Jumat, 21 Agustus 2015

keistimewaan dan manfaat dzikir




Salah satu keistimewaan dzikir ialah ia bisa dilakukan kapan saja. Tidak seperti ibadah-ibadah yang lain yang masih terikat dengan ketetapan waktu, tempat dan lain-lain.   Demikian kata Ibnu Abbas. 

     Ibnu Abbas ketika menafsiri QS al-Ankabut ayat 45 yang artinya:

“Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. 29 Al 'Ankabuut 45)  mengatakan, makna ayat ini ada dua: pertama, bahwa ingatnya Allah (dzikrullah) kepada kalian lebih agung daripada ingatnya kalian kepada-Nya; kedua, bahwa ibadah dzikir adalah ibadah yang paling agung dibanding ibadah yang lain.

      Dzikir juga merupakan sarana untuk mengetahui seberapa dekat hubungan hamba dengan Allah. “Aku tahu kapan Allah ingat kepadaku?” kata Abu Muhammad Tsabit bin Aslam al-Bannani (w. 127 H). Mendengar pernyataan itu orang-orang terkejut, “Bagaimana Anda bisa mengetahui?” Al-Bannani menjawab, “Apabila aku mengingat-Nya maka Dia pun mengingatku”. Demikian petikan dialog yang diungkapkan al-Bannani ketika menafsiri QS al-Baqarah ayat 152 yang artinya: Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu meng-ingkari (nikmat)-Ku. (Q.S. 2 Al Baqarah 152)

      Dzikir bagi para sufi adalah merupakan sesuatu yang sangat penting. Ia adalah tonggak kokoh yang menopang perjalanan spiritual yang mereka tempuh. Abu Ali ad-Daqqaq (w. 349 H.) mengatakan, “Dzikir adalah tonggak kokoh dalam menempuh jalan Allah”. Dzikir adalah sarana yang dapat mengantarkan ke Hadirat Allah dengan cepat. Ali al-Marshafi mengatakan, “Seorang salik yang menempuh suluknya lewat dzikir bagaikan burung yang terbang dengan cepat menuju Hadirat Tuhan, sedangkan salik yang menempuh suluknya tidak lewat dzikir bagaikan orang lumpuh yang kadang berjalan merangkak dan kadang diam tidak berjalan, padahal perjalanan yang akan ditempuh masih sangat jauh. Kemungkinan besar selama hidupnya dia tidak dapat men-capai tujuannya”. Seseorang yang selalu berdzikir maka itu adalah menjadi salah satu tanda bahwa dia adalah menjadi wali (kekasih) Allah.

      Sedemikian besarkah keistimewaan dzikir sehingga mengungguli ibadah-ibadah yang lain? Padahal dzikir adalah ibadah yang sangat mudah dilakukan. Lalu di mana letak kelebihannya? Maka, perlu dijelaskan bahwa dzikir akan memiliki kelebihan daripada iba-dah yang lain jika memang dzikir dilakukan dengan hati yang hudhûr (hati hadir bersama Allah). Bahkan bukan hanya dzikir, semua ibadah akan berpengaruh pada diri pelaku bila dilakukan dengan hati yang hudhûr.

      Akan tetapi tidak mudah mendapatkan hudhûr dalam dzikir. Diperlukan latihan dan pemaksaan sehingga hudhûr bisa diraih. Dan, kesulitan meraih hudhûr dalam dzikir bukanlah lantas menjadi penghalang untuk tidak berdzikir. Imam al-Ghazali (w.505 H.) dalam Ihyâ’ Ulûmiddîn, al-Habib Abdullah al-Hadad (w. 1132 H.) dalam an-Nafâis al-Ulwiyah fi Masâil as-Shûfiyah dan Imam Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari (w. 709 H./1309 M.) dalam al-Hikam, mempunyai pandangan yang sama mengenai hudhûr yang dipaksakan pada saat berdzikir. Dzikir memang mempunyai keistimewaan yang lebih daripada ibadah yang lain jika dilakukan dengan hati yang hudhûr. Namun, meninggalkan dzikir karena tidak hudhûr, hal itu merupakan kesalahan fatal. Sebab berdzikir meskipun dengan hati yang lupa masih lebih baik daripada tidak berdzikir sama sekali. 

     Ada seseorang yang mengeluh tentang dzikirnya yang tidak pernah hudhûr. Lalu dia berkonsultasi kepada Abu Hafs an-Naisaburi (w. 170 H.), “Aku selalu berdzikir kepada Allah, tetapi tidak pernah dapat hudhûr”. Abu Hafs menjawab, “Bersyu-kurlah kepada Allah yang telah menghias salah satu anggota tubuhmu dengan dzikir kepada-Nya”.

      Diperlukan pemaksaan dan pembiasaan agar dapat berdzikir dengan hati yang hudhûr. Perbuatan baik, apapun bentuknya, seringkali memang harus dipak-sakan dan dibiasakan. Kebiasaan dapat membangun karakter seseorang. Kebiasaan adalah watak kedua.

      Salah satu cara untuk mendatangkan hudhûr dalam ibadah ialah meneliti hal-hal yang mengganggu. Ada dua hal yang dapat mengganggu ketenangan ibadah: pertama, gangguan yang masuk melalui pancaindera, maka cara penanggulangannya dengan ber-khalwat. Kedua, bisikan-bisikan hati dan rasa waswas, penanggulangannya ialah dengan tidak menghiraukannya. (Ithâf as-Sâil bi Jawâb al-Masâil, karya Habib Abdullah al-Haddad, 36)

      Selanjutnya, setelah menjadi terbiasa berdzikir, maka sedikit demi sedikit, ia akan terangkat dari berdzikir dengan hati yang lalai menuju berdzikir dengan hati yang yaqazhah (sadar bahwa sedang berdzikir), lalu meningkat lagi dengan hati yang hudhûr (hati hadir bersama Allah), lalu meningkat lagi ke ghaibah (sirna dari selain-Nya). Setelah itu pada tataran yang lebih tinggi lagi, berdzikir telah menjadi gerak spontanitas. Tanpa sadar, hati dan seluruh tubuhnya selalu berdzikir. 

      Dzikir memang tidak hanya berupa wiridan, tapi semua perbuatan taat juga adalah dzikir. Bertafakkur, berdiskusi tentang ilmu agama juga dzikir. Semuanya itu bernilai ibadah. Namun, yang dimaksud di sini ialah aktivitas dzikir yang sesungguhnya, yakni menggerakkan lisan dan hati dengan melafalkan asma-asma Allah baik dengan kalimat tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan lain-lain. Semua kalimat tersebut adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Akan tetapi para sufi lebih menganjurkan memper-banyak dzikir dengan kalimat tauhid, Lâilâhaillâh. Hal itu karena kalimat tauhid adalah dzikir paling utama dan paling dekat kepada terbuka dan bersinarnya hati dengan Nur Allah. Kalimat tauhid juga mengandung semua makna dalam kalimat dzikir yang lain seperti tasbih, tahmid dll.

    Dalam tarekat, dzikir merupakan kegiatan wajib, dan masing-ma-sing Tarekat memiliki ketentuan dan adab yang berbeda-beda. Salah satu ketentuan pokok adalah keberadaan syaikh (guru) pembimbing. Ini dianggap pokok, sebab seorang murid tidak mungkin dapat menempuh suluk-nya sendiri.

      Berdzikir juga dianjurkan dilakukan dengan berjamaah. Sebab kekuatan pengaruh dzikir pada hati akan lebih kuat jika dilakukan secara jamaah. Imam al-Ghazali menggambarkan dzikir yang dilakukan dengan sendirian diban-ding dengan dzikir secara jamaah sama dengan adzan yang dikumandangkan oleh orang akan shalat sendirian dan adzan yang dikumandangkan untuk shalat jamaah. Dalam dunia dzikir, hati ibarat sebuah batu yang sangat sulit jika dipecah hanya oleh satu orang, batu itu lebih mudah dan cepat jika dipecah beramai-ramai.

      Adab yang lain ialah ketika selesai berdzikir hendaknya diam sejenak dan tidak minum. Sebab dzikir membakar karat-karat dalam hati sehingga jika langsung minum, tentu akan menghambat proses pembakaran tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar