Rabu, 12 Agustus 2015

sejarah wahabi dan ajarannya



WAHABISME
Sekilas Tentang Wahhabisme
Sekte Wahhabiyah ini dinisbatkan kepada Muhammad Ibnu Abdil Wahhab Ibnu Sulaiman an Najdi. Lahir tahun 1111 H dan wafat 1206 H.
Beliau telah belajar sedikit ilmu agama dari beberapa gurunya termasuk ayahnya sendiri. Disebutkan bahwa dia gemar membaca berita dan kisah-kisah para pengaku kenabian, seperti Musailamah Al-Kadzdzab, Sujah, Aswad Al-Ansi dan Thulaihah Al-Asdi. Sejak masa belajarnya telah tampak dari gelagatnya dalam penyimpangan besar, sehingga ayahnya dan para gurunya mengingatkan masyarakat akan bahaya penyimpangannya. Mereka bertutur “Anak ini akan tersesat dan akan menyesatkan banyak orang yang Allah sengsarakan dan jauhkan dari rahmat-Nya”.
Pada tahun 1143 H Muhammad Ibnu Abdil Wahhab menampakkan ajaran kepada aliran baru, akan tetapi ayahnya bersama para masyaikh, guru-guru besar di sana berdiri tegak menghalau kesesatannya itu. Mereka membongkar kebatilan ajakannya. Ajakannya tidak laku, sehingga ketika ayahnya wafat pada tahun 1153 H, ia mulai leluasa dalam ajakannya. Ia mulai menyuarakan kembali ajakannya di kalangan para awam yang lugu dan tak tahu banyak tentang agama, maka sekelompok orang awam menerima ajakannya dan mendukungnya. Atas kelahiran sekte sempalan ini, masyarakat di sana bangkit dan hampir-hampir membunuh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab (penganjurnya). Ia melarikan diri ke kota Al-‘Aniyyah. Di sana ia mendekatkan diri kepada Emir kota tersebut, ia menikah dengan saudari Emir. Di sana ia memulai kembali ajakannya kepada bid’ah yang ia cetuskan itu, tetapi tidak lama kemudian masyarakat Al-‘Aniyyah keberatan dengan ajakannya, mereka mengusirnya dari kota tersebut. Ia pergi meninggalkan Al-‘Aniyyah menuju Ad-Dir’iyyah (sebelah timur kota Najd), sebuah daerah yang dahulu ditinggali oleh Musailamah Al-Kadzdzab yang mengaku sebagai Nabi itu dan dari kota itulah gerombolan kaum murtadin berusaha menyerang kota Madinah sepeninggal Nabi saw. Di kota tersebut ia mendapat dukungan dari Emirnya yaitu Muhammad Ibn Sa’ud, dan masyarakat di sana menyambut ajakannya dengan hangat.
Ketika itu ia bertingkah seakan seorang mujtahid agung. Ia tidak pernah menghiraukan pendapat para imam dan ulama terdahulu maupun yang sezaman dengannya, sementara itu semua tahu bahwa ia sangat tidak layak untuk menyejajarkan dirinya di barisan para ulama mujtahidin.
Demikianlah disifati oleh saudara kandungnya, seorang alim besar bernama Sulaiman Ibnu Abdil Wahhab. Sebagai saudara kandung ia tahu persis kondisi saudaranya tersebut. Syekh Sulaiman ini telah menulis sebuah kitab yang membahas ajakan saudaranya yang sesat dan menyimpang itu. Di antara beliau mengatakan :

الْيَوْمَ ابْتُلِيَ النَّاسُ بِمَنْ يَنْتَسِبُ إِلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَيَسْتَنْبِطُ مِنْ عُلُومِهِمَا وَلَا يُبَالِى مَنْ خَالَفَهُ وَمَنْ خَالَفَهُ فَهُوَ عِنْدَهُ كَافِرٌ هذَا وَهُوَ لَمْ يَكُنْ فِيهِ خَصْلَةٌ وَاحِدَةٌ مِنْ خِصَالِ أَهْلِ الاجْتِهَادِ وَلَا وَاللهِ وَلَا عُشْرُ وَاحِدَةٍ وَمَعَ هذَا رَاجَ كَلَامُهُ عَلَى كَثِيرٍ مِنَ الْجَهْلِ فَإِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

“Sekarang orang-orang telah ditimpa bala’ (bencana) dengan seorang yang mengaitkan dirinya dengan Al-Qur’an dan Sunah, menyimpulkan dari keduanya, dan tidak menghiraukan siapa saja yang menyelisihinya. Dan barang siapa yang menyelisihinya adalah kafir menurutnya. Demikianlah, sementara ia bukan seorang yang menyandang satu dari sekian banyak syarat ahli ijtihad. Tidak, demi Allah bahkan sepersepuluh syaratnyapun tidak ia miliki. Namun demikian ucapannya laris di kalangan kaum jahil (bodoh). Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.
Dasar Pemikiran Wahabisme
Sekte Wahhabiyah memiliki dasar dogma ajaran yang dinyatakan dan dasar yang tersembunyi. Dasar yang dinyatakan adalah memurnikan tauhid hanya untuk Allah swt, memerangi syirik dan berhala-berhala (sesembahan) selain Allah. Akan tetapi realita sepak terjang sekte ini tidak mencerminkan sedikitpun dasar yang mereka nyatakan.
Adapun dasar yang tersembunyi ialah merobek-robek kesatuan umat Islam, membangkitkan fitnah dan mengobarkan peperangan di antara sesama mereka demi kepentingan para penjajah barat. Ini adalah poros yang seluruh upaya dan usaha kaum Wahhabi bergerak untuknya. Inilah dasar sesungguhnya sekte ini yang dasar pertama dinyatakan dan dieksploitasi demi merayu kaum awam yang lugu dan kosong pemahaman agama mereka.
Tidak diragukan lagi bahwa slogan memurnikan tauhid hanya untuk Allah swt, dan memerangi kemusyrikan adalah slogan yang sangat menawan dan memikat. Di bawah selogan itu mereka yang telah terjaring aliran akan bersemangat, sementara itu mereka tidak memahami bahwa slogan itu hanya sekedar kedok demi merealisasikan tujuan awal yang disembunyikan itu.
Pilar Pemikiran Aliran Wahhabiyah
Kaum Wahhabi membagi akidah menjadi dua bagian :
Pertama, yang datang dari Al-Qur’an dan atau Sunah. Mereka mengklaim bahwa bagian ini mereka ambil dari dasar Al-Qur’an dan Sunah tanpa merujuk kepada ijtihad para mujtahidin dalam memahami maknanya, baik dari kalangan sahabat, tabi’in atau para imam mujtahidin lainnya.
Kedua, apa-apa yang tidak ada nash yang datang tentangnya. Di sini mereka mengklaim mengambilnya dari pemahaman Imam Ahmad dan Syekh Ibnu Taimiyah.
Akan tetapi dalam kedua perkara ini mereka mengalami kegagalan, mereka terjatuh dalam kontradiksi dan akhirnya menerjang hal-hal yang terlarang, sebagaimana dapat kita lihat pendapat Imam Ahmad dan Syekh Ibnu Taimiyah di atas (tentang diperbolehkannya membaca Al-Qur’an di sisi kubur, menghadiahkan pahala untuk orang yang telah meninggal, dan lain-lainnya). Allah lebih mengetahui.
Doktrin Takfir
Dewasa ini banyak kelompok dan aliran dalam Islam terjebak dalam jaring perangkap takfir (mengkafirkan orang lain), salah satunya adalah aliran Wahhabiyah ini. Mereka saling melempar tuduhan takfir dan perselisihan mereka seputar masalah-masalah rincian aqidah yang masih dibenarkan terjadi perbedaan pemahaman di dalamnya, gentingnya permusuhan yang terjadi saat ini membuat mereka lupa akan prinsip-prinsip dasar Islam yang menyatukan mereka dan akhirnya berbagai tuduhan keji saling terlontar sampai batas pengafiran individu dan komunitas.
Buku-buku yang kental dengan nuansa pertentangan dan permusuhan telah banyak ditulis, dipublikasikan dan diajarkan serta dijadikan kurikulum halaqah-halaqah dan diskusi, bahkan di sebagian negeri-negeri Islam masih dijadikan buku paket andalan dalam pengajaran akidah Islam.
Untuk itu kami mengingatkan kepada saudara-saudaraku yang kebetulan ingin mengetahui dan memahami tentang Islam, jangan asal beli buku untuk menambah wawasan ke-Islaman, teliti dulu siapa pengarangnya, kitab-kitab yang dikutibnya, ulama-ulama sandarannya dan tidak kalah penting adalah penerbitnya. Di antara penerbit yang banyak menerbitkan buku-buku yang berfaham Wahhabiyah adalah : Pustaka Imam Syafi’i, Pustaka Abu Hanifah, Laa Tasyuk, Ar-Rayyan, At-Tibyan, Darul Hadits. Sebagai saran, bila kita berada di Jawa Timur maka dapat memilih buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit Khalista, atau penerbit-penerbit lain yang berfaham Ahlussunah wal Jama’ah.
Abu Salafy dalam bukunya (Madzhab Wahabi, Monopoli Kebenaran & Keimanan ala Wahabi) menerangkan panjang lebar doktrin takfir oleh aliran Wahhabiyah ini, diantaranya adalah oleh:
1.      Syekh Muhammad Ibn Abdil Wahhab
Dalam kitabnya (Kasyfu Asy Syubuhat) sarat dengan doktrin pengafiran atas kaum Muslim selain kelompok Wahhabi (yang tunduk menerima ajakan Syekh Muhammad Ibn Abdil Wahhab). Ia telah mengategorikan banyak hal yang bukan syirik ke dalam daftar kesyirikan, dan atas dasar itu ia mengafirkan serta memvonis musyrik selain kelompoknya.
Dalam buku kecil itu, Syekh Muhammad Ibn Abdil Wahhab telah menyebut umat Islam, seluruh umat Islam, baik awam maupun ulamanya dari bernagai madzhab dan golongan selain kelompoknya dengan sebutan musyrik tidak kurang dari dua puluh empat kali. Sementara itu, lebih dari dua puluh lima kali ia menyebut kaum Muslim dengan sebutan : Kafir, para penyembah berhala, orang-orang Munafik, orang-orang murtad, para penentang tauhid, musuh-musuh tauhid, musuh-musuh Allah, Orang-orang yang mengaku-ngaku Islam secara palsu, pengemban kebatilan, kaum jahil, setan-setan, dan kata-kata keji lainnya.
Dalam kesempata yang lain kaum Wahhabiyah juga mencerca para sahabat yang hidup sezaman dengan Nabi saw. Pendiri sekte ini, Syekh Muhammad Ibn Abdil Wahhab berkata tentang sahabat Nabi saw.

أَنَّ جَمَاعَةً مِنَ الصَّحَابَةِ كَانُوا يُجَاهِدُونَ مَعَ الرَّسُولِ وَيَصِلُونَ مَعَهُ وَيُزَكَّوْنَ وَيَصُومُونَ وَيُحِجُّونَ وَمَعَ ذلِكَ فَقَدْ كَانُوا كُفَّارًا بُعْدِينَ عَنِ الْإِسْلَامِ

“Sekelompok sahabat ada yang berjihad bersama Rasulullah, shalat bersamanya, membayar zakat, berpuasa dan haji, namun demikian mereka itu adalah kaum kafir dan jauh dari Islam”.
2.      Abdullah Ibn Ahmad Ibn Hanbal
Abdullah putra Imam Ahmad Ibn Hambal dalam kitabnya As-Sunnah nya yang ia tulis telah membeberkan panjang lebar seribu satu kecaman yang konon didengar dari ayahnya (para ulama masih berselisih apakah benar dari Imam Ahmad atau ia mengada-ada), Imam Ahmad terhadap Imam Abu Hanifah (imam besar Ahlussunah wal Jama’ah). Di antaranya Imam Abu Hanifah disebut sebagai : Kafir, zindik (kata lain dari kafir), mati sebagai seorang Jamhi, ia meruntuhkan bangunan Islam batu demi batu, ia seorang Nabthi bukan seorang Arab, para pencandu arak lebih mulya dari pengikut Abu Hanifah, para pengikut Abu Hanifah lebih berbahaya dari para perampok, para pengikut Abu Hanifah tidak berbeda dengan mereka yang memamerkan auratnya di dalam masjid, ia adalah Abu Jifah bukan Abu Hanifah (Jifah artinya bangkai), Allah akan menelungkupkan Abu Hanifah ke dalam api neraka Jahannam, setiap Muslim akan diberi pahala besar atas kebenciannya terhadap Abu Hanifah serta pengikutnya, dan tidak selayaknya bagi seorang Muslim tinggal di kota yang di dalamnya disebut-sebut dengan baik nama Abu Hanifah, mengangkat seorang ulama bermadzhab Hanafi sebagai qadhi lebih berbahaya dari kemunculan Dajjal, Abu Hanifah adalah seorang Murjiah, andai dosa Abu Hanifah dibagi rata kepada umat ini pasti akan memberatkan timbangan kejelekan mereka, umat Islam harus menjauhinya seperti menjauhi orang yang terjangkit penyakit lepra, Abu Hanifah telah meninggalkan agama Islam, sebagian fatwanya menyerupai fatwa kaum Yahudi, Allah telah membelenggu kuburan Abu Hanifah dengan api neraka, para ulama bersujud syukur ketika mendengar berita kematian Abu Hanifah, kebanyakan ulama membolehkan melaknat Abu Hanifah, dan lain sebagainya. Untuk lebih lanjut dipersilahkan merujuk langsung kitab As-Sunnah yang sangat diandalkan para penganut Wahhabi.
Tim Bahtsul Masail PC NU Jember dalam bukunya (Membongkar kebohongan buku “mantan kiai NU menggugat shalawat & dzikir syirik” karya H. Mahrus Ali). Dalam halaman 241 s/d 244 di antaranya:
1.      Ulama-ulama Wahhabisme (dalam hal ini adalah Muhammad Nashiruddin Albani) tidak segan-segan mengkafirkan orang lain, bahkan Imam Bukharipun tidak luput dari hal ini.   
Albani yang gemar membikin ulah ini, pernah mengeluarkan fatwa yang isinya mengkafirkan Imam Bukhari, karena dalam kitab shahih Al-Bukhari beliau melakukan ta’wil terhadap ayat 88 surah Al-Qashash:

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ أَيْ إِلاَّ مُلْكَهُ (صَحِيحُ الْبُخَارِيُّ)

“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. (Q.S. 28 Al Qashash 88), maksud illa wajhah adalah illa mulkahu (kecuali kerajaan-Nya)” (Shahih Bukhari)
Ketika ditanya tentang pena’wilan seperti dalam shahih Bukhari tersebut, Albani mengatakan :

هٰذَا لاَ يَقُوْ لُهُ مُسْلِمٌ مُؤْمِنٌ (فتاوى الألباني، ص/523)

“Pena’wilan seperti itu tidak akan dikatakan oleh seorang Muslim yang beriman”. (Fatawa Al-Albani, halaman 523).
Dengan fatwanya ini, secara halus Albani berarti telah menilai Imam Bukhari kafir, tidak Islam dan tidak beriman. Dan tentu kita meyakini bahwa Imam Bukhari lebih mengetahui terhadap penafsiran Al-Qur’an dan Hadits dari pada Albani.
Masih mengenai fatwa Albani yang kontroversial, yaitu ber-kunjunga kepada keluarga dan sanak famili pada saat hari raya termasuk bid’ah yang harus dijauhi. Dan di saat yang lain Albani mengeluarkan fatwa yang isinya mengharuskan warga Muslim Palestina agar keluar dari negeri mereka dan mengosongkan tanah Palestina untuk orang-orang Yahudi. Dalam hal ini Albani mengatakan:
إِنَّ عَلَى الْفِلَسْطِيْنِيِّـيْنَ أَنْ يُغَادِرُوْا بِلَادَهُمْ وَيَخْرُجُوْنَ إلَى بِلَادٍ أُخْرَى، وَإِنَّ كُلَّ مَنْ بَقِيَ فِى فِلَسْطِيْنَ مِنْهُمْ كَافِرٌ. (فتاوى الألبان جمع عكاشة عبد المنان، ص/18)
“Warga Muslim Palestina harus meninggalkan negerinya ke negeri lain, semua orang yang masih bertahan di Palestina adalah kafir”, (Fatawa Al-Albani, yang dihimpun oleh Ukasyah Abdul Manan, halaman 18)
2.      Ulama-ulama Wahabisme sering saling menyalahkan di antara mereka, karena beda pendapat (tidak sesuai fatwanya), di atara yang kena batunya kali ini adalah Albani sendiri.
Sebagaimana telah dimaklumi oleh kaum Muslimin, bahwa pada masa Rasulullah saw, saidina Abu Bakar ra, dan saidina Umar ra, adzan untuk shalat Jum’at hanya dilakukan satu kali yaitu ketika khatib telah naik ke mimbar. Pada masa saidina Utsman ra, populasi penduduk semakin meningkat, rumah-rumah baru banyak dibangun dan jauh dari masjid. Untuk memudahkan mereka dalam menghadiri shalat Jum’at agar tidak terlambat, beliau memerintahkan agar adzan dilakukan dua kali. Adzan ini disepakati oleh seluruh sahabat yang hadir pada saat itu. Para ulama menamai adzan saidina Utsman ra, ini dengan sunnah yang harus diikuti karena beliau termasuk Khulafaur Rasyidin.
Tetapi Albani dalam kitabnya Al-Ajwibah Al-Nafi’ah, menilai adzan saidina Utsman ra, ini sebagai bid’ah yang tidak boleh dilakukan. Tentu saja pendapat aneh Albani yang kontroversial ini menyulut serangan tajam dari kalangan ulama termasuk dari sesama Wahhabi. Dengan pandangannya ini, berarti Albani menganggap seluruh sahabat dan ulama salaf yang shaleh yang telah menyetujui adzan saidina Utsman ra, sebagai ahli bid’ah. Bahkan Syekh Al-Utsaimin (tokoh Wahhabi) sendiri, (kedua ulama ini sangat dikagumi oleh ustadz Mahrus Ali penulis buku “mantan kiai NU menggugat shalawat & dzikir syirik”) sangat marah kepada Albani, sehingga dalam salah satu kitabnya menyinggung Albani dengan sangat keras dan menilainya tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali :
يَأْتِى رَجُلٌ فِى هٰذَا الْعَصْرِ لَيْسَ عِنْدَهُ شَيْءٌ مِنَ الْعِلْمِ وَيَقُوْلُ أَذَانُ الْجُمْعَةِ الْأَوَّلُ بِدْعَةٌ لِأَ نَّهُ لَيْسَ مَعْرُوْفًا عَلىٰ عَهْدِ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَجِبُ أَنْ نَقْتَصِرَ عَلَى الْأَذَانِ الثَّانِيْ فَقَطْ فَنَقُوْلُ لَهُ إِنَّ سُنَّةَ عُثْمَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَّةٌ مُتَّبَعَةٌ إِذَا لَمْ تُخَالِفْ سُنَّةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَقُمْ أَحَدٌ مِنَ الصَّحَابَةِ الَّذِيْنَ هُمْ أَعْلَمُ مِنْكَ وَأَغْيَرُ عَلىٰ دِيْنِ اللهِ بِمُعَارَضَتِه وَهُوَ مِنَ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّـيْنَ، الَّذِيْنَ أَمَرَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاتِّبَاعِهِمْ (الْعُثَيْمِينْ شَرْحُ الْعَقِيدَةِ الْوَاسَطِيَّةِ ص/638)
“Ada seorang laki-laki dewasa ini yang tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali mengatakan, bahwa adzan Jum’at yang pertama adalah bid’ah, karena tidak dikenal pada masa Rasul saw, dan kita harus membatasi pada adzan kedua saja. Kita katakana pada laki-laki tersebut : Sesungguhnya sunnahnya Utsman ra, adalah sunnah yang harus diikuti apabila tidak menyalahi sunah Rasul saw, dan tidak ditentang oleh seorangpun dari kalangan sahabat yang lebih mengetahui dan lebih ghirah terhadap agama Allah dari pada kamu (Albani). Beliau Utsman ra, termasuk Khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk, dan diperintahkan oleh Rasulullah saw, untuk diikuti”. (Al-‘Utsaimin, Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, halaman 638).
Jadi pernyataan Syekh Al-Utsaimin yang menilai Albani “tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali” dapat meruntuhkan nilai buku-buku yang banyak mengambil dalil dari Albani, di antaranya adalah buku “mantan kiai NU menggugat shalawat & dzikir syirik” dan buku-buku lainnya yang telah ditulis oleh H. Mahrus Ali. Apalagi dengan fatwanya yang mengharuskan orang shalat tanpa alas (sajadah, karpet, keramik, marmer dll). Dengan demikian dapat kita katakana dia tidak menyetujui (menyalahkan) orang-orang yang shalat dengan alas. Lalu bagaimana shalatnya orang di masjid Haram dan masjid Nabawi?. Untuk itu bagi orang yang mempercayai buku-buku dan pendapat H. Mahrus Ali, seharusnya shalatnya juga tanpa alas sesuai yang dia fatwakan. Beranikah? Allahu a’lam.
Apa yang dikatakan Al-Utsaimin terhadap Albani memang tidak berlebihan. Banyak orang yang tertipu dengan karya-karya Albani dalam bidang ilmu hadits, karena belum mengetahui siapa sebenarnya Albani itu. Pada mulanya, Albani adalah seorang tukang jam. Ia memiliki kegemaran membaca buku. Dari kegemarannya ini, ia curahkan untuk mendalami ilmu hadits secara otodidak, tanpa mempelajari hadits dan ilmu agama yang lain kepada para ulama, sebagaimana yang menjadi tradisi ulama salaf dan ahli hadits. Oleh karena itu Albanni tidak memiliki sanad hadits yang mu’tabar.
Maka hadits-hadits yang menjadi hasil kajiannya sering bertentangan dengan pandangan ulama ahli hadits. Tidak jarang Albani menilai dha’if (lemah) dan maudhu’ (palsu) terhadap hadits-hadits yang disepakati keshahihannya oleh para hafidz, hanya dikarenakan hadits tersebut berkaitan dengan dalil tawassul. Salah satu contoh misalnya, dalam kitab At-Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu (cetakan 3 halaman 128), Albani mendha’ifkan hadits A’isyah yang diriwayatkan oleh Al-Darimi dalam Al-Sunannya, dengan alasan dalam sanad hadits tersebut terdapat perawi yang bernama Sa’id bin Zaid, saudara Hammad bin Salamah. Padahal dalam kitabnya yang lain, Albani sendiri telah menilai Sa’id bin Zaid ini sebagai perawi yang hasan dan jayyid haditsnya, yaitu dalam kitab Irwa’ Al-Ghalil (5/338). Albani mengatakan tentang hadits yang dalam sanadnya terdapat Sa’id bin Zaid “Aku berkata, ini sanad yang hasan, semua perawi dapat dipercaya sedangkan perawi Sa’id bin Zaid -saudara Hammad-, ada pembicaraan yang tidak menurunkan haditsnya dari derajat hasan. Dan Ibn Al-Qayyim mengatakan dalam Al-Furusiyyah, “ini hadits yang sanadnya jayyid”.
Dan masih banyak lagi kontroversial dan ketidak akuratan yang dilakukan Albani dalam kitab yang satu dengan kitab yang lainnya. Dalam tulisan Syekh Hasan bin Ali Al-Saqqaf yang berjudul Tanaqudhat Al-Albani Al-Wadhihat merupakan kitab yang menarik dan mendalam dalam mengungkapkan kesalahan fatal Albani tersebut. Beliau mencatat 1500 kesalahan yang dilakukan Albani lengkap dengan data dan faktanya. Bahkan menurut penelitian ilmiah beliau, ada 7000 kesalahan fatal dalam buku-buku yang ditulis Albani. Sehingga kita perlu berhati-hati dan mencermatinya. Allah lebih mengetahui.
سُبْحَانَكَ اللّٰهُمَّ وَبِحَمْدِكَ نَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلاَّ أَنْتَ نَسْتَغْفِرُكَ وَنَتُوْبُ إِلَيْكَ.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar