Sabtu, 05 September 2015

Larangan membuat bid'ah dholalah



Bagi yang  menolak bid’ah hasanah inilah yg termasuk pada golongan bid’ah dhalalah, dan bid’ah dhalalah ini banyak jenisnya, seperti penafikan sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat Khulafa’ur rasyidin. Nah diantaranya adalah penolakan atas hal baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, karena hal ini sudah diperbolehkan oleh Rasul saw dan dilakukan oleh Khulafa’ur rasyidin, dan Rasul saw telah jelas-jelas memberitahukan bahwa akan muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada Sunnahku dan Sunnah Khulafa’ur rasyidin, bagaimana Sunnah Rasul saw?, beliau saw membolehkan bid’ah hasanah, bagaimana sunnah Khulafa’ur rasyidin?, mereka melakukan bid’ah hasanah, maka penolakan atas hal inilah yang merupakan bid’ah dhalalah, hal yg telah diperingatkan oleh Rasul saw.
Di bawah ini beberapa sahabat telah berbuat bid'ah hasanah, diantaranya adalah : 
MEMBUKUKAN AL-QUR’AN
Dulu pada zaman Nabi ayat-ayat Al-Qur’an ditulis di atas pelepah tamar, tembikar, tulang-tulang, batu putih dan lain-lain yang bisa ditulis, disamping dihafal oleh para sahabat. Kemudian pada zaman Khalifah Sayidina Abu Bakar dimulai membukukannya. Membukukan ini adalah suatu bid’ah karena hal demikian tidak dikenal pada zaman Nabi, tetapi hal ini adalah bid’ah yang baik.
           
عَنْ عُبَيْدِ بْنِ السَّبَّاقِ أَنَّ زَيْدَابْنَ ثَابِتٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ : أَرْسَلَ إِلَيَّ أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ مَقْتَلَ أَهْلِ الْيَمَامَةِ فَإِذَا عُمَرُابْنُ الْخَطَّابِ عِنْدَهُ. قاَلَ أَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : إِنَّ عُمَرَ أَتَانِيْ فَـقَالَ : إِنَّ الْقَتْلَ قَدِاسْتَحَرَّ يَوْمَ الْيَمَامَةِ بِقُرَّاءِ الْقُرْآنِ وَ إِنِّيْ اَخْشٰى أَنْ يَسْتَحِرَّ الْقَتْلَ بِالْقُرَّاءِ بِالْمَوَاطِنِ فَيَذْهَبُ كَثِيْرٌ مِنَ الْقُرَّاءِ وَ إِنِّيْ أَرٰى أَنْ تَأْمُرَ بِجَمْعِ الْقُرْآنِ، قُلْتُ لِعُمَرَ : كَيْفَ نَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قاَلَ  عُمَرُ : هَذِهِ وَاللهِ خَيْرٌ. فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِيْى حَتّٰى شَرَحَ اللهُ صَدْرِيْ لِذٰلِكَ. وَرَأَيْتُ فِى ذَلِكَ الَّذِيْ رَاٰى عُمَرُ. قاَلَ زَيْدٌ، قاَلَ أَبُوْ بَكْرٍ: إِنَّكَ رَجُلٌ شّابٌّ عَاقِلٌ لاَ نَـتَّهِمُكَ وَقَدْ كُنْتَ تَكْتُبُ الوَحْيِ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَـتَـبَّعِ لْقُرْآنَ فَاجْمَعْهُ. فَوَاللهِ لَوْ كَانُوْا كَلَّـفُوْنِيْ نَـقْلَ جَبَلٍ مِنَ الْجِبَالِ مَا كَانَ أَثْـقَلَ إِلَيَّ مِمَّا أَمَرَنِيْ بِهِ مِنْ جَمْعِ لْقُرْآنِ، كَيْفَ تَفْعَلُوْنَ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَ : هُوَ وَاللهِ خَيْرٌ. فَلَمْ يَزَلْ أَبُوْ بَكْرٍ يُرَاجِعُنِيْ حَتّٰى شَرَحَ اللهُ صَدْرِيْ لِلَّذِيْ شَرَحَ لَهُ صَدْرَ أَبِى بَكْرٍ وَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَتَـتَـبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ مِنَ الْعَسَبِ وَاللِّحَافِ وَصُدُوْرِ الرِّجَالِ
Dari Ubaid nbin Sabbaq bahwasanya Zaid bin Tsabit ra berkata : Abu Bakar Shiddiq (khalifah pertama) memanggil saya sesudah terjadi peperangan Yamamah, dimana banyak sahabat-sahabat Nabi saw. mati syahid. Saya dapati di hadapan beliau ada Sayyidina Umar bin Khaththab. Berkata Abu Bakar ra : Sesungguhnya Umar mendatangiku dan mengatakan kepada saya bahwa banyak ahli-ahli Qur’an (yang menghafal Al-Qur’an) wafat dalam peperangan yamamah. Saya hawatir kalau-kalau mereka banyak yang wafat dalam medan-medan perang yang lain, sehingga ayat Qur’an bisa hilang. Umar mendesak kepada saya supaya mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushhaf, lalu saya berkata kepadanya : Bagaimana engkau akan membuat suatu pekerjaan yang tidak dibuat oleh Rasulullah? Umar menjawab, demi Allah. Pekerjaan ini baik. Umar selalu meyakinkan saya sampai Allah menjernihkan dada saya dan saya setuju, dan akhirnya saya sependapat dengan Umar. Berkata Zaid, berkata Abu Bakar kepadaku : Engkau seorang pemuda pintar yang dipercaya. Engkau pada masa Nabi saw. masih hidup menjadi penulis wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasulnya. Cobahlah kumpulkan wahyu itu. Demi Allah (jawab Zaid), kalau engkau perintahkan saya untuk memindahkan sebuah gunung dari beberapa gunung, barang kali tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Bagaimana bisa membuat sesuatu yang tidak dibuat Rasulullah saw? Abu Bakar mendesak, Demi Allah ini baik. Maka Abu Bakar selalu meyakinkan saya, kata Zaid. Sehingga Tuhan membukakan hati saya sebagaimana hati Abu Bakar dan Umar. Maka saya cari ayat-ayat Al-Qur’an itu dan saya kumpulkan di mana pada mulanya ditulis di atas pelapah tamar, batu-batu putih dan yang ada di dalam dada para sahabat-sahabat Nabi saw. (H.R. Bukhari no. 4986).
 
Bila kita perhatikan konteks di atas, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra mengakui dengan ucapan sampai Allah menjernihkan dada saya dan saya setuju, dan akhirnya saya sependapat dengan Umar. Hatinya jernih menerima hal yang baru (bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan Al-Qur’an, karena sebelumnya Al-Qur’an belum dikumpulkan menjadi satu buku, tetapi terpisah-pisah di hafalan sahabat, pelapah tamar, batu-batu putih, kulit unta dan lain-lain. Ini adalah bid’ah hasanah, dan mereka berdualah yang memulainya.
Bid’ah yang baik (hasanah), adalah yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan Muslimin. Karena dengan adanya bid’ah hasanah di atas, maka semakin mudah bagi kita untuk membaca, mempelajari bahkan untuk menghafalkan Al-Qur’an.
           
Dari hadits di atas, nampak bahwa menuliskan Al-Qur’an dalam satu mushaf adalah sunnah Khalifah Rasyidin yang belum pernah dikenal pada zaman Nabi. Meskipun demikian umat Islam di dunia ini wajib menerima kitab suci Al-Qur’an yang dubukukan seperti yang ada pada saat ini meskipun pembukuannya ini dikatakan bid’ah.
SHALAT TARAWIH
Bahkan seorang sahabat terkemuka, Khalifah kedua dalam Islam, Amirul Mukminin Umar bin Khaththab ra. (Umar bin Khaththab bin Nufail Al-‘Adawi, khalifah kedua, mertua Rasulullah saw termasuk dari 10 sahabat yang dijamin masuk surga. Beliau adalah orang yang pertama kali mendapat gelar Amirul Mukminin. Meriwayatkan 539 hadits. Gugur sebagai syuhada pada tahun 23 H dalam usia 63 tahun dan dimakamkan di kamar Rasulullah saw. di samping makam beliau saw.)  pernah mencetuskan istilah bid’ah baik untuk amalan yang beliau susun, yaitu shalat tarawih berjama’ah di masjid selama bulan Ramadhan dengan seorang imam. Imam Bukhari dalam kitab shahihnya menyebutkan :
عَنْ عَبْدِ الَرَّحْمٰنِ بْنِ عَبْدِ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ : خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَابْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِى رَمَضَانَ إِلىَ الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّى الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّى بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ  إِنِيْ أَرٰى لَوْ جَمَعْتُ هٰؤُ لآءِ عَلٰى قَارِءٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلٰى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرٰى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هٰذِهِ وَالَّتِيْ نَامُوْا عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ.
 “Dari Abdurrahman bin Abdul Qari ia berkata, pada suatu malam di bulan Ramadhan, saya keluar menuju masjid bersama Umar bin Khaththab ra. Di sana (tampak) masyarakat sedang menunaikan shalat (tarawih) secara berkelompok terpisah-pisah. Ada yang shalat sendiri ada pula yang shalat berjamaah bersama sekelompok orang. Pada saat itulah Umar ra. berkata : Menurutku, andaikata semua orang ini kupersatukan di bawah pimpinan seorang imam yang hafal Al-Qur’an tentu akan lebih baik. Beliau bertekat untuk mewujudkan niatnya. Akhirnya beliau persatukan mereka di bawah pimpinan Ubay bin Ka’ab. Di malam lain, aku keluar menuju masjid bersama Umar ra. saat masyarakat sedang menunaikan shalat (tarawih) berjamaah dengan imam mereka yang hafal Al-Qur’an. (Ketika menyaksikan pemandangan tersebut) berkatalah Umar ra.: Inilah sebaik-baik bid’ah. Tetapi menunaikan shalat di akhir malam, lebih baik daripada di awal malam. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan tarawaih di awal malam. (H.R. Bukhari  no. 2010 dan Malik).
Rasulullah saw tidak pernak menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap malam.Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya. Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar. Kemudian Umar  mengumpulkan  mereka untuk melakukan shalat tarawih pada seorang imam, dan menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong bid’ah, tetapi bid,ah hasanah, karena itu beliau mengatakan Inilah sebaik-baik bid’ah”.
Dengan jelas dihadapan para sahabat. Sayidina Umar ra. mengucapkan  Inilah sebaik-baik bid’ah. Ucapan beliau ini merupakan salah satu bukti tidak semua bid’ah sesat, hanya bid’ah yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Haditslah yang sesat.
DUA ADZAN DALAM SHALAT JUM’AT
عَنِ الزُّهْرِىِّ قَالَ سَمِعْتُ السَّائِبَ بْنَ يَزِيْدَ يَقُوْلُ إِنَّ الْأَذَانَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَانَ أَوَّلُهُ حِيْنَ يَجْلِسُ اْلإِمَامُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  وَأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَلَمَّا كَانَ فِى خِلاَفَةِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَكَثُرُوْا ، أَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِالْأَذَانِ الثَّالِثِ ، فَأُذِّنَ بِهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ ، فَثَبَتَ الأَمْرُ عَلىٰ ذٰلِكَ
Dari Az-Zuhri berkata, Aku mendengar As-Sa'ib bin Yazid berkata, "Pada mulanya adzan pada hari Jum'at dikumandangkan ketika Imam sudah duduk di atas mimbar. Yaitu pada masa Rasulullah saw, Abu Bakar dan 'Umar ra. Maka pada masa Khilafah 'Utsman bin 'Affan ra ketika manusia sudah semakin banyak, maka pada hari Jum'at dia mememerintahkan adzan yang ketiga (adzan yang dilakukan sebelum khatib naik mimbar). Sehingga dikumandangkanlah adzan (ketiga) tersebut di Az-Zaura' (nama pasar). Kemudian berlakulah urusan tersebut menjadi ketetapan (sampai sekarang)". (H.R. Bukhari no. 916)
Sejak dahulu sampai sekarang di masjid Haram dan masjid Nabawi dilaksanakan dua kali adzan pada shalat Jum'atnya.
Hadits ini menyatakan bahwa pada zaman Nabi dan masa Khalifah Abu Bakar dan Umar ra. adzan shalat Jum’at ada dua kali (satu adzan dan iqamat). Kemudian setelah manusia berkembang ditambah adzan yang ketiga (sekarang dinamai adzan pertama) dalam shalat Jum’at. Dengan demikian maka adzan yang pertama dalam shalat Jum’at itu adalah bid’ah hasanah yang diadakan oleh Khalifah Rasyidin Sayyidina Utsman, yang kita diperintahkan oleh Nabi untuk mengikutinya. Barang siapa yang tidak mau mengikuti sunnah Khalifah Rasyidin, berarti tidak mengikuti sunnah Nabi saw.
Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan Kitab Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam karena kedua kitab tersebut (Al-Quran dan Hadits) tidak ada perintah Rasulullah saw untuk membukukannya dalam satu kitab masing-masing, melainkan hal itu merupakan ijma / kesepakatan pendapat para sahabat ra dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat.
Buku hadits seperti shahih Bukhari, shahih Muslim dan lainnya inipun tak pernah ada perintah Rasul saw untuk membukukannya, tak pula Khulafa’ur rasyidin memerintahkan menulisnya, namun para tabi’in mulai menulis hadits Rasul saw. Begitu pula Ilmu Musthalahul hadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat hadits, ini semua adalah perbuatan bid’ah namun bid’ah hasanah. Demikian pula ucapan “Radhiyallahu ’anhu” atas sahabat, tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu di sebut dalam Al-Quran bahwa mereka para sahabat itu diridhoi Allah, namun tak ada dalam Ayat atau hadits Rasul saw memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya, namun karena kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut. Dan ini merupakan bid’ah hasanah dengan dalil Hadits di atas, Lalu muncul pula kini Al-Quran yang di kasetkan, di CD kan, Program Al-Quran di handphone, Al-Quran yang diterjemahkan, ini semua adalah bid’ah hasanah. Bid’ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena dengan adanya bid’ah hasanah di atas maka semakin mudah bagi kita untuk mempelajari Al-Qur'an, untuk selalu membaca Al-Qur'an, bahkan untuk menghafal Al-Qur'an dan tidak ada yang memungkirinya.
Sekarang kalau kita menarik mundur kebelakang sejarah Islam, bila Al-Qur'an tidak dibukukan oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan sejarah Islam ? Al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu-ribu versi Al-Qur'an di zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam. Namun dengan adanya bid’ah hasanah, sekarang kita masih mengenal Al-Qur'an secara utuh dan dengan adanya bid’ah hasanah ini pula kita masih mengenal hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan abadi, jelaslah sudah sabda Rasul saw yang telah membolehkannya bid'ah hasanah, beliau saw telah mengetahui dengan jelas bahwa hal hal baru yang berupa kebaikan (bid’ah hasanah), mesti dimunculkan kelak, dan beliau saw telah melarang hal-hal baru yg berupa keburukan (bid’ah dhalalah).
Saudara-saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini semua, ingatlah ucapan Amirul mukminin pertama ini, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra mengakui dengan ucapan sampai Allah menjernihkan dada saya dan saya setuju, dan akhirnya saya sependapat dengan Umar. Hatinya jernih menerima hal yang baru (bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan Al-Qur’an,
Lalu berkata pula Zaid bin tsabit ra :  Demi Allah ini baik. Maka Abu Bakar selalu meyakinkan saya, kata Zaid. Sehingga Tuhan membukakan hati saya sebagaimana hati Abu Bakar dan Umar.
Maka kami himbau saudara-saudaraku muslimin, hati yang jernih menerima hal-hal baru yang baik adalah hati yang sehati dengan Abubakar shiddiq ra, hati Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, hati Zaid bin tsabit ra, hati para sahabat, yaitu hati yang dijernihkan Allah swt,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar