Selasa, 27 Juni 2017

Puasa Syawal atau Qadha Dulu



Lebih utama bagi yang punya hutang puasa Ramadhan untuk mengqadhanya terlebih dahulu kemudian berpuasa Syawal. Hal ini karena komposisi dan hirarki hukum Islam (fiqih) adalah bahwa yang fardhu/wajib itu pasti lebih urgen dan harus didahulukan dibanding yang sunnah/anjuran. Logikanya, kalau kita sudah mengqadha puasa Ramadhan dan belum sempat puasa Syawal lalu meninggal, maka kita sudah terbebas dari tanggungan hutang puasa dan tidak berdosa lantaran tidak puasa Syawal. Tapi sebaliknya kalau demi puasa Syawal kita menunda puasa qadha Ramadhan lalu tiba-tiba meninggal, maka kita berdosa lantaran sudah ada kesempatan mengqadha tidak dimanfaatkan, padahal pahala puasa Syawal tidak sebanding dengan dosa keteledoran mengqadha puasa Ramadhan

Dalam kitab shahih Bukhari juz I, halaman 642, dalam kitab puasa di bab ke 40 : Kapan ditunaikannya qadha puasa Ramadah, terdapat keterangan :

وَقَالَ سَعِيْدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ فِى صَوْمِ الْعَشْرِ لاَ يَصْلُحُ حَتَّى يَبْدَأَ بِرَمَضَانَ
Said bin Al-Musayyab berkata mengenai puasa sepuluh hari (di bulan Dzulhijjah), Tidaklah layak melakukannya sampai memulainya  terlebih dahulu dengan mengqadha puasa Ramadhan.

Bagaimana dengan hadits di bawah ini :

عَنْ أَبِيْ سَلَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا تَقُوْلُ كَانَ يَكُوْنُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيْعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ قَالَ يَحْيَى الشُّغْلُ مِنَ النَّبِيِّ أَوْ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Abu Salamah berkata, aku mendengar Aisyah rah berkata : Aku berhutang puasa Ramadhan dan aku tidak bisa mengqadhanya kecuali pada bulan Sya'ban. Yahya berkata : Karena dia sibuk dari Nabi atau bersama Nabi saw. (H. R. Bukhari no. 1950)

Telah nyata bahwa Aisyah rah tidak bisa mengqadha puasa Ramadhannya karena sibuk dengan atau karena Nabi saw, dan tidak ada keterangan itu dilakukan tiap tahun.

Kapan waktu yang baik untuk menunaikan puasa Syawal? Bagi orang yang tidak punya hutang puasa Ramadhan bisa dilaksanakan sehari setelah hari raya Idul Fitri.

Imam Nawawi dalam kitabnya menulis :

قَالَ أَصْحَابُنَا : وَالْأَفْضَلُ أَنْ تُصَامَ السِّتَّةُ مُتَوَالِيَةً عَقِبَ يَوْم الْفِطْرِ ، فَإِنْ فَرَّقَهَا أَوْ أَخَّرَهَا عَنْ أَوَائِلِ شَوَّالِ إِلَى أَوَاخِرِهِ حَصَلَتْ فَضِيْلَة الْمُتَابَعَةُ ؛ لِأَنَّهُ يَصْدُقُ أَنَّهُ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ

Para sahabat kami (ulama Syafi'iyah) berkata : Dan lebih utama bahwa puasa enam hari (Syawal) dikerjakan secara berurutan setelah hari raya Idul Fitri, namun bila dia memisahkannya atau mengahirkan dari awal hingga akhir bulan Syawal, maka ia telah mendapatkan keutamaan mengiringinya, karena sesungguhnya ia telah benar mengiringi puasa Ramadhan dengan enam hari berpuasa di bulan Syawal. (Kitab Syarah shahih Muslim, Juz IV, halaman 186)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar