Kamis, 03 Maret 2016

hukum tidur di dalam masjid






Tidur di dalam masjid hukumnya mubah (boleh), asal dapat menjaga kebersihannya.

Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Jus II, halaman 137, beliau mengatakan :

يَجُوْزُ النَّوْمُ فِي الْمَسْجِدِ وَلَا كَرَاهَةَ فِيْهِ عِنْدَنَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ فِي اْلأُمِّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلأَصْحَابُ
Tidur di masjid hukumnya boleh, tidak makruh menurut pendapat kami. Imam Syafi'i Rahimahullah telah memberikan nash atas bolehnya itu telah disepakati oleh sahabat-sahabatnya

وَاحْتَجَّ الشَّافِعِيُّ ثُمَّ أَصْحَابُنَا لِعَدَمِ اْلكَرَاهَةِ بِمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيْحَيْنِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كُنْتُ أَنَامُ فِي الْمَسْجِدِ وَأَنَا شَابٌّ أَعْزَبُ وَثَبَتَ أَنْ أَصْحَابَ الصُّفَّةِ كَانُوْا يَنَامُوْنَ فِي الْمَسْجِدِ وَأَنَّ الْعُرَنِيِّيْنَ كَانُوْا يَنَامُوْنَ فِي الْمَسْجِدِ وَثَبَتَ فِي الصَّحِيْحَيْنِ أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللهُ عَنْهُ نَامَ فِيْهِ وَأَنَّ صَفْوَانَ بْنَ أُمَيَّةَ نَامَ فِيْهِ وَأَنَّ الْمَرْأَةَ صَاحِبَةَ اْلوُشَاحِ كَانَتْ تَنَامُ فِيْهِ وَجَمَاعَاتٍ آخِرِيْنَ مِنَ الصَّحَابَةِ وَأَنَّ ثُمَامَةَ بْنَ أَثَالٍ كَانَ يَبِيْتُ فِيْهِ قَبْلَ إِسْلَامِهِ وَكُلَّ هَذَا فِي زَمَنِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Imam Syafi'i, begitu pula sahabat-sahabat kami, telah berdalil atas tidak makruh tidur di masjid, dengan hadits yang kuat terdapat dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar ra. Beliau telah berkata : Saya suka tidur di masjid, padahal saya seorang pemuda yang belum kawin. Dan telah terdapat hadits yang kuat yang menyatakan bahwasanya Ahlush Shuffah (sahabat-sahabat Nabi saw yang miskin, tidak punya rumah dan tidak punya harta) mereka suka tidur di masjid. Dan orang-orang dari kabilah Urainah, mereka suka tidur di masjid. Dan telah terdapat hadits yang kuat dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim, bahwa Sayyidina Ali ra pernah tidur di masjid, sahabar Shafwan bin Umayah pernah tidur di masjid, seorang perempuan tukang selempang suka tidur di masjid. Begitu pula segolongan dari para sahabat yang lain, Tsumamah bin Atsal, ia suka menginap di masjid, sebelum ia beragama Islam. Semua itu terjadi pada zaman Rasulullah saw. (kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Jus II, halaman 137-174)

إِبَاحَةُ اْلأَكْلِ وَالشُّرْبِ وَالنَّوْمِ فِيْهَا: فَعَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: كُنَّا فِي زَمَنِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَنَامُ فِي الْمَسْجِدِ نَقِيْلُ فِيْهِ وَنَحْنُ شَبَابٌ
Boleh hukumnya, makan, minum dan tidur di masjid di mana saja. Terdapat sebuah hadits dari Ibnu Umar, beliau berkata : Kami (para sahabat) pada zaman Rasulullah saw suka tidur di masjid, kami tidur qailulah (tidur tengah hari) di dalamnya, dan kami pada waktu itu masih muda-muda. (Kitab Fiqhus Sunnah, Juz I, halaman 213).

Akan tetapi, kalau pengurus atau pemilik masjid (waqif) itu melarang tidur di dalamnya, mungkin agar terjaga keindahan dan kebersihannya, tentu tidak boleh tidur di masjid tersebut, sebab bila ia tidur di masjid itu, berarti ia telah menggunakan milik atau fasilitas orang lain tanpa seizin pemiliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar