Jumat, 21 Agustus 2015

Hukum berdoa dengan tawassul




Kita sering mendengar seorang Muslim berdo’a dengan mengucapkan beberapa kalimat berikut : “Ya Allah, berkat wali-Mu Fulan, berilah aku …..”, atau “Ya Allah, dengan kebesaran fulan, jadikanlah aku ….”, atau “Ya Allah, berkat puasaku (atau amal lainnya), mudahkanlah ….”,atau “Ya Allah, berkat shalawat yang kami baca, anugrahilah aku …”, atau “Ya Allah berkat wali-Mu yang dimakamkan di kuburan ini, selamatkanlah aku dari ….”.

            Semua yang tertera di atas merupakan contoh tawassul. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana sebenarnya hukum tawassul itu?

Arti tawassul
            Tawassul artinya menjadikan sesuatu sebagai perantara dalam usaha untuk memperoleh kedudukan yang tinggi di sisi Allah atau untuk mewujudkan keinginan dan cita-citanya. Sedangkan wasilah adalah sesuatu yang dijadikan sebagai perantara dalam bertawassul. Dalam Al-Qur’an disebutkan :

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُواْ اتَّقُواْ اللهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. 5 Al Maa-idah 35)

            Dalam ayat ini Allah swt, memerintahkan kita agar mencari wasilah yang dapat mendekatkan kita kepada Allah, termasuk dengan cara bertawasul dengan para Nabi dan wali yang sudah meninggal seperti telah diajarkan oleh Rasulullah saw, para sahabat dan ulama salaf yang shaleh. Dalam menafsirkan wasilah dalam ayat ini, Al-Hafidz Ibn Katsir mengatakan :
وَالْوَسِيْلَةُ هِيَ الَّتِيْ يُتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى تَحْصِيْلِ الْمَقْصُوْدِ
“Wasilah adalah segala sesuatu yang menjadi sebab sampai pada tujuan”. (Tafsirul Qur’anil ‘Adzim juz 2 halaman 52)

            Sesuatu yang dapat dijadikan sebagai wasilah (perantara) adalah jika ia dicintai dan diridhai Allah, jadi sesuatu/barang yang haram tidak dapat dijadikan wasilah.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
“Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul, melainkan untuk dita’ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (Q.S. 4 An Nisaa’ 64).

            Dalam ayat ini Allah menuntun kita, apabila kita menganiaya diri dengan melakukan perbuatan dosa, dan kita hendak bertaubat dan memohon ampun kepada Allah, maka kita mendatangi Rasulullah saw, baik ketika beliau masih hidup atau sudah meninggal, lalu kita memohon ampun kepada Allah serta ber-tawassul dan ber-istighatsah dengan Rasulullah saw, agar dimohonkan ampun kepada Allah. Hal ini sesuai dengan penafsiran Al-Hafidz Ibn Katsir (salah seorang ulama yang dikagumi kaum wahhabi) dalam kitab tafsirnya juz 2 halaman 366 terhadap ayat di atas berikut ini :

يُرْشِدُ تَعَالَى الْعُصَاةَ وَالْمُذْنِبِينَ إِذَا وَقَعَ مِنْهُمُ الْخَطَأُ وَالْعِصْيَانِ أَنْ يَأْتُوا إِلَى الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَسْتَغْفِرُوا اللهَ عِنْدَهُ وَيَسْأَلُوهُ أَنْ يَسْتَغْفِرُ لَهُمْ فَإِنَّهُمْ إِذَا فَعَلُوا ذلِكَ تَابَ اللهُ عَلَيْهِمْ وَرَحِمَهُمْ وَغَفَرَ لَهُمْ وَلِهذَا قَالَ (لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيمًا) وَقَدْ ذَكَرُ جَمَاعَةٌ مِنْهُمُ الشَّيْخُ أَبُو نَصْرُ بْنُ الصَّبَّاغِ فِي كِتَابِهِ الشَّامِلِ الْحِكَايَةَ الْمَشْهُورَةَ عَنِ العُتْبِيِّ قَالَ كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللهِ سَمِعْتُ اللهَ يَقُولُ (وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيمًا) وَقَدْ جِئْتُكَ مُسْتَغْفِرًا لِذَنْبِي مُسْتَشْفِعًا بِكَ إِلَى رَبِّي ثُمَّ أَنْشَأَ يَقُولُ
يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ بِالْقَاعِ أَعْظُمُهُ              فَطَابَ مِنْ طِيْبِهِنَّ الْقَاعُ وَالْأَكَمُ
نَفْسِي الْفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَـاكِنُهُ             فِيهِ الْعَفَافُ وَفِيهِ الْجُودُ وَالْكَرَمُ

ثُمَّ انْصَرَفَ الْأَعْرَابِي فَغَلَبَتْنِي عَيْنِي فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّوْمِ فَقَالَ يَا عُتْبِيُّ اِلْحِقِ اْلأَعْرَابِيَّ فَبَشِّرْهُ أَنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ لَهُ

“Allah swt, memberi bimbingan kepada orang-orang durhaka yang berdosa, bila mereka tejerumus ke dalam kesalahan dan kemaksiatan, hendaknya mereka datang menghadap Rasulullah saw, lalu memohon ampun kepada Allah di hadapannya dan meminta kepadanya agar mau memohonkan ampun kepada Allah buat mereka. Karena sesungguhnya jikalau mereka melakukan hal tersebut, niscaya Allah menerima taubat mereka, merahmati mereka, dan memberikan ampunan bagi mereka. Karena itulah dalam firman berikutnya di sebutkan : (tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang). Sejumlah ulama, antara lain Syekh Abu Mansur Ash-Shabbagh di dalam kitabnya Asy-Syamil, mengetengahkan kisah yang terkenal (populer) dari Al-Utbi. Beliau berkata : Aku sedang duduk di dekat kubur Rasul saw, datanglah seorang A’rabi (Arab Badui) dan berkata : Salam sejahtera atasmu ya Rasulullah. Aku telah mendengar Allah berfirman : “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (Q.S. 4 An Nisaa’ 64). Sekarang aku datang kepadamu, memohon ampun bagi dosa-dosaku (kepada Allah) dan meminta syafaat (pertolongan) kepadamu (agar engkau memohonkan ampunan bagiku) kepada Tuhanku. Kemudian ia mengucapkan syair :

Wahai sebaik-baik orang yang dikebumikan di lembah ini lagi paling agung                         Maka menjadi harumlah dari pancaran keharumannya semua lembah dan pegunungan ini.
           Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau menjadi penghuninya                                           Di dalamnya terdapat kehormatan, kedermawanan dan kemuliaan.

Kemudian lelaki A’rabi itu pergi, dan dengan serta merta mataku terasa mengantuk sekali hingga tertidur. Dalam tidurku itu aku bermimpi bertemu Nabi saw, lalu beliau bersabda : Hai Utbi susullah orang A’rabi itu dan sampaikanlah kabar gembira kepadanya bahwa Allah telah memberikan ampunan kepadanya”.

Disayariatkannya Bertawassul Menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan Syekh Ibnu Taimiyah

            Dalam kitab Mafahim Yajib An Tushahhah halaman 145-146, Syekh Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani menulis pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dan Syekh Ibnu Taimiyah mengenai tawassul yaitu :

عَلَى أَنَّ الشَّيْخَ ابْنَ تَيْمِيَةَ فِي بَعْضِ الْمَوَاضِعَ مِنْ كُتُبِهِ أَثْبَتَ جَوَازَ التَّوَسُّلِ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دُونَ تَفْرِيقٍ أَوْ تَفْصِيلٍ بَيْنَ حَيَاتِهِ وَمَوْتِهِ وَحُضُورِهِ وَغِيَابِهِ وَنَقَلَ عَنِ الْإِمَامِ أَحْمَدَ وَالْعِزِّ ابْنِ عَبْدِ السَّلَامِ جَوَازَ ذلِكَ فِي الْفَتَاوَى الْكُبْرَى.                                                            
                  قَالَ الشَّيْخُ وَكَذلِكَ مِمَّا يُشْرَعُ التَّوَسُّلُ بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الدُّعَاءِ كَمَا فِي الْحَدِيثِ الَّذِي رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَ شَخْصًا أَنْ يَقُولَ اللهم إِنِّيْ أّسْأَلُكَ وَأَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيِّ الرَّحْمةِ يَا مُحَمَّدُ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّيْ أَتَوَسَّلُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي  لِيَقْضِيَهَا اللّهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ. فَهَذَا التَّوَسُّلِ بِهِ حَسَنٍ
Syekh Ibnu Taimiyah dalam beberapa bagian kitab-kitabnya, menetapkan bolehnya bertawassul kepada Nabi Muhammad saw, tanpa pemisahan dan rincian, baik ketika beliau masih hidup maupun setelah wafat, baik ketika beliau menyaksikan maupun ketika tidak ada. Ada pula riwayat yang dikutip Imam Ahmad bin Hanbal dan Al-Izz bin Abdussalam yang menyatakan bahwa hal itu memang dibolehkan, sebagaimana tercantum dalam Al-Fatawi Al-Kubra”.
“Syekh Ibnu Taimiyah mengatakan : Demikian pula termasuk yang disyariatkan adalah bertawassul kepada Allah dengan Nabi Muhammad saw, di dalam doa seperti yang tercantum dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi, dan dishahihkannya, yang menyatakan bahwa Nabi saw, pernah mengajari seseorang untuk mengatakan : Ya Allah sesungguhnya aku mohon kepada-Mu dan bertawassul kepada-Mu dengan (kemuliaan) Nabi-Mu Muhammad saw, Nabi penyebar rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap dengan (kemuliaan) mu kepada Tuhanmu supaya Dia menampakkan hajatku dan memenuhinya. Ya Allah, berilah dia hak syafaat untukku. Masih menurut Ibnu Taimiyah, tawassul yang demikian itu juga baik”. (Ibnu Taimiyah, Al-Fatawi Al-Kubra juz 3 halaman 276).

وَقَالَ أَيْضًا وَالتَّوَسُّلُ إِلَى اللهِ بِغَيْرِ نَبِيِّنَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوَاءٌ سُمِّيَ اسْتِغَاثَةً أَوْ لَمْ يُسَمَّ لَا نَعْلَمُ أَحَدًا مِنَ السَّلَفِ فَعَلَهُ وَلَا رُوَى فِيهِ أَثَرًا وَلَا نَعْلَمُ فِيهِ إِلَّا مَا أَتَى بِهِ الشَّيْخُ  -يَعْنِي الشَّيْخَ عِزَّ الدِّينِ ابْنَ عَبْدِ السَّلَامِ- مِنَ الْمَنْعِ وَأَمَّا التَّوَسُّلَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفِيهِ حَدِيثٌ فِي السُّنَنِ رَوَاهُ النَّسَائِيُّ وَالتِّرْمِذِيُّ وَغَيْرُهُمَا أَنَّ أَعْرَبِيًّا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أُصِبْتُ فِي بَصَرِي فَادْعُ اللهَ لِي فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأْ وَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَالَ اللهم  أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ يَا مُحَمَّدُ إِنِّي أَتَشَفَّعُ بِكَ فِي رَدِّ بَصَرِي اللهم شَفِّعْ نَبِيَّكَ فِيَّ وَقَالَ فَإِنْ كَانَتْ لَكَ حَاجَةٌ فَمِثْلَ ذلِكَ فَرَدَّ اللهُ بَصَرَهُ فَلِأَجْلِ هذَا الْحَدِيثِ اسْتَثْنَى الشّيْخُ التَّوَسُّلَ بِهِ.
 وَقَالَ الشّيْخُ ابْنُ تَيْمِيَةَ أَيْضًا فِي مَوْضِعٍ آخَرَ وَلِذلِكَ قَالَ أَحْمَدُ فِي مَنْسَكِهِ الَّذِي كَتَبَهُ الْمَرْوَزِيُّ صَاحِبُهُ إِنَّهُ يَتَوَسَّلُ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دُعَائِهِ وَلَكِنَّ غَيْرَ أَحْمَدَ قَالَ هذَا إِقْسَامٌ عَلَى اللهِ بِهِ وَلَا يُقْسَمُ عَلَى اللهِ بِمَخْلُوقٍ وَأَحْمَدُ فِي إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ قَدْ جَوَّزَ الْقَسَمَ بِهِ وَلِذلِكَ جَوَّزَ التَّوَسُّلَ بِهِ

Syekh Ibnu Taimiyah mengatakan juga bahwa dalam hal bertawassul kepada Allah swt, dengan selain (kemuliaan) Nabi Muhammad saw, baik dalam istighatsah (mohon pertolongan) maupun tidak menyebutkan (macam tawassulnya), kami tidak mengetahui adanya (ulama) salaf yang melakukannya dan tidak mengetahui adanya atsar (perkataan sahabat) mengenai hal itu. Kami hanya mengetahui syekh, yakni syekh Al-Izz bin Abdussalam justru melarangnya. Adapun bertawassul kepada Allah swt, dengan manggunakan kemuliaan Nabi saw, itu memang disebutkan dalam Sunan Al-Nasa’i dan Al-Tirmidzi dan selain keduanya. Imam Nasa’i dan imam Tirmidzi, juga yang lainnya meriwayatkan bahwa ada orang Arab yang mendatangi Nabi saw, ia berkata : Wahai Rasul utusan Allah, sesungguhnya aku sakit mata, mohonkanlah kepada Allah untuk kesembuhanku. Nabi saw, lalu bersabda : Berwudhulah dan lakukanlah shalat dua rakaat, lalu katakanlah : Ya Allah, aku memohon kepada Engkau dan aku menghadap kepada-Mu dengan (kemuliaan) Nabi-Mu, Muhammad. Wahai Muhammad sesungguhnya aku memohon syafaat kepadamu untuk menyembuhkan mataku. Ya Allah, berilah Nabi-Mu hak untuk memberi syafaat kepadaku. Lalu Rasulullah saw, bersabda : Jika kamu mempunyai hajat/kebutuhan (lagi), lakukanlah hal seperti itu. Maka Allah pun menyembuhkan mata orang Arab itu. Berdasar hadits tersebut, Syekh Ibnu Taimiyah membolehkan tawassul kepada Allah dengan kemuliaan Nabi Muhammad saw”. (Ibnu Taimiyah, Al-Fatawi Al-Kubra juz 1 halaman 105).
Pada bagian lain, Syek Ibnu Taimiyah mengatakan : Dan oleh karena itu, Imam Ahmad menulis di dalam tuntunan ibadah yang beliau tulis untuk Al-Marwazi, temannya : Boleh bertawassul kepadaAllah saw, dengan (kemuliaan) Nabi saw, di dalam doanya. Selain itu Imam Ahmad mengatakan : Sesungguhnya yang demikian itu merupakan sumpah kepada Allah dengan menggunakan nama Nabi Muhammad, padahal tidak boleh bersumpah kepada Allah dengan menggunakan makhluk. Sementara itu, imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat, membolehkan bersumpah (kepada Allah) dengan menggunakan nama makhluk. Oleh karena itu, imam Ahmad membolehkan bertawassul (kepada Allah) dengan Nabi Muhammad saw”.  (Ibnu Taimiyah, Al-Fatawi Al-Kubra juz 1 halaman 140).

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Berlepas Diri dari Orang yang Mengkafirkan Orang yang Bertawassul

Demikian juga diterangkan dalam kitab Mafahim Yajib An Tushahhah halaman 149, bahwa  Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab (pendiri faham Wahhabi) memperbolehkan bertawassul dengan menghukumi makruh, Perbuatan mahruh itu jelas bukan haram, apalagi untuk dikatakan bid’ah atau syirik (menyekutukan Allah). Sehingga dalam halaman 150, Syekh Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani mencantumkan pendapat Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab tentang berlepas dirinya dari orang-orang yang mengkafirkan orang yang bertawassul, yaitu :

وَقَدْ جَاءَ عن الشَّيْخِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْوَهَّابِ فِي رِسَالَتِهِ الْمُوَجَّهَةِ لِأَهْلِ الْقُصَيْمِ الاسْتِنْكَارَ الشَّدِيدَ عَلَى مَنْ نَسَبَ إِلَيْهِ تَكْفِيرَ الْمُتَوَسِّلِ بِالصَّالِحِينَ وَقَالَ إِنَّ سُلَيْمَانَ بْنَ سُحَيْمٍ افْتَرَى عَلَيَّ أُمُورًا لَمْ أَقُلْهَا وَلَمْ يَأْتِ أَكْثَرُهَا عَلَى بَالِي فَمِنْهَا أَنِّي أَكْفُرُ مَنْ تَوَسَّلَ بِالصَّالِحِينَ وَأَنِّي أَكْفُرُ الْبُوصِيرِيَّ لِقَوْلِهِ يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ وَأَنِّي أَحْرُقُ دَلَائِلَ الْخَيْرَاتِ.
 وَجَوَابِي عَنْ هذِهِ الْمَسَائِلَ أَنْ أَقُولَ سُبْحَانَكَ هذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ وَجَاءَ أَيْضًا تَأْيِيدُ قَوْلِهِ هذَا فِي رِسَالَةٍ أُخْرَى لَهُ بَعَثَهَا إِلَى أَهْلِ الْمَعْجَمَةِ يَقُولُ فِيهَا إِذَا تَبَيَّنَ هذَا فَالْمَسَائِلُ الَّتِي شَنَعَ بِهَا مِنْهَا مَا هُوَ مِنَ الْبُهْتَانِ الظَّاهِرِ وَهُوَ قَوْلُهُ أ أَنِّي أَكْفُرُ مَنْ تَوَسَّلَ بِالصَّالِحِينَ وَأَنِّي أَكْفُرُ الْبُوصِيرِيَّ إِلَى آخِرِ مَا قَالَ ثُمَّ قَالَ وَجَوَابِي فِيهَا أَنْ أَقُولَ سُبْحَانَكَ هذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ
            “Dalam risalah yang ditunjukkan kepada mereka yang suka memecah-belah, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab sangat mengingkari orang yang menuduh mengkafirkan orang-orang yang bertawassul (kepada Allah) dengan kemuliaan orang-orang shaleh. Ia pernah mengatakan : Sulaiman bin Sahim sungguh telah berdusta kepadaku dan menuduhku dengan macam-macam yang sebetulnya tidak aku lakukan, bahwa tidak pernah terbetik dalam hati. Di antara tuduhannya bahwa aku mengkafirkan orang-orang yang bertawassul, mengkafirkan Al-Bushiri (Pengarang syair Qashidah Burdah) yang mengatakan : Wahai makhluk yang paling mulia. Dan bahwa aku telah membakar kitab Dalail Al-Khairat (cara-cara mendapatkan kebaikan).

            Dan jawaban atas semua itu, aku hanya berkata : Maha Suci Engkau ya Allah, ini adalah dusta yang sangat besar. Dan untuk menguatkan pernyataan itu, pada kesempatan lain, beliau (Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab) membuat tulisan yang ditujukan kepada peserta suatu perkumpulan : Jika hal itu telah jelas, maka masalah-masalah yang sangat jelek itu ada yang betul-betul dusta, seperti tuduhan bahwa aku mengkafirkan orang yang bertawassul kepada Allah swt, dengan perantaraan/kemuliaan orang-orang shaleh, bahwa aku mengkafirkan Al-Bushiri, dan lain-lain. Untuk itu semua, aku menjawab : Maha Suci Engkau ya Allah, ini adalah dusta yang sangat besar. (Tentang bantahan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab itu, dapat dilihat pada risalah pertama dan kesebelas dari risalah-risalah yang ditulis beliau pada bagian lima halaman 12 dan 64).

            Lalu bagaimana dengan keadaan sekarang, banyak pengikut Syekh Ibnu Taimiyah dan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab (pendiri faham Wahhabi) mengatakan bahwa perbuatan tawassul itu bid’ah, haram dan yang melakukan adalah kafir, musyrik, dan perkataan-perkataan lainnya. Padahal kita tahu sendiri pendapat para imam mereka yang memperbolehkannya. Jadi bagi kita yang biasa bertawassul tentunya tidak usah malu apalagi takut untuk melakukannya, karena itu semua ada dalil dan hujah yang dapat dipercaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar