Senin, 17 Agustus 2015

Hukum membuat jamuan (hidangan) bagi keluarga mayit




Kelompok yang tidak menyenagi adanya tahlilan masih mengusik dengan adanya kenduri arwah, yang mana keluarga si mayat membuat makanan untuk dihidangkan kepada para tamu. Dalam pembahasan kali ini hanya mengenai membuat jamuan (hidangan), masalah kirim do’a sudah kita bahas di atas.
Mengenai hal ini, kelompok ini masih menggunakan (mencomot) ucapan-ucapan ulama Syafi’iyah, di mana ia mengatakan :
Mungkin ramai dari kalangan pengikut madzab Syafi’i tidak menyadari bahwa bertahlil dengan cara berkumpul beramai-ramai, membaca Al-Qur’an, berdzikir, berdo’a dan mengadakan hidangan makanan di rumah si mayat atau keluarga si mayat, bukan saja Imam Syafi’i yang menghukumi haram dan bid'ah, malah ramai para ulama madzab Syafi’i turut berpendirian seperti Imam Syafi’i. Adapun antara mereka yang mengharamkan kenduri arwah, yasinan, tahlilan dan selamatan ialah Imam Nawawi, Ibn Hajar Al-Asqalani, Imam Ibnu Katsir, Imam Ar-Ramli dan ramai lagi para ulama muktabar dari kalangan yang bermadzab Syafi’i, sebagaimana beberapa fatwa tentang pengharaman tersebut dari mereka dan Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan:
وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَاِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ
"Dan aku telah memakruhkan (mengharamkan) ma’tam, yaitu berkumpul di rumah (si mayat) walaupun bukan untuk tangisan (ratapan)".
Mengadakan majlis kenduri yaitu dengan berkumpul beramai-ramai terutamanya untuk berdzikir, tahlilan, membaca surah Yasin atau kenduri arwah sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia di rumah si mayat atau memperingati kematian, maka semuanya itu benar-benar dihukum bid'ah yang mungkar oleh Imam Syafi’i rahimahullah sebagaimana fatwa-fatwa beliau dan para ulama yang bermadzab Syafi’i yang selanjutnya:
وَاَمَّا اِصْلاَحُ اَهْلُ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسَ عَلَيْهِ فَبِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ
"Adapun menyediakan makanan oleh keluarga si mayat dan berkumpul beramai-ramai di rumah (si mayat) tersebut maka itu adalah bid'ah bukan sunnah".
Di dalam kitab I’anah al-Thalibin juz 2 halaman. 146 disebutkan pengharaman kenduri arwah, yaitu:
وَمَا اعْتِيدَ مِنْ جَعْلِ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِيَدْعُوَ النَّاسَ إِلَيْهِ بِدْعَةٌ مَكْرُوهَةٌ كَاجْتِمَاعِهِمْ لِذلِكَ لِمَا صَحَّ عَنْ جَرِيرٍ قَالَ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ كُنَّا نُعِدُّ الاجْتِمَاعَ لِأَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعِهِمُ الطَّعَامَ مِنَ النِّيَاحَةِ (رَوَاهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَّهْ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ)
“Dan apa yang telah menjadi kebiasaan manusia tentang mengundang orang dan menyediakan hidangan makanan oleh keluarga si mayat adalah bid’ah yang dibenci, termasuklah dalam hal ini berkumpul beramai-ramai di rumah keluarga si mayat karena terdapat hadits shahih dari Jarir bin Abdullah berkata: Kami menganggap berkumpul beramai-ramai (berkenduri arwah) di rumah si mayat dan menyiapkan makanan sebagai ratapan". (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibn majah dengan sanad yang sahih).
Jawabannya
Mengenai makan dirumah duka, sungguh Rasul saw telah melaku-kannya, dijelaskan dalam kitab Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 halaman 67.
حَدِيُثُ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبِ الَّذِي رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ فِي سُنَنِهِ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ عَنْهُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جِنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِيُ امْرَأَتِهِ فَأَجَابَ وَنَحْنُ مَعَهُ فَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا الْحَدِيثَ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالْبَيْهَقِيُّ فِي دَلَائِلِ النُّبُوَّةِ هَكذَا فِي الْمِشْكَاةِ فِي بَابِ الْمُعْجِزَاتِ فَقَوْلُهُ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِيُ امْرَأَتِهِ إِلَخْ نَصٌّ صَرِيحٌ فِي أَنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجَابَ دَعْوَةَ أَهْلِ الْبَيْتِ وَاجْتَمَعَ هُوَ وَأَصْحَابُهُ بَعْدَ دَفْنِهِ وَأَكَلُوا
“Telah menceritakan Ashim bin Kulaib ra yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki Anshar, berkata : Kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya di makanan itu, kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu, lalu kesemuanyapun makan. Riwayat Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah, demikian pula diriwayatkan dalam AL-Misykaah, di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau saw akan pulang maka datanglah utusan istri almarhum (sampai akhir hadits), dan hal ini merupakan Nash yang jelas bahwa Rasulullah saw mendatangi undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama sahabat beliau saw setelah penguburan dan mereka makan”.
Mengenai ucapan para Imam itu, yang dimaksud adalah membuat jamuan khusus untuk mendatangkan tamu yang banyak, dan mereka tak mengharamkan itu :
1.      Ucapan Imam Nawawi yang mereka jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak disukai (ghairu Mustahibbah), bukan haram, tapi mereka mencapnya haram padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahibbah, berarti bukan hal yang dicintai, ini berarti hukumnya bisa mubah, atau makruh dan tidak sampai haram.
2.      Imam Ibnu Hajar Al Haitsamiy menjelaskan :
مِنْ جَعْلِ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِيَدْعُوا النَّاسَ عَلَيْهِ بِدْعَةٌ مَكْرُوهَةٌ
“Mereka yang keluarga duka yang membuat makanan demi mengun-dang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yang makruh” (bukan haram).
Semoga mereka mengerti bahasa, bahwa jauh berbeda dengan keluarga duka apabila menyuguhkan makanan untuk tamu yang mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda apabila keluarga duka membuat makanan demi mengundang orang agar datang, yang dilarang (Makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah.
3.      Ucapan Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy menjelaskan “Ittikha-dzuddhiyafah”, ini maknanya “membuat perjamuan besar”, misalnya begini : Bupati menjadikan selamatan kemenangannya dalam pilkada dengan “Ittikhadzuddhiyafah” yaitu mengadakan perjamuan. Inilah yang dikatakan Makruh oleh Imam Ibnu Abidin dan beliau tidak mengatakannya haram, Inilah dangkalnya pemahaman mereka sehingga membuat kebenaran diselewengkan. Hal ini berkenaan dengan fatwa Imam Syafi’i didalam kitab I'anatutthaalibin, yang diharamkan adalah Ittikha-dzuddhiyafah, (mengadakan jamuan besar), hal itu "Syara'a lissurur", yaitu jamuan makan untuk kegembiraan, bukan untuk kematian,
Dan di dalam kitab fiqih empat madzhab (Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah juz 1 halaman 490). karangan syekh Abdurrahman Al-Jaziri disebutkan:
وَمِنَ الْبِدَعِ الْمَكْرُوهَةُ مَا يُفْعَلُ الآنَ مِنْ ذَبْحِ الذَّبَائِحِ عِنْدَ خُرُوجِ الْمَيِّتِ مِنَ الْبَيْتِ أَوْ عِنْدَ الْقَبْرِ وَإِعْدَادِ الطَّعَامِ لِمَنْ يَجْتَمِعُ لِلتَّعْزِيَةِ وَتَقْدِيمُهُ لَهُمْ كَمَا يُفْعَلُ ذلِكَ فِي الْأَفْرَاحِ وَمَحَافِلِ السُّرُورِ
“Di antara salah satu bentuk bid’ah yang makruh adalah apa-apa yang dilakukan oleh orang-orang sekarang seperti menyembelih binatang pada saat mayat keluar dari rumah atau ketika penguburan, menyediakan makanan untuk orang-orang yang berkumpul untuk ber ta’ziyah dan menyuguhkannya kepada mereka sebagai mana hal itu dilakukan dalam acara-acara senang dan perkumpulan-perkumpulan gembira”.
4.      Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata berkumpulnya orang dalam hidangan makan-makan dirumah mayat hukumnya bid’ah yang makruh. (bukan haram tentunya), dan maksudnya pun sama dengan ucapan di atas, yaitu mengumpulkan orang dengan jamuan makanan, namun beliau mengatakannya makruh, tidak sampai mengharamkannya.
5.      Syaikh An-Nawawi Al-Bantani rahimahullah menjelaskan adat istiadat baru berupa “Wahsyah” yaitu adat berkumpul dimalam pertama saat mayat wafat dengan hidangan makanan macam macam, hal ini makruh, (bukan haram).
Dan mengenai ucapan secara keseluruhan, yang dimaksud makruh adalah sengaja membuat acara “jamuan makan” demi mengundang tamu, ini yang ikhtilaf ulama antara mubah dan makruh, tapi kalau hal tersebut diniatkan sedekah dengan pahalanya untuk mayat maka justru hadits Shahih Muslim di atas telah memperbolehkannya bahkan sunnah. 
Dan tentunya bila mereka (keluarga mayat) meniatkan untuk sedekah yang pahalanya untuk mereka sendiripun maka tidak juga ada yang memakruhkannya.
Sebagaimana Rasul saw makan pula, karena asal dari pelarangan adalah memberatkan mayat, namun masa kini bila kita hadir ke rumah duka lalu mereka hidangkan makanan dan kita katakan haram (padahal hukumnya makruh) maka hal itu malah menghina dan membuat sedih keluarga yang wafat. Lihat akhlak Rasulullah saw, beliau tahu bahwa pembuatan makanan di rumah duka adalah hal yg memberatkan keluarga duka, namun beliau mendatangi undangan istri almarhum dan makan bersama sahabatnya, kenapa?, Beliau tidak mau mengecewakan keluarga duka, justru datang dan makan itu bila akan menghibur keluarga duka maka perbuatlah!, itu sunnah Muhammad saw.
Yang lebih baik adalah datang dan makan tanpa bermuka masam dan merengut sambil berkata haram..haram… dirumah duka (padahal makruh), tapi bawalah uang atau hadiah untuk membantu mereka.
Sekali lagi kami jelaskan bahwa asal muasal pemakruhan adalah jika menyusahkan dan memberatkan keluarga mayat, maka memberat kan dan menyusahkan mereka itulah yang makruh,
Selama hal ini ada riwayat dari Rasul saw yang memakannya dan mendatangi undangan istri almarhum dan makan bersama sahabatnya, maka kita haram berfatwa mengharamkannya karena bertentangan dengan sunnah Nabi saw, karena hal itu diperbuat oleh Rasul saw, namun kembali pada pokok permasalahan yaitu jangan memberatkan keluarga duka, bila memberatkannya maka makruh.
Dalam kitab Syarh Sunan Ibn Majah Juz 1 halaman 116 disebutkan:
وَأَمَّا صَنْعَةُ الطَّعَامِ مِنْ أَهْلِ الْمَيِّتِ إِذَا كَانَ لِلْفُقَرَاءِ فَلَا بَأْسَ بِهِ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبِلَ دَعْوَةَ الْمَرْأَةِ الَّتِي مَاتَ زَوْجُهَا كَمَا فِي سُنَنِ أَبِي دَاوُدَ وَأَمَّا إِذَا كَانَ لِلْأَغْنِيَاءِ وَالْأَضْيَافِ فَمَمْنُوعٌ وَمَكْرُوهٌ لِحَدِيثِ أَحْمَدَ وَ ابْنُ مَاجَّةَ
Adapun membuat makanan dari keluarga mayat itu, bila untuk para fuqara maka diperbolehkan, karena Nabi saw menerima undangan wanita yang wafat suaminya sebagaimana diriwayatkan pada sunan Abu Dawud, namun bila untuk orang orang kaya dan perjamuan maka terlarang dan Makruh sebagaimana hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Majah”.
Dan dijelaskan pula oleh Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Al-Hanbali (seorang ulama bermadzhab Hanbali) dalam kitabnya Al-Mughniy juz 2 halaman 215 :
فَأَمَّا صُنْعُ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِلنَّاسِ فَمَكْرُوهٌ لِأَنَّ فِيهِ زِيَادَةً عَلَى مُصِيبَتِهِمْ وَشُغْلًا لَهُمْ إلَى شُغْلِهِمْ وَتَشَبُّهًا بِصُنْعِ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ
”Bila keluarga mayat membuat makanan untuk orang maka makruh, karena hal itu menambah atas musibah mereka dan menyibukkan, dan meniru niru perbuatan jahiliyah”.
(MAKRUH…… BUKAN HARAM)
Masih dalm kitab Al-Mughniy juz 2 halaman 215 : Shohibul Mughniy selanjutnya menjelaskan :
وَإِنْ دَعَتْ الْحَاجَةُ إلَى ذَلِكَ جَازَ فَإِنَّهُ رُبَّمَا جَاءَهُمْ مَنْ يَحْضُرُ مَيِّتَهُمْ مِنْ الْقُرَى وَالْأَمَاكِنِ الْبَعِيدَةِ وَيَبِيتُ عِنْدَهُمْ وَلَا يُمْكِنُهُمْ إلَّا أَنْ يُضَيِّفُوهُ
”Bila mereka melakukannya karena ada sebab/hajat, maka hal itu diperbolehkan, karena barangkali diantara mereka yang datang untuk menghadiri orang yang mati itu ada yang dari pedesaan, dan tempat tempat yang jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tak bisa tidak terkecuali mereka mesti dijamu”.
(DISINI HUKUMNYA BERUBAH MENJADI MUBAH KARENA ADA HAJAT, BUKAN JAMUAN UNTUK MENGUNDANG ORANG BANYAK)
Nah.. inilah kebodohan mereka, bagaimana ucapan “Ghairu Mustahibbah” bisa dirubah jadi haram?, sedangkan makna Mustahibbah adalah disukai untuk dilakukan dan disejajarkan dengan makna sunah secara istilahi, yaitu yutsab ala fi’lihi walaa yu’aqabu alaa tarkihi (diberi pahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan),
Di dalam Ushul dijelaskan bahwa Mandub, hasan, an-nafl, sunah, Mustahab fiih (mustahibbah), Muragghab fiih, ini semua satu makna, yaitu yutsab ala fi’lihi walaa yu’aqabu alaa tarkihi (diberi pahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan).
Imam Nawawi tidak mengucapkan haram, karena bila haram beliau tak payah-payah menaruh kata ghairu mustahibbah dan lain sebagainya, beliau akan berkata haram mutlaqan (haram secara mutlak), namun beliau tak mengatakannya,
Dan mengenai kata “Bid’ah” sebagaimana mereka menukil ucapan Imam Nawawi, perlu difahami bahwa bid’ah menurut Imam Nawawi terbagi lima bagian, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram (rujuk syarh nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 164-165), (Lebih jelasnya dapat membaca di tulisan kami yang berjudul : “Meluruskan pemahaman bid’ah”.) Untuk itu sebelum mengambil dan menggunting ucapan Imam Nawawi, maka perlu memahami dulu apa maksud bid’ah dalam ta’rif Imam Nawawi, barulah bicara fatwa bid’ah oleh Imam Nawawi, Bila Imam Nawawi menjelaskan bahwa dalam bid’ah itu ada yang mubah dan yang makruh, maka ucapan “Bid’ah Ghairu Mustahibbah” bermakna bid’ah yang mubah atau yang makruh, Kecuali bila Imam Nawawi berkata “Bid’ah Muharramah” (Bid’ah yang haram). Namun kenyataannya Imam Nawawi tidak mengatakannya haram, maka hukumnya antara mubah dan makruh.
Untuk Ucapan Imam Ibnu Hajar inipun jelas, beliau berkata Bid’ah Munkarah Makruhah, (bid’ah yg tercela yang makruh), karena bid’ah tercela itu tidak semuanya haram, Hukum dari mana makruh dibilang haram, makruh sudah jelas makruh, hukumnya yutsab ala tarkihi wala yu’aqabu ala fi’lihi (mendapat pahala bila ditinggalkan dan tidak mendapat dosa bila dilakukan), Dan yang dimakruhkan adalah menyiapkan makanan untuk mengundang orang, beda dengan orang datang lalu shohibul bait menyuguhi.
Dijelaskan bahwa yang dimaksud adat jahiliyyah ini adalah membuat jamuan besar, mereka menyembelih sapi atau kambing demi mengundang tamu setelah ada kematian, ini makruh hukumnya, namun beda dengan orang datang karena ingin menjenguk, lalu sohibul bait menyuguhi ala kadarnya,
Jadi dapat kita ambil kesimpulan :
1.      Membuat jamuan untuk mengundang orang banyak hukumnya makruh, walaupun ada yang mengatakan haram namun Jumhur Imam dan Muhadditsin mengatakannya makruh.
2.      Membuat jamuan dengan niat sedekah hukumnya sunnah, tidak terkecuali ada kematian atau kelahiran atau apapun,
3.      Membuat jamuan dengan tujuan sedekah dan pahalanya untuk mayat hukumnya sunnah, sebagaimana hadits Shahih Muslim diatas telah memperbolehkannya. (Dalil ketujuh) di atas.
4.      Menghidangkan makanan seadanya untuk tamu yang datang saat kematian adalah hal yang mubah, bukan makruh, misalnya sekedar air putih, teh atau kopi sederhana. Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud dlaif (menghormati tamu),
5.      Sunnah Muakkadah bagi masyarakat dan keluarga tidak datang begitu saja dengan tangan kosong, namun bawalah sesuatu, berupa buah, uang, atau makanan, beras, gula dan sebagainya.
6.      Makan makanan yang dihidangkan oleh mereka tidak haram, karena tak ada yang mengharamkannya, bahkan sebagaimana dalam Syarh Sunan Ibnu Majah dijelaskan hal itu pernah dilakukan oleh Rasul saw.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar