Minggu, 09 Agustus 2015

Boleh pamer asal tidak riya'




       Imam Hasan pernah dawuh “Banyak sekali orang muslim yang telah memahami bahwa melakukan ritual agama (ibadah) dengan sembunyi-sembunyi itu lebih dapat menjaga diri dari ancaman unjuk gigi (riya’)”. Namun yang perlu juga diperhatikan adalah melakukan ibadah dengan terang-terangan dan dilihat oleh orang lain itu juga memiliki banyak faidah.
      Bahkan Allah sendiri di dalam Al Qur’an dalam surat Al Baqoroh ayat ke-271 sangat memuji amal ibadah seorang hamba tanpa memandang apakah itu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikan nya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah menge-tahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. 2 Al Baqarah 271)
      Memang, melakukan ibadah dengan sembunyi-sembunyi itu bisa lebih menjamin menjadikan seseorang ikhlas. Akan tetapi memperlihatkan ibadah dengan terang-terangan itu juga sangat dianjurkan. Dengan catatan hendaknya semua itu dilakukan dengan tujuan supaya ditiru oleh orang lain dan dapat memotivasi mereka untuk melakukannya serta selalu menghindari bahaya riya’ yang selalu mengancam. Ada dua bentuk amal ibadah yang dilakukan dengan terang-terangan, yaitu dalam hal esensi ibadahnya dan akherat serta dengan cara menceritakan apa yang telah dilakukan.
      Bagian pertama, menampakkan esensi amal ibadah seperti bershodaqoh di hadapan orang banyak dengan tujuan untuk mempengaruhi orang lain supaya ikutan senang melakukannya. Pernah suatu ketika pada masanya Rosulullah, datanglah seorang Al Anshari dengan membawa sekarung makanan sehingga orang lain yang melihatnya ikut juga melakukan shodaqah. Melihat kejadian itu lantas Rosulullah bersabda yang artinya, “Barangsiapa (berinisiatif) melaku-kan ibadah kemudian ada orang lain yang menirunya, maka baginya paha-la yang dilakukannya serta pahala orang lain yang menirunya”. Dan demikian pula semua bentuk amal ibadah seperti sholat, puasa, haji, perang (jihad), dan lain sebagainya.
      Bahkan untuk ibadah yang mau tidak mau harus dilakukan dengan terang-terangan seperti haji, jihad, dan sholat Jum’at, maka hal yang lebih dianjurkan (afdlol) di samping harus ditampakkan adalah melakukannya dengan penuh semangat (trengginas) dan cepat-cepat. Bahkan seorang yang melakukan sholat tahajjud terkadang juga diperbolehkan membaca bacaan dengan keras dengan tujuan agar tetangganya terbangun lantas ikutan melakukan sholat. Namun sekali lagi semua itu harus steril dari riya’. Dan tidak membuat tetangganya tersing-gung atau terganggu.
    Sedangkan untuk amal ibadah yang masih dimungkinkan untuk dilakukan dengan rahasia seperti shodaqoh, sholat, maka jika melakukan ibadah tersebut dengan terang-terangan itu bisa mengganggu orang lain, seperti menyinggung perasaan yang dishoda-qohi, mengganggu ketenangan dan tidur mereka, maka melakukan hal tersebut hukumnya haram. Namun kalau itu tidak sampai menyakiti orang lain, maka dalam hal ini kalangan ulama’ mengalami perbeda-an pendapat.
     Sebagian ulama’ bilang bahwa bagaimanapun juga melakukan amal ibadah dengan rahasia itu lebih utama dari pada dilakukan dengan terang-terangan. Dan sebagian yang lain ada yang bilang bahwa melakukan ibadah dengan terang-terangan itu lebih baik dengan catatan adanya jaminan diikuti oleh orang lain.
      Pada prinsipnya apa yang diperdebatkan kalangan ulama’ dalam konteks permasalahan ini mengarah pada satu hal. Yakni tidak ada perbedaan yang mencolok antara melakukan ibadah dengan rahasia atau terang-terangan. Asalkan kese-muanya dilakukan dengan ikhlas dan tidak tercampuri riya’. Di dalam Al Qur’an sendiri Allah secara langsung memerintahkan para nabi-Nya untuk melakukan ibadah dengan terang-terangan agar ditiru oleh kaumnya. Namun kalau sampai terjangkiti riya’ maka ulama’ semua sudah sepakat bahwa beramal dengan rahasia itu akan lebih baik.
    Untuk itu ada dua hal penting yang harus dilakukan oleh seseorang yang ingin melakukan amal dengan terang-terangan. Yang pertama, harus memiliki keyakinan atau asumsi yang kuat kalau perbuatan tersebut akan diikuti orang lain. Karena tidak jarang orang yang beribadah kemudian diikuti oleh keluarganya namun tidak oleh tetangganya. Banyak juga yang diikuti tetangganya namun tidak tiru oleh rekan kerjanya. Atau juga terkadang relasinnya ikut melakukan ibadahnya akan tetapi masyarakat umum masih enggan mengikuti
   Seorang yang benar-benar mengerti dan ‘alim bukanlah orang seperti itu. Akan tetapi merekalah orang-orang yang amal ibadahnya ditiru oleh kalangan masyarakat luas. Dan orang yang tidak memiliki karakter yang demikian maka akan rentan sekali dia melakukan riya’ dan kemunafikan ibadah. Dan sebaliknya dia akan menjadi bahan cacian orang lain serta akan dikucilkan dari lingkungannya. Sah sah saja orang yang ingin menampakkan amal ibadahnya dengan niatan ingin ditiru orang lain. Namun semua itu harus dengan ketentuan bahwa dirinya memang memiliki pengaruh dan menjadi figur masyarakat yang layak diikuti. Di samping itu masyarakat tempat tinggalnya adalah orang-orang yang mudah untuk mengikuti atasannya.
     Yang kedua, dirinya harus selalu mengkoreksi dan mengawasi hatinya jangan sampai terbawa arus riya’. Karena bisa jadi semula dia melaku-kan hal tersebut dengan tujuan supaya ditiru orang lain namun pada akhirnya dia bisa dipengaruhi riya’ yang selalu menggodanya. Dan hanya orang-orang yang memiliki kekuatan ikhlaslah yang sanggup mengawal hatinya. Dan orang yang demikian ini sangatlah jarang sekali.
     Sehingga jangan sekali-kali orang yang tidak memiliki keikhlasan yang kuat mencoba melakukan hal ini. Karena itu tidak ubahnya seperti orang yang sedang tenggelam dite-ngah lautan bersama-sama dengan orang baik. Sebenarnya kemampuan renangnya sangat payah. Namun dia sok jago ingin menyelamatkan orang lain. Maka jangankan bisa menyela-matkan mereka. Untuk menepikan dirinya sendiri ke darat dia tidak akan bisa melakukannya. Dan akibat-nya mereka akan mati bersama-sama.
     Bahkan seorang ulama’ dan ahli ibadah pun terkadang masih terjebak dalam masalah ini. Mereka berlagak seperti orang yang kuat. Sehingga dia selalu unjuk gigi atas amal ibadahnya. Namun sayang hati mereka masih belum kuat menjaga keikhlasan. Sehingga amal ibadahnya akan mu-dah hangus terbakar api riya’.
     Bagian kedua, yaitu dengan cara menceritakan amal ibadah yang telah dilakukan. Hal ini juga pada dasarnya sama dengan melakukan ibadah itu dengan terang-terangan. Bahkan de-ngan cara ini resiko terjangkiti riya’ lebih besar dari bagian yang pertama. Karena secara materi dan fisik cara seperti ini lebih murah dan tanpa mengeluarkan keringat sama sekali. Lagi pula kalau bercerita akan lebih mudah untuk menamba-nambah perbuatan yang tidak dikerjakan. 
     Sejujurnya ini bukanlah hal yang mudah dilakukan. Sangat jarang sekali orang yang mampu menang-gungnya. Karena pada realitasnya mayoritas watak dan karakter manusia itu sangat benci cacian dan suka pujian. Ketika seseorang dicaci, dia akan merasa punya kekurangan, dan ketika dia puji maka dia akan merasa punya banyak kelebihan. Padahal tidak jarang pula cacian yang pada hakekatnya adalah merupakan pujian. Yaitu ketika itu dilakukan oleh seorang yang waskitho kepada Allah. Karena mereka adalah saksi-saksi Allah. Cacian mereka berarti pula cacian Allah swt. dari kekurangannya dalam masalah agama. Kesusahan yang dibenci agama adalah bila itu timbul akibat dirinya tidak mendapatkan pujian dari orang lain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar