا أَجْرُهَا بِمَا أَنْفَقَتْ وَلِزَوْجِهَا بِمَا كَسَبَ وَلِلْخَازِنِ مِثْلُ ذَلِكَ لَا يَنْقُصُ بَعْضُهُمْ أَجْرَ بَعْضٍ شَيْئًا
Dari Aisyah rah berkata; Nabi saw bersabda: Jika seorang isteri bersedekah (menginfaqkan) makanan keluarganya yang tujuannya bukan mencari kerusakan maka baginya pahala dari apa yang diinfaqkan itu dan begitu juga pahala bagi suaminya dari harta hasil usahanya itu. Dan begitu juga seorang penjaga gudang (harta benda) akan mendapatkan pahala tanpa dikurangi sedikitpun pahala masing-masingnya. (H. R. Bukhari no. 2065)

عَنْ شُرَحْبِيْلَ بْنِ مُسْلِمٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ وَلاَ تُنْفِقُ الْمَرْأَةُ شَيْئًا مِنْ بَيْتِهَا إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا. فَقِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَلاَ الطَّعَامَ قَالَ ذَاكَ أَفْضَلُ أَمْوَالِنَا. ثُمَّ قَالَ الْعَارِيَةُ مُؤَدَّاةٌ وَالْمِنْحَةُ مَرْدُوْدَةٌ وَالدَّيْنُ مَقْضِىٌّ وَالزَّعِيْمُ غَارِمٌ
Dari Syurahbil bin Muslim ia berkat,; saya mendengar Abu Umamah berkat, Aku mendengar Rasulullah saw bersabda : Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah memberikan hak kepada setiap yang memiliki hak, maka tidak ada wasiat bagi pewaris. Dan tidak boleh seorang wanita bersedekah (menginfakkan) sesuatu dari rumahnya kecuali dengan seizin suaminya. Kemudian beliau ditanya : Wahai Rasulullah, tidak juga dengan makanan? Beliau menjawab : Itu adalah harta kita yang terbaik. Kemudian beliau mengatakan : Pinjaman harus dikembalikan kepada pemiliknya, sesuatu yang diberikan agar diambil manfaatnya dikembalikan kepada pemiliknya, hutang harus dibayar, dan penanggung jawab adalah orang yang bertanggung jawab. (H. R. Abu Daud no. 3567, Ahmad no. 22954)

Imam Nawawi dalam kitabnya menulis :

وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا بُدَّ لِلْعَامِلِ - وَهُوَ الْخَازِنُ - وَلِلزَّوْجَةِ وَالْمَمْلُوْكِ مِنْ إِذْنِ الْمَالِكِ فِي ذَلِكَ  فَإِنْ لَمْ يَكُنْ إِذْنٌ أَصْلًا فَلَا أَجْرُ لِأَحَدٍ مِنْ هَؤُلَاءِ الثَّلَاثَةِ، بَلْ عَلَيْهِمْ وِزْر بِتَصَرُّفِهِمْ فِي مَالٍ غَيْرِهِمْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ. وَالْإِذْنٍ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : اَلْإِذْنِ الصَّرِيْحُ فِي النَّفَقَةِ وَالصَّدَقَةِ ، وَالثَّانِي : اَلْإِذْنِ الْمَفْهُوْمُ مِنْ اِطِّرَادِ الْعُرْفِ وَالْعَادَةِ كَإِعْطَاءِ السَّائِلِ كِسْرَةِ وَنَحْوُهَا مِمَّا جَرَتِ الْعَادَة بِهِ وَاطَّرَدَ الْعُرْفُ فِيْهِ ، وَعُلِمَ بِالْعُرْفِ رِضَاء الزَّوْج وَالْمَالِك بِهِ ، فَإِذْنِهِ فِي ذَلِكَ حَاصِل وَإِنْ لَمْ يَتَكَلَّمْ.  وَهَذَا إِذَا عَلِمَ رِضَاهُ لِاطِّرَادِ الْعُرْف وَعَلِمَ أَنَّ نَفْسَهُ كَنُفُوْسِ غَالِبِ النَّاسِ فِي السَّمَاحَةِ بِذَلِكَ وَالرِّضَا بِهِ ، فَإِنْ اِضْطَرَبَ الْعُرْف وَشَكَّ فِي رِضَاهُ أَوْ كَانَ شَخْصًا يَشُحُّ بِذَلِكَ وَعَلِمَ مِنْ حَالِهِ ذَلِكَ أَوْ شَكَّ فِيْهِ لَمْ يَجُزْ لِلْمَرْأَةِ وَغَيْرِهَا التَّصَدُّقُ مِنْ مَالِهِ إِلَّا بِصَرِيْحِ إِذْنِهِ

Ketahuilah bahwa Bila seorang pekerja yaitu penjaga harta tuannya, istri dan budak ingin bersedekah (menginfaqkan) harta tuan atau suaminya, ia harus mendapatkan izin dari si pemilik harta atau suami terlebih dahulu. Bila sama sekali tidak ada izinnya maka tidak ada pahala yang didapatkan oleh ketiga golongan tersebut. Bahkan ketiganya berdosa karena menggunakan harta orang lain tanpa seizin pemiliknya. Yang namanya izin ada dua macam. Pertama : izin yang sharih (jelas) dalam nafkah dan sedekah. Kedua : izin yang dipahami dari kebiasaan, seperti memberi sepotong roti kepada peminta-minta, dan semisalnya dari kebiasaan yang biasa berlangsung. Dan diketahui menurut kebiasaan bahwa suami dan pemilik harta ridha. Dengan begitu diperoleh izinnya walaupun ia tidak mengucapkannya. Hal ini tentunya bila diketahui keridhaannya menurut kebiasaan serta diketahui bahwa jiwanya sebagaimana jiwa kedermawaan dan keridhaan sebagaimana keumuman orang-orang. Bila kebiasaannya tidak tetap dan diragukan keridhaannya atau si pemilik harta atau suami itu seorang yang pelit, dan itu diketahui atau diragukan dari keadaannya, maka tidak boleh seorang istri dan selainnya menggunakan hartanya (untuk disedekahkan kepada yang membutuhkan) kecuali mendapatkan izin yang sharih (jelas) darinya(Kitab Syarah Shahih Muslim Juz III, halaman 473)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar