Rabu, 19 Agustus 2015

NIKMAT ALLAH PUN TIDAK GRATIS



   
Setiap saat dalam hidup kita, selalu dilingkupi oleh Nikmat Allah. Kenikmatan yang bersinergi dalam hidup ini jangan dianggap sebagai pemberian begitu saja. Ada konsekwensi logis dari semua fasilitas ini. Karenanya, berhati-hatilah dengan nikmat dari Allah SWT. Sebab ternyata kenik­mat­an yang diperoleh selama ini tidaklah gratis  meskipun datang dari Allah swt. Karena semua kenikmatan mesti dipertanggung-jawabkan.

      Peri­ngat­an ini cukup jelas misalnya dalam salah satu firman Allah : “kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (Q.S. 102 At Takaatsur 8)
      Imam Al Qurthubi dalam kitab tafsirnya menceritakan bagaimana reaksi para sahabat Rasulullah saw ketika turun ayat ini. Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, kenikmatan yang mana yang akan ditanya? Kami hanya menelan separuh dari roti kering di perut kami. Kemudian sebelum Rasu-lullah saw menjawab diberi wahyu dan Rasul saw bertanya kepada mereka: ”Apakah mereka juga minum dan beralas kaki?” itu semua termasuk kenikmatan yang akan ditanya.
      Sedangkan menurut hadist dari Ibnu Mas’ud Rasul menga-takan termasuk nikmat Kesehatan dan rasa aman dan nikmat tidur. Menurut penafsiran Imam Mujahid adalah setiap bentuk kenikmatan duniawi. Sedangkan Menurut Imam Hasan Al Bashri termasuk kenikmatan adalah masuk waktu pagi dan sore.
      Bahkan menurut Abu Qulabah termasuk nikmat adalah memakan roti dengan minyak samin. Adapun menurut riwayat Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas, dimana Imam An Nai’m menafsirkan ayat tersebut bahwa termasuk kenikmatan adalah semua nikmat sehat badan, penglihatan, pendengaran. Sebab semua itu akan ditanya nanti di akhirat.
         Artinya: Berkata Imam Ali bin Abi Thalhah hadits dari Ibnu Abbas, maksud ayat Tsumma latus alunna yauma idzin ’aninna’iim; perkataan Na’im berkaitan dengan sehat badan, pendengaran dan penglihatan; semuanya akan ditanyai oleh Allah terhadap hambanya untuk apa saja semua itu dipergunakan sebab Allah lebih mengetahui daripada hambaNya. Allah berfirman dalam ayat lain: ”Sesungguhnya pen-dengaran, penghlihatan dan hati akan ditanyai.” (Tafsir Qurthubi)
      Dari iformasi Ayat dan tafsir serta hadits baik dari Tafsir Al Qurthubi dan Ibnu katsir sudah cukup jelas menginformasikan bahwa setiap kenikmatan akan ditanyai. Dengan kata lain benarlah bahwa hidup ini tidaklah gratis. Semuanya akan dimintai tanggung jawabnya.
      Dengan demikian, rasanya hamba Allah tidak pantas berkeluh kesah kepada Allah. Sebab dengan keluh kesah menjadi salah satu tanda melupakan nikmat Allah. Boro-boro mau bersyukur yang tanpak di wajah hanya kusut masam karena berkeluh kesah. Karena itu Rasulullah dalam sabdanya melarang berkeluh kesah sebab akan dicap sebagai orang fakir (orang miskin) oleh Allah sampai hari kiamat. Sebalkinya, Rasu-lullah menganjurkan agar bergem-bira dengan kelezatan di dalam hati karena telah menemu­kan rakhmat dan Islam.
      Hal itu ditegaskan Rasulullah setelah menerima ayat "qul bifadlillaahi wabirokhmatihii fabidzaalika falyafrokhuu"’. Sebab Islam adalah rakhmat yang besar dari Allah karenanya kesamping­kan dulu keluh kesah. Ungkapan Rasulullah melarang berkeluh kesah tercantum dalam Tafsir Al Qurthubi kutipanya sebagai berikut:
       Artinya: “Barangsiapa yang sudah mendapatkan petunjuk dalam Islam dan diberi penge-tahuan tentang Al-Qur'an kemu-dian mengeluh tentang kesulitan hidup kepada Allah, niscaya Allah tuliskan (menstempel) pada kedua matanya sebagai orang fakir sampai hari kiamat. Kemudian Rasulullah saw mengucapkan firman Allah: “Katakanlah dengan fadilah dan rakhmat Allah, hendaklah kalian semua ber-gembira.”
     Menurut Imam Malik, Anugerah Allah (Fadlullah) berupa Iman sedangkan Rakhmat Allah diartikan dengan hadirnya Rasulullah saw di bumi ini, sebagaimana firman Allah : Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Q.S. 21 Al Anbiyaa' 107)

Menjaga Amanat bukan Memiliki

      Kenikmatan yang diterima oleh kita merupakan titipan. Karena bersifat titipan maka sudah pasti akan dikembalikan lagi kepada pemiliknya. Dan seorang penjaga titipan yang baik adalah dia tidak akan merasa memiliki sedikitpun titipan itu melainkan dengan penuh tanggung jawab akan menjaganya hingga pemilik titipan berkenan mengambilnya.

      Sebagai gambaran, kita di-ibaratkan pegawai yang memiliki tanggung jawab masing-masing; ada tukang hitung uang (kasir) atau ada tukang parkir; kedua pegawai ini tidak merasa memiliki barang yang tengah dititipkannya meskipun uang berjumlah banyak atau mobil-mobil yang diparkirnya mewah-mewah.

      Mereka tidak merasa memiliki sedikitpun mobil yang diparkir tersebut, malahan menjaganya dengan penuh tanggung jawab. Maka ketika kedua pegawai itu pulang ke rumah, mereka tidak membawa apa-apa. Demikian pula ketika kita pulang memasuki alam kubur, sedikitpun tidak akan dibawa barang-barang yang telah dititipkan Allah kepada kita.

Sikap Ulama Salaf menghadapi AmanatAllah

      Para ulama salaf yang sejati jika dikasih amanat akan mikir-mikir terlebih dahulu sebelum menerimanya mereka lebih senang untuk menolaknya. Hal ini bisa dilihat dari keengganannya mengemban amanat sebab tidak ada yang berusaha merebut amanat. Hal ini karena merasa takut akan tanggungjawabnya nanti di akhirat.

      Alasan yang lain adalah jika mengemban sesuatu amanat maka karena yang pertama kali dihisab nanti di akhirat adalah yang dipimpin terlebih dahulu (muridnya, anggota organisasinya, anak buahnya dst). Karena itu lebih baik tidak mengemban amanat apalagi kalau sampai terdengar ungkapan "Pilihlah saya, karena saya lebih baik dari yang lain" Saya akan membawa kebaikan dll. Ungkapan ini mirip dengan kata-kata Iblis ketika enggan untuk bersujud kepada Adam: Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis: "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah".(Q.S. 7 Al A'raaf 12)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar