“…
Penyebutan Allah pada diri-Nya sebagai badi’ussamawat wal ardh, merupakan
penegasan bahwa islam pun menghendaki dalam kehidupan ini suatu kein-dahan yang
tidak lepas dari kesenian. Sebab arti badi’ itu adalah pencipta pertama dan berkonotasi
indah.” ( Dr. KH. MA. Sahal Mahfudz ).
Allah meniupkan perangkat sem-purna
dibanding makhluk lainnya– pada diri manusia. Itulah mengapa Pencipta alam raya
ini membe-rikan gelar ‘Ahsanut Taqwim’ pada bani Adam. Dan tahukah bahwa
perangkat itu adalah daya cipta manusia, baik dalam ranah logika maupun
estetika (keinda-han). Yang disebut terakhir dalam bahasa sehari-hari dapat
dikata-kan sebagai seni. Dan seni dapat juga diartikan sebagai keahlian membuat
karya yang bermutu tinggi.
Islam sebagai agama yang sesuai dengan
fitrah tentu tidak pernah memasung kreativitas selama masih sejalan dengan
kefitrahan itu sendiri. Bahkan dalam beberapa kesempatan, Allah memberikan
kesan kepada hambaNya, bahwa Dia adalah Sang Kreator Ulung (badi’). Untuk
membuktikannya, mari kita simak bagaimana Allah menciptakan alam raya dengan
keindahannya dalam firmanya yang artinya:
Maka apakah mereka
tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami
meninggikannya dan menghiasi-nya dan langit itu tidak mem-punyai retak-retak
sedikit pun? (Q.S. 50 Qaaf 6)
Selanjutnya, Allah juga menga-jak kita
mengamati keindahan tumbuh-tumbuhan ketika berbuah. Dalam firmanNya yang
artinya:
Dan Dialah yang menurun-kan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami ke-luarkan dari tumbuh-tum-buhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang meng-hijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Se-sungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) ba-gi orang-orang yang beri-man. (Q.S. 6 Al An'aam 99)
Begitu pula Allah telah menciptakan laut,
tidak hanya dapat diambil kesegaran daging-nya, namun juga perhiasan –yang
dalam Kitab Jalalain ditafsirkan intan mutiara yang indah.
Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keun-tungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. (Q.S. 16 An-Nahl 14)
Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keun-tungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. (Q.S. 16 An-Nahl 14)
Untuk itulah mengapa kemudian Imam
Ghazali dalam Ihya’– menyebutkan bahwa orang yang tidak dapat menikmati
keindahan alam semesta, niscaya ia menderita penyakit yang kronis, “Siapa
yang tidak berkesan hatinya di musim bunga dengan kembang-kembangnya, atau oleh
alat musik dan getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap penyakit parah
yang sulit diobati.”
Seni Islami
Meskipun Islam bersikap apre-siatif
terhadap keindahan (baca: kesenian), namun dalam perkembangannya, seni Islam
akhir-akhir ini mengalami kemun-duran. Hal ini jauh berbeda de-ngan masa-masa
keemasan Islam tempo dulu. Di antara sebab terjadinya karena memang minim-nya
umat Islam yang mau mengembangkan seni sesuai koridor kefitrahan atau karena
sikap kehati-hatian umat Islam karena khawatir masuk dalam keharaman. Sikap ini
(mening-galkan seni) mempunyai alasan yang sama dalam transaksi ekonomi
sebagaimana yang disinyalir oleh Umar bin Khattab. Beliau mengatakan, “Umat
Islam meninggalkan dua pertiga (2/3) dari transaksi ekonomi karena khawatir
terjerumus ke dalam (perkara) haram.” Dalam riwayat lain disebutkan “Meninggalkan
sembilan persepuluh (9/10) dari transaksi ekonomi.”
Adapun pelabelan seni islami, sebenarnya
hanya istilah saja. Sebab Islam datang tidak secara tegas memberikan
aturan-aturan tentang kesenian. Maksud dari seni islami adalah kreativitas yang
indah yang sejalan dengan nilai-nilai syariat dan fitrah manusia. Hal ini
berarti mengecualikan kreasi indah yang tidak sesuai dengan nilai syariat,
seperti lukisan yang mengundang syahwat, foto-foto yang membuka aurat (bugil),
dan lain sebagainya. Sebab meskipun ada sebagian yang menganggap itu sebagai
keindahan jika anggapan itu benar tapi telah melewati batas syariat dan fitrah
manusia. Begitu pula lirik-lirik lagu atau syair yang membingungkan pendengar
dan mengandung arti yang tidak sesuai dengan kebenaran. Contohnya dapat kita
lihat dalam sebuah kisah yang diriwayatkan Imam Ahmad yang menyebutkan dua
orang wanita sedang mengenang para pahlawan badar sambil menabuh gendang. Di
antara syairnya: “Dan kami mempunyai Nabi yang mengeta-hui apa yang akan
terjadi besok.”
Mendengar kalimat ini, Nabi SAW menegur mereka: “Adapun yang demikian, maka jangan kalian ucapkan. Tidak ada yang mengetahui (secara pasti) apa yang terjadi esok kecuali Allah.”
Media Dakwah
Seni sebagai
fitrah manusia tentu mempunyai titik singgung terha-dap seluruh individu yang
‘masih baik’ kefitrahannya. Penggunaan seni dalam penguatan dakwah akan menjadi
semakin mengena karena seni menggunakan perangkat dasar fitrah manusia. Dakwah
secara etimologi berarti memanggil atau seruan. Adapun secara terminologi
adalah mengajak atau menyeru manusia untuk melakukan kebajikan (amar ma’ruf)
dan melarang kejelekan (nahi munkar). Pemahaman dakwah ini dapat kita tilik
dari surat An-Nahl ayat 125:
Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Ayat ini mempunyai hubungan yang sangat
erat dengan ayat 110 surat Ali Imran yang menerangkan bahwa : “Kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepa-da yang makruf,
dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”
Sebagai media dakwah, seni budaya
mempunyai arah penca-paian kesadaran kualitas kebe-ragamaan Islam yang pada
gilirannya membentuk perilaku islami dengan tanpa menimbulkan konflik sosial
atau pun gejolak budaya. Selain itu, kesenian dalam kehidupan yang integral
juga bisa diarahkan dalam pengembangan seni budaya yang mampu menjadi ‘tembok
kokoh’ dari campur tangan budaya non islami.
Contoh yang tepat adalah dakwahnya para
Walisanga yang telah berhasil ‘mengislamkan’ nusantara dengan tanpa ’setetes
darah’ pun yang tertumpah. Semoga kita sebagai generasi Islam Indonesia mampu
memang-ku amanat untuk tetap menghi-dupkan ruh Islam dengan atribut seni dan
budayanya. Dengan demikian diharapkan Islam di tanah air mempunyai denyut nadi
yang utuh sesuai dengan fitrahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar