Rabu, 09 Desember 2015

Tawadhu' (rendah hati)



Masih berkaca pada untaian nasihat Luqman Al-Hakim kepada anaknya. Menjelang akhir nasihat-nya, Luqman melarang sang anak dari sikap takabur dan memerintahkannya untuk merendahkan diri (tawadhu’). Luqman berkata kepada anaknya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang som-bong lagi membanggakan diri. (Q.S. 31 Luqman 18)

     Demikian Luqman melarang untuk memalingkan wajah dan bermuka masam kepada orang lain karena sombong dan merasa dirinya besar, melarang dari berjalan dengan angkuh, som-bong terhadap nikmat yang ada pada dirinya dan melupakan Dzat yang memberikan nikmat, serta kagum terhadap diri sendiri. Karena Allah tidak menyukai setiap orang yang menyombong-kan diri dengan keadaannya dan bersikap angkuh dengan ucapannya. 

"Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung."  (Q.S. 17 Al Israa' 37)

    Demikianlah, seseorang dengan ketakaburannya tidak akan dapat mencapai semua itu. Bahkan ia akan menjadi seorang yang terhina di hadapan Allah SWT dan direndahkan di hadapan manusia, dibenci, dan dimurkai. Dia telah menjalani akhlak yang paling buruk dan paling rendah tanpa menggapai apa yang diinginkannya. 

      Kehinaan. Inilah yang akan dituai oleh orang yang sombong. Dia tidak akan mendapatkan apa yang dia harapkan di dunia maupun di akhirat. ‘Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi SAW:

“Orang-orang yang sombong dikum-pulkan pada hari kiamat seperti semut-semut kecil dalam bentuk manusia, diliputi oleh kehinaan dari segala arah, digiring ke penjara di Jahannam yang disebut Bulas, dilalap oleh api dan diberi minuman dari perasan penduduk neraka,” (HR. At-Tirmidzi,)

      Bahkan seorang yang som-bong terancam dengan kemurkaan Allah . Demikian yang kita dapati dari Rasulullah SAW, sebagaimana yang disampaikan oleh seorang shahabat mulia, ‘Abdullah bin ‘Umar :Barangsiapa yang merasa sombong akan dirinya atau angkuh dalam berjalan, dia akan bertemu dengan Allah SWT dalam keadaan Allah murka terhadapnya.” (HR. Ahmad)

      Kesombongan (kibr) bukanlah pada orang yang senang dengan keindahan. Akan tetapi, kesom-bongan adalah menentang agama Allah  dan merendahkan hamba-hamba Allah. Demikian yang dijelaskan oleh Rasulullah tatkala beliau ditanya oleh ‘Abdullah bin ‘Umar , “Apakah sombong itu bila seseorang memiliki hullah2 yang dikenakannya?”Beliau  menjawab, “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki dua sandal yang bagus dengan tali sandalnya yang bagus?” “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki binatang tunggangan yang dikendarainya?” “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki teman-teman yang biasa duduk bersamanya?” “Tidak.” “Wahai Rasu-lullah, lalu apakah kesombongan itu?” Kemudian beliau menjawab: “Meremehkan kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Ahmad)

      Tak sedikit pun Rasulullah membuka peluang bagi seseorang untuk bersikap sombong. Bahkan beliau nsenantiasa memerintah-kan untuk tawadhu’. ‘Iyadh bin Himar menyam-paikan bahwa Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu’ hingga tidak seorang pun menyombongkan diri atas yang lain dan tak seorang pun berbuat melampaui batas terhadap yang lainnya.” (HR. Muslim)

      Berlawanan dengan orang yang sombong, orang yang berhias dengan tawadhu’ akan menggapai kemuliaan dari sisi Allah SWT, sebagaimana yang disampaikan oleh shahabat yang mulia, Abu Hurairah  bahwa Rasulullah  bersabda: “Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah, kecuali Allah akan mengangkatnya.” (HR. Muslim)

     Tawadhu’ karena Allah SWT ada dua makna. Pertama, meren-dahkan diri terhadap agama Allah, sehingga tidak tinggi hati dan sombong terhadap agama ini maupun untuk menunaikan hukum-hukumnya. Kedua, merendahkan diri terhadap hamba-hamba Allah karena Allah SWT, bukan karena takut terhadap mereka, ataupun mengharap sesuatu yang ada pada mereka, namun semata-mata hanya karena Allah SWT. 

      Apabila seseorang merendahkan diri karena Allah SWT, maka Allah SWT akan mengangkatnya di dunia dan di akhirat. Hal ini merupakan sesuatu yang dapat disaksikan dalam kehidupan ini. Seseorang yang merendahkan diri akan menempati kedudukan yang tinggi di hadapan manusia, akan disebut-sebut kebaikannya, dan akan dicintai oleh manusia.
     Anas bin Malik  mengisahkan: “Rasulullah  biasa mengunjungi orang-orang Anshar, lalu mengu-capkan salam pada anak-anak mereka, mengusap kepala mereka dan mendoakannya.” (HR An. Nasa`I(,

 Ketawadhu’an Rasulullah  ini menjadi gambaran nyata yang diteladani oleh para shahabat. Anas bin Malik  pernah melewati anak-anak, lalu beliau mengucapkan salam pada mereka. Beliau  mengatakan: “Nabi biasa melakukan hal itu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

      Memberikan salam kepada anak-anak ini dilakukan oleh Nabi  dan diikuti pula oleh para shahabat beliau. Hal ini merupakan sikap tawadhu’ dan akhlak yang baik, serta termasuk pendidikan dan pengajaran yang baik, serta bimbingan dan pengarahan kepada anak-anak, karena anak-anak apabila diberi salam, mereka akan terbiasa dengan hal ini dan menjadi sesuatu yang tertanam dalam jiwa mereka

       Pernah pula Abu Rifa’ah Tamim bin Usaid menuturkan sebuah peristiwa yang membe-rikan gam-baran ketawadhu’an Nabi serta kasih sayang dan kecintaan beliau terhadap kaum muslimin:

“Aku pernah datang kepada Rasulullah  ketika beliau berkhut-bah. Lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, seorang yang asing datang padamu untuk bertanya tentang agamanya, dia tidak mengetahui tentang agamanya.’ Maka Rasulullah  pun mendata-ngiku, kemudian diambilkan sebu-ah kursi lalu beliau duduk di atasnya. Mulailah beliau mengajarkan padaku apa yang diajarkan oleh Allah. Kemudian beliau kembali melanjutkan khutbahnya hingga selesai.” (HR. Muslim)

      Begitu banyak anjuran maupun kisah kehidupan Rasulullah  yang melukiskan ketawadhu’an beliau. Demikian pula dari para shahabat .
         
      Tinggallah kembali pada diri ayah dan ibu. Jalan manakah kiranya yang hendak mereka pilihkan bagi buah hatinya? Mengajarkan kerendahan hati hingga mendapati kebahagiaan di dua negeri, ataukah menanamkan benih kesombongan hingga menuai kehinaan di dunia dan akhirat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar