Senin, 17 Agustus 2015

tawassul menurut Syekh Ibnu Taimiyah, imam Ahmad, Abdul wahab




Dalam kitab Mafahim Yajib An Tushahhah halaman 145-146, Syekh Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani menulis pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dan Syekh Ibnu Taimiyah mengenai tawassul yaitu :

عَلَى أَنَّ الشَّيْخَ ابْنَ تَيْمِيَةَ فِي بَعْضِ الْمَوَاضِعَ مِنْ كُتُبِهِ أَثْبَتَ جَوَازَ التَّوَسُّلِ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دُونَ تَفْرِيقٍ أَوْ تَفْصِيلٍ بَيْنَ حَيَاتِهِ وَمَوْتِهِ وَحُضُورِهِ وَغِيَابِهِ وَنَقَلَ عَنِ الْإِمَامِ أَحْمَدَ وَالْعِزِّ ابْنِ عَبْدِ السَّلَامِ جَوَازَ ذلِكَ فِي الْفَتَاوَى الْكُبْرَى.                                                                         
      قَالَ الشَّيْخُ وَكَذلِكَ مِمَّا يُشْرَعُ التَّوَسُّلُ بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الدُّعَاءِ كَمَا فِي الْحَدِيثِ الَّذِي رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَ شَخْصًا أَنْ يَقُولَ اللهم إِنِّيْ أّسْأَلُكَ وَأَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيِّ الرَّحْمةِ يَا مُحَمَّدُ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّيْ أَتَوَسَّلُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي  لِيَقْضِيَهَا اللّهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ. فَهَذَا التَّوَسُّلِ بِهِ حَسَنٍ
Syekh Ibnu Taimiyah dalam beberapa bagian kitab-kitabnya, menetapkan bolehnya bertawassul kepada Nabi Muhammad saw, tanpa pemisahan dan rincian, baik ketika beliau masih hidup maupun setelah wafat, baik ketika beliau menyaksikan maupun ketika tidak ada. Ada pula riwayat yang dikutip Imam Ahmad bin Hanbal dan Al-Izz bin Abdussalam yang menyatakan bahwa hal itu memang dibolehkan, sebagaimana tercantum dalam Al-Fatawi Al-Kubra”.
“Syekh Ibnu Taimiyah mengatakan : Demikian pula termasuk yang disyariatkan adalah bertawassul kepada Allah dengan Nabi Muhammad saw, di dalam doa seperti yang tercantum dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi, dan dishahihkannya, yang menyatakan bahwa Nabi saw, pernah mengajari seseorang untuk mengatakan : Ya Allah sesungguhnya aku mohon kepada-Mu dan bertawassul kepada-Mu dengan (kemuliaan) Nabi-Mu Muhammad saw, Nabi penyebar rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap dengan (kemuliaan) mu kepada Tuhanmu supaya Dia menampakkan hajatku dan memenuhinya. Ya Allah, berilah dia hak syafaat untukku. Masih menurut Ibnu Taimiyah, tawassul yang demikian itu juga baik”. (Ibnu Taimiyah, Al-Fatawi Al-Kubra juz 3 halaman 276).

وَقَالَ أَيْضًا وَالتَّوَسُّلُ إِلَى اللهِ بِغَيْرِ نَبِيِّنَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوَاءٌ سُمِّيَ اسْتِغَاثَةً أَوْ لَمْ يُسَمَّ لَا نَعْلَمُ أَحَدًا مِنَ السَّلَفِ فَعَلَهُ وَلَا رُوَى فِيهِ أَثَرًا وَلَا نَعْلَمُ فِيهِ إِلَّا مَا أَتَى بِهِ الشَّيْخُ  -يَعْنِي الشَّيْخَ عِزَّ الدِّينِ ابْنَ عَبْدِ السَّلَامِ- مِنَ الْمَنْعِ وَأَمَّا التَّوَسُّلَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفِيهِ حَدِيثٌ فِي السُّنَنِ رَوَاهُ النَّسَائِيُّ وَالتِّرْمِذِيُّ وَغَيْرُهُمَا أَنَّ أَعْرَبِيًّا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أُصِبْتُ فِي بَصَرِي فَادْعُ اللهَ لِي فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأْ وَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَالَ اللهم  أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ يَا مُحَمَّدُ إِنِّي أَتَشَفَّعُ بِكَ فِي رَدِّ بَصَرِي اللهم شَفِّعْ نَبِيَّكَ فِيَّ وَقَالَ فَإِنْ كَانَتْ لَكَ حَاجَةٌ فَمِثْلَ ذلِكَ فَرَدَّ اللهُ بَصَرَهُ فَلِأَجْلِ هذَا الْحَدِيثِ اسْتَثْنَى الشّيْخُ التَّوَسُّلَ بِهِ.
 وَقَالَ الشّيْخُ ابْنُ تَيْمِيَةَ أَيْضًا فِي مَوْضِعٍ آخَرَ وَلِذلِكَ قَالَ أَحْمَدُ فِي مَنْسَكِهِ الَّذِي كَتَبَهُ الْمَرْوَزِيُّ صَاحِبُهُ إِنَّهُ يَتَوَسَّلُ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دُعَائِهِ وَلَكِنَّ غَيْرَ أَحْمَدَ قَالَ هذَا إِقْسَامٌ عَلَى اللهِ بِهِ وَلَا يُقْسَمُ عَلَى اللهِ بِمَخْلُوقٍ وَأَحْمَدُ فِي إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ قَدْ جَوَّزَ الْقَسَمَ بِهِ وَلِذلِكَ جَوَّزَ التَّوَسُّلَ بِهِ

Syekh Ibnu Taimiyah mengatakan juga bahwa dalam hal bertawassul kepada Allah swt, dengan selain (kemuliaan) Nabi Muhammad saw, baik dalam istighatsah (mohon pertolongan) maupun tidak menyebutkan (macam tawassulnya), kami tidak mengetahui adanya (ulama) salaf yang melakukannya dan tidak mengetahui adanya atsar (perkataan sahabat) mengenai hal itu. Kami hanya mengetahui syekh, yakni syekh Al-Izz bin Abdussalam justru melarangnya. Adapun bertawassul kepada Allah swt, dengan manggunakan kemuliaan Nabi saw, itu memang disebutkan dalam Sunan Al-Nasa’i dan Al-Tirmidzi dan selain keduanya. Imam Nasa’i dan imam Tirmidzi, juga yang lainnya meriwayatkan bahwa ada orang Arab yang mendatangi Nabi saw, ia berkata : Wahai Rasul utusan Allah, sesungguhnya aku sakit mata, mohonkanlah kepada Allah untuk kesembuhanku. Nabi saw, lalu bersabda : Berwudhulah dan lakukanlah shalat dua rakaat, lalu katakanlah : Ya Allah, aku memohon kepada Engkau dan aku menghadap kepada-Mu dengan (kemuliaan) Nabi-Mu, Muhammad. Wahai Muhammad sesungguhnya aku memohon syafaat kepadamu untuk menyembuhkan mataku. Ya Allah, berilah Nabi-Mu hak untuk memberi syafaat kepadaku. Lalu Rasulullah saw, bersabda : Jika kamu mempunyai hajat/kebutuhan (lagi), lakukanlah hal seperti itu. Maka Allah pun menyembuhkan mata orang Arab itu. Berdasar hadits tersebut, Syekh Ibnu Taimiyah membolehkan tawassul kepada Allah dengan kemuliaan Nabi Muhammad saw”. (Ibnu Taimiyah, Al-Fatawi Al-Kubra juz 1 halaman 105).
Pada bagian lain, Syek Ibnu Taimiyah mengatakan : Dan oleh karena itu, Imam Ahmad menulis di dalam tuntunan ibadah yang beliau tulis untuk Al-Marwazi, temannya : Boleh bertawassul kepadaAllah saw, dengan (kemuliaan) Nabi saw, di dalam doanya. Selain itu Imam Ahmad mengatakan : Sesungguhnya yang demikian itu merupakan sumpah kepada Allah dengan menggunakan nama Nabi Muhammad, padahal tidak boleh bersumpah kepada Allah dengan menggunakan makhluk. Sementara itu, imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat, membolehkan bersumpah (kepada Allah) dengan menggunakan nama makhluk. Oleh karena itu, imam Ahmad membolehkan bertawassul (kepada Allah) dengan Nabi Muhammad saw”.  (Ibnu Taimiyah, Al-Fatawi Al-Kubra juz 1 halaman 140).

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Berlepas Diri dari Orang yang Mengkafirkan Orang yang Bertawassul

Demikian juga diterangkan dalam kitab Mafahim Yajib An Tushahhah halaman 149, bahwa  Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab (pendiri faham Wahhabi) memperbolehkan bertawassul dengan menghukumi makruh, Perbuatan mahruh itu jelas bukan haram, apalagi untuk dikatakan bid’ah atau syirik (menyekutukan Allah). Sehingga dalam halaman 150, Syekh Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani mencantumkan pendapat Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab tentang berlepas dirinya dari orang-orang yang mengkafirkan orang yang bertawassul, yaitu :

وَقَدْ جَاءَ عن الشَّيْخِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْوَهَّابِ فِي رِسَالَتِهِ الْمُوَجَّهَةِ لِأَهْلِ الْقُصَيْمِ الاسْتِنْكَارَ الشَّدِيدَ عَلَى مَنْ نَسَبَ إِلَيْهِ تَكْفِيرَ الْمُتَوَسِّلِ بِالصَّالِحِينَ وَقَالَ إِنَّ سُلَيْمَانَ بْنَ سُحَيْمٍ افْتَرَى عَلَيَّ أُمُورًا لَمْ أَقُلْهَا وَلَمْ يَأْتِ أَكْثَرُهَا عَلَى بَالِي فَمِنْهَا أَنِّي أَكْفُرُ مَنْ تَوَسَّلَ بِالصَّالِحِينَ وَأَنِّي أَكْفُرُ الْبُوصِيرِيَّ لِقَوْلِهِ يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ وَأَنِّي أَحْرُقُ دَلَائِلَ الْخَيْرَاتِ.
 وَجَوَابِي عَنْ هذِهِ الْمَسَائِلَ أَنْ أَقُولَ سُبْحَانَكَ هذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ وَجَاءَ أَيْضًا تَأْيِيدُ قَوْلِهِ هذَا فِي رِسَالَةٍ أُخْرَى لَهُ بَعَثَهَا إِلَى أَهْلِ الْمَعْجَمَةِ يَقُولُ فِيهَا إِذَا تَبَيَّنَ هذَا فَالْمَسَائِلُ الَّتِي شَنَعَ بِهَا مِنْهَا مَا هُوَ مِنَ الْبُهْتَانِ الظَّاهِرِ وَهُوَ قَوْلُهُ أ أَنِّي أَكْفُرُ مَنْ تَوَسَّلَ بِالصَّالِحِينَ وَأَنِّي أَكْفُرُ الْبُوصِيرِيَّ إِلَى آخِرِ مَا قَالَ ثُمَّ قَالَ وَجَوَابِي فِيهَا أَنْ أَقُولَ سُبْحَانَكَ هذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ
            “Dalam risalah yang ditunjukkan kepada mereka yang suka memecah-belah, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab sangat mengingkari orang yang menuduh mengkafirkan orang-orang yang bertawassul (kepada Allah) dengan kemuliaan orang-orang shaleh. Ia pernah mengatakan : Sulaiman bin Sahim sungguh telah berdusta kepadaku dan menuduhku dengan macam-macam yang sebetulnya tidak aku lakukan, bahwa tidak pernah terbetik dalam hati. Di antara tuduhannya bahwa aku mengkafirkan orang-orang yang bertawassul, mengkafirkan Al-Bushiri (Pengarang syair Qashidah Burdah) yang mengatakan : Wahai makhluk yang paling mulia. Dan bahwa aku telah membakar kitab Dalail Al-Khairat (cara-cara mendapatkan kebaikan).

            Dan jawaban atas semua itu, aku hanya berkata : Maha Suci Engkau ya Allah, ini adalah dusta yang sangat besar. Dan untuk menguatkan pernyataan itu, pada kesempatan lain, beliau (Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab) membuat tulisan yang ditujukan kepada peserta suatu perkumpulan : Jika hal itu telah jelas, maka masalah-masalah yang sangat jelek itu ada yang betul-betul dusta, seperti tuduhan bahwa aku mengkafirkan orang yang bertawassul kepada Allah swt, dengan perantaraan/kemuliaan orang-orang shaleh, bahwa aku mengkafirkan Al-Bushiri, dan lain-lain. Untuk itu semua, aku menjawab : Maha Suci Engkau ya Allah, ini adalah dusta yang sangat besar. (Tentang bantahan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab itu, dapat dilihat pada risalah pertama dan kesebelas dari risalah-risalah yang ditulis beliau pada bagian lima halaman 12 dan 64).

            Lalu bagaimana dengan keadaan sekarang, banyak pengikut Syekh Ibnu Taimiyah dan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab (pendiri faham Wahhabi) mengatakan bahwa perbuatan tawassul itu bid’ah, haram dan yang melakukan adalah kafir, musyrik, dan perkataan-perkataan lainnya. Padahal kita tahu sendiri pendapat para imam mereka yang memperbolehkannya. Jadi bagi kita yang biasa bertawassul tentunya tidak usah malu apalagi takut untuk melakukannya, karena itu semua ada dalil dan hujah yang dapat dipercaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar