BANTAHAN KAUM
PENGINGKAR DAN JAWABANNYA
Kita sayangkan,
golongan pengingkar berwatak keras kepala, dan merasa paling benar sendiri, paling suci dan paling memahami syari’at
Islam. Sayang sekali masih ada kelompok muslimin yang terpengaruh dan mengikuti ajaran-ajaran golongan ini. Semoga
kita semua diberi hidayah oleh Allah swt. sehingga bisa menjalani agama
Islam yang benar. Amin.
Walaupun runtutan dalil tabarruk
sebelumnya sudah mampu menjawab beberapa problem yang dilontarkan oleh
golongan pengingkar,
namun kali ini, kita akan mengkonsentrasikan secara khusus dalam menjawab
beberapa isu pengikut faham Wahabi yang digunakan untuk pengkafiran (menuduh
kaum muslim sebagai pelaku syirik dan bid’ah) kaum muslimin.
Untuk mempersingkat, kita akan ambil beberapa masalah
(dibawah ini) yang sering
mereka ungkapkan dengan menengok dari karya salah seorang misionaris madzhab
Wahabi yang bernama Ali bin Nafi’ Al-Ilyani dalam kitabbya At-Tabarruk Al-Masyru’
1. Dalam kitab At-Tabarruk Al-Masyru’ halaman
53
“Kondisi
kaum Jahiliyah dahulu, sebagaimana yang dimiliki kebanyakan manusia, mereka menginginkan mendapat
tambahan harta dan anggota kabilah, atau hal-hal lain yang berkaitan dengan
keduniawian. Dengan begitu melalui permintaan berkah (tambahan) terhadap
berhala-berhala yang mereka sembah, dengan
mengharap tambahan kebaikan yang berlebih. Mereka meyakini bahwa
patung-patung itu adalah para pemberi berkah. Anehnya, walau orang yang
meyakini bahwa berkah itu datangnya dari Allah pun masih meyakini bahwa
patung-patung itu adalah sarana yang mampu menentramkan dan penghubung antara
mereka dengan Allah. Untuk merealisasikan
yang mereka inginkan, akhirnya mereka mengambil berhala itu sebagai
sarana. Hal ini sesuai dengan ayat: “….…kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya…” (Q.S. 39 Az-Zumar 3) dari sini jelas sekali
bahwa, tabarruk (mengharap berkah) selain
dari Allah adalah perwujudan dari ajaran kaum musyrik zaman Jahiliyah.
Jawabannya:
Selain telah kita singgung dalam kajian terdahulu bahwa,
beberapa Nabi Allah yang
mengajak umat manusia kepada ajaran tauhid ternyata juga melakukan pengambilan
berkah. Begitu juga ternyata Nabi kita (Muhammad saw), yang sebagai penghulu
para Nabi dan Rasul bahkan paling mulianya makhluk Allah yang pernah Dia
ciptakan pun telah membiarkan orang mengambil berkah darinya. Jika mencari
berkah (tabarruk) adalah haram (karena
syirik) maka tentunya para Nabi di setiap zaman adalah orang pertama yang menjauhinya, bahkan melarang orang
lain. Namun kenapa justru mereka malah melakukannya? Lagi pula, apa yang diisukan
oleh kelompok Wahabi di atas tadi, selain tidak sesuai dengan Al-Qur’an, Hadits
dan bukti sejarah dari Salaf Sholeh hingga para imam madzhab, juga jauh dari
logika pemahaman ayat itu (Q.S. 39 Az-Zumar 3) sendiri. Beberapa alasan berikut
ini:
Pertama: Semua orang tahu bahwa setiap prilaku pertama kali
dinilai oleh Islam dilihat dari niatnya. Dengan kata lain, hal
primer dalam menentukan esensi baik-buruk sebuah perbuatan kembali
kepada niat. Bukankah Rasulullah saw. pernah menyatakan:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوٰى
"Semua perbuatan
tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; (H.R. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 5036). Tentu, niat seorang musyrik dengan niat seorang
muslim akan berbeda dan tidak bisa disamakan.
Kedua: Dalam ayat itu (Q.S. 39 Az-Zumar 3))
disebutkan: “kami tidak menyembah mereka melainkan…...” di situ terdapat
kata “Menyembah” yang meniscayakan
bahwa kaum musyrik Jahiliyah meyakini ’sifat ketuhanan’
buat obyek (patung-patung) yang dimintainya berkah, selain Allah. Mereka telah menyembah patung itu dan
menyekutukan Allah dalam masalah penyembahan. Dan tentu essensi
penyembahan adalah meyakini ‘sifat ketuhanan’ yang disembahnya. Tanpa
keyakinan itu (sifat ketuhanan), mustahil mereka menyebut kata ‘sembah’.
Bahkan kata ‘sujud’
pun belum tentu berarti penyembahan kalau tidak meyakini yang disujudi itu
punya sifat ketuhanan. Sekedar sujud di depan sesuatu tidak serta merta masuk
kategori menyembah. Bukankah dalam Al-Qur’an
disebutkan bahwa Allah telah memerintahkan para malaikat dan Iblis untuk
bersujud di hadapan nabi Adam?
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰئِكَةِ اسْجُدُوْا لِآدَمَ فَسَجَدُوْا إِلاَّ إِبْلِيْسَ أَبٰى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِيْنَ
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para
malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali
Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang
kafir.(Q.S. 2 Al Baqarah 34)
Kesalahan fatal iblis
di sini adalah ia hanya menghormati Allah, tapi tidak mau menghormati makhluk
(sesuatu) yang dimulyakan Allah, meskipun itu
perintah langsung dari Allah. Sehingga iblis tergelincir kepada sifat
kesombongan, karena ia menganggap tidak ada kemulyaan pada makhluk (Nabi Adam), apalagi melebihi kemulyaan dia (iblis)
sendiri.
Bukankah saudara
Nabi Yusuf sujud kepada Nabi Yusuf?
وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّواْ لَهُ سُجَّداً وَقَالَ يَا أَبَتِ هٰذَا تَأْوِيْلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ
Dan ia menaikkan kedua ibu-bapaknya ke atas
singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf.
Dan berkata Yusuf: "Wahai ayahku inilah takbir mimpiku yang dahulu itu.
(Q.S. 12 Yusuf 100)
Ini yang
membedakan antara prilaku kaum musyrik dengan kaum muslimin, dalam pengambilan
berkah. Ini merupakan hal yang bersifat esensial sekali dalam prilaku
peribadatan. Kaum muslimin selain tidak meyakini
kepemilikan sifat ketuhanan selain Allah, sehingga obyek selain Allah
memiliki kelayakan untuk di sembah, juga meyakini bahwa semua yang ada di alam
semesta ini berasal dari kehendak Allah, karena hanya Dia Yang Maha kuasa lagi
sempurna, dan yang layak disembah.
Ketiga: Dari surat Az-Zumar ayat 3
tadi, Allah swt. tidak menyatakan; “kami tidak mengambil berkah mereka melainkan……” tapi
dikatakan; “kami tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka mendekatkan kami
kepada Allah denga sedekat-dekatnya …” sebagai penguat dari alasan kedua tadi. Dikarenakan kaum musyrik
zaman Jahiliyah tidak meyakini adanya hari akhir (kebangkitan) seperti
disebutkan dalam Al-Qur’an :
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلاً وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِى الْعِظَامَ
وَهِيَ رَمِيْمٌ. قُلْ يُحْيِيْهَا الَّذِي أَنشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ
بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيْمٌ
Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat
menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?" Katakanlah:
"Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan
Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk, (Q.S. 36 Yaa siin 78-79)
Dan orang musyrik itu berbohong dalam pengakuannya ingin mendekatkan
diri kepada Allah sedekat-dekatnya dengan cara menyembah berhala, dengan bukti mereka tidak pernah mau
ketika diajak menyembah dan bersujud kepada Allah. Al-Qur’an menegaskan
:
وَإِذَا قِيْلَ لَهُمُ اسْجُدُوْا لِلرَّحْمٰنِ قَالُوْا وَمَا الرَّحْمٰنُ
أَنَسْجُدُ لِمَا تَأْمُرُنَا وَزَادَهُمْ نُفُوْراً
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Sujudlah
kamu sekalian kepada Yang Maha
Penyayang", mereka menjawab: "Siapakah yang Maha Penyayang
itu? Apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami (bersujud
kepada-Nya)?", dan (perintah sujud itu) menambah mereka jauh (dari
iman).(Q.S. 25 Al Furqaan 60)
Bahkan
lebih dari itu, orang-orang musyrik itu tidak segan-segan mencaci maki Allah, apabila kaum Muslimin mencoba
mencaci maki berhala-berhala yang
terbuat dari batu yang mereka sembah. Karenanya, klaim mereka ingin mendekatkan diri kepada Allah adalah kebohongan
belaka. Dalam Al-Qur’an ditegaskan :
وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّواْ اللهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ ....
Dan janganlah kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan…. (Q.S. 6 Al An'aam 108)
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa orang-orang musyrik
itu tidak mengakui adanya hari kebangkitan di hari kiamat
kelak, tidak mau bersujud kepada
Allah dan mengakui adanya Tuhan selain Allah. Mereka meyakini bahwa patung-patung itu juga memiliki kekuatan
secara independent. sehingga muncul di benak
mereka untuk meyakini bahwa berhala itu juga mampu menjauhkan segala
mara bahaya dari mereka dan memberikan manfaat kepada mereka. Sedangkan
orang-orang yang bertawassul, beristighatsah
dan bertabarruk dengan para Nabi, wali atau benda-benda yang dimulyakan oleh Allah, tidak sama dengah
orang-orang musyrik, karena semua
itu di anggap makhluk dan tidak mempunyai daya upaya kecuali dengan idzin dan kehendak Allah swt. termasuk pemberian berkah.
Karena Allah swt.sumber segala yang ada di alam semesta ini.
2. Dalam kitab At-Tabarruk
Al-Masyru’ halaman 68 - 69
Golongan
Wahabi/Salafi (pengingkar) mengatakan: Legalitas tabarruk dari tempat-tempat atau benda-benda yang dianggap
mulia bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan dalam Sahih Bukhari
yang dinyatakan oleh ‘Itban bin Malik yaitu: Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin 'Ufair berkata, telah menceritakan kepadaku Al-aits
berkata, telah menceritakan kepadaku 'Uqail dari Ibnu Syihab berkata,
telah menceritakan kapadaku Mahmud bin Ar Rabi' Al Anshari bahwa 'Itban bin
Malik seorang sahabat Rasulullah saw yang pernah ikut perang Badar dari
kalangan Anshar, dia pernah menemui
Rasulullah saw dan berkata: "Wahai Rasulullah, pandanganku
sudah buruk sedang aku sering memimpin shalat kaumku. Apabila turun hujun, maka
air menggenangi lembah yang ada antara aku dan mereka sehingga aku tidak bisa
pergi ke masjid untuk memimpin shalat. Aku menginginkan Tuan dapat mengunjungi
aku lalu shalat di rumahku yang akan aku jadikan sebagai tempat shalat."
Mahmud berkata, "Kemudian Rasulullah saw bersabda kepadanya: "Aku
akan lakukan insya Allah." 'Itban berkata, "Maka berangkatlah
Rasulullah saw dan Abu Bakar ketika siang hari, beliau lalu meminta izin lalu
aku mengizinkannya, dan beliau tidak duduk hingga beliau masuk ke dalam rumah.
Kemudian beliau bersabda: "Mana tempat di rumahmu yang kau sukai untuk
aku pimpin shalat." Maka aku tunjukkan tempat di sisi rumah. Nabi saw
lalu berdiri dan takbir. Sementara kami
berdiri membuat shaf di belakang beliau, beliau shalat dua rakaat
kemudian salam. (H.R. Bukhari no. 425)
Ali
bin Nafi’ Al-Ilyani dalam kitabbya At-Tabarruk
Al-Masyru’ berargumen dengan hadits
Itban bin Malik yang disinyalir dalam kitab shohih Bukhari di atas untuk
menetapkan ‘pengharaman tabarruk pada tempat dan benda’. Dalam kitabnya ini
dia menyatakan: “Hadits di atas tidak membuktikan bahwa sahabat ‘Itban hendak mengambil berkah dari tempat
shalat Rasul. Namun ia ingin menetapkan anjuran Rasul untuk selalu melakukan shalat berjama’ah di rumahnya, ketika
tidak dapat mendatangi masjid karena
lembah digenangi air. Atas dasar itu ia menghendaki Rasul membuka (meresmikan) masjid di rumahnya. Dan oleh
karenanya, Bukhari memberikan bab pada kitabnya dengan; “Bab Masjid di
Rumah” (Bab Al-Masajid Fil Buyuut). Sebagaimana Barra’ bin ‘Azib melakukan
shalat di masjid yang berada di dalam rumahnya secara berjama’ah. Ini termasuk
hukum fikih beliau. Dari semua itu memberikan pemahaman bahwa Rasul mengajarkan
(sunnah) shalat berjama’ah di rumah dikala memiliki hajat. Sebagaimana Rasul tidak pernah menegur sahabat Barra’ bin ‘Azib
sewaktu melakukan shalat berjama’ah di masjid rumahnya. Padahal itu semua terjadi pada zaman pensyariatan (tasyri’)
Islam. Dan mungkin saja maksud dari sahabat ‘Itban tadi adalah untuk
mengetahui dengan pasti arah kiblat, karena
Rasulullah tidak mungkin menunjukkan arah yang salah”.
Jawabannya:
Itu
adalah kemungkinan interpretasi yang diberikan Al-Ilyani dari hadits di atas tadi. Untuk
mengkritisinya maka marilah kita perhatikan poin-poin di bawah ini:
Pertama: Tidak
diragukan lagi bahwa semangat sahabat ‘Itban untuk mendirikan shalat
jama’ah di rumah adalah ‘salah satu’ sebab, tetapi ‘bukan
satu-satunya’ sebab. Karena kita dapat melihat dengan jelas, bagaimana sahabat ‘Itban sangat menghendaki
tabarruk dari tempat shalat Rasulullah.
Dan Nabi pun mengetahui tujuan sahabatnya itu. Atas dasar itu, Rasulullah
langsung menanyakan tempat yang dikehendaki sahabatnya untuk dijadikan mushalla
di rumahnya. Jika isu sekte wahabi di atas itu benar maka selayaknya Nabi shalat di sembarang tempat, di rumah sahabatnya tadi, mungkin di ruang tamu, ruang
tengah, atau di tempat yang terdekat
dengan pintu masuk. Dan kenyataannya, Nabi menanyakan terlebih dahulu; “Dimana
engkau menginginkan aku melakukan shalat?”. Dengan kata lain, Rasulullah
tahu bahwa sahabatnya itu akan mengambil berkah dari tempat shalat beliau saw.
Jika apa yang dinyatakan oleh Al-Ilyani benar maka seharusnya Rasulullah saw.
langsung melakukan shalat di rumahnya, tanpa
menanyakan dengan redaksi dan model pertanyaan semacam itu.
Kedua: Kalaupun
apa yang dinyatakan Al-Ilyani benar bahwa tujuan sahabat ‘Itban tadi adalah ingin memastikan kebenaran arah kiblat karena
ia tidak dapat melihat dengan baik, dengan
cara mendatangkan Rasulullah saw.
kerumahnya, maka hal inipun sulit diterima. Dikarenakan untuk memperoleh arah
kiblat yang benar oleh ‘Itban yang penglihatannya lemah, bisa saja ia meminta tolong anggota
keluarga, sanak-famili ataupun melibatkan sahabat Rasulullah untuk
memberikan arahan yang sesuai arah kiblat
yang benar, bukan dengan memangil Rasulullah, apalagi dilanjutkan dengan
pelaksanaan shalat dua rakaat oleh
Rasulullah saw. Dan dikarenakan Rasulullah
hanya shalat dua rakaat (diwaktu siang sebagai mana teks hadits) maka
ini membuktikan bahwa shalat yang dilakukan Rasulullah adalah shalat sunah,
bukan shalat wajib. Oleh karenanya, jika Rasulullah
hanya berfungsi sebagai penunjuk arah kiblat yang benar, buat apa beliau
melakukan shalat sunah, cukup memberitahu dengan lisan dan tunjuk saja.
Ketiga: Perkiraan penulis
madzhab Wahabi tadi selain tidak sesuai dengan bukti-bukti (qarinah) yang ada, juga apa yang ia
perkirakan dan yang di pahaminya tidak lebih baik dari apa yang dipahami oleh
pribadi agung seperti Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam kitab Syarah Bukharinya juz
2 halaman 145. Allamah Ibnu Hajar Al-Asqolani berkaitan dengan hadits tadi
mengatakan:
(سَأَفْعَلُ إِنْ شَاءَ اللهُ) هُوَ هُنَا لِلتَّعْلِيْقِ
لَا لِمَحْضِ التَّبَرُّكِ ، كَذَا قِيْلَ وَيَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ لِلتَّبَرُّكِ
لِاحْتِمَالِ اِطِّلَاعَهُ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْوَحْيِ عَلَى الْجَزْمِ بِأَنَّ ذٰلِكَ سَيَقَعُ .
(Aku akan melakukan, Insya Allah) Perkataan insya
Allah di sini bukan sekedar untuk tabarruk
(mencari berkah), demikian dikatakan oleh sebagian ulama. Namun bisa
juga perbuatan itu hanya untuk tabarruk, karena ada kemungkinan Nabi saw
mengetahui melalui wahyu bahwa hal tersebut akan terjadi.
وَفِيْهِ
التَّبَرُّكِ بِالْمَوَاضِعِ الَّتِي صَلَّى فِيْهَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ وَطِئَهَا ، وَيُسْتَفَادُ مِنْهُ أَنَّ مَنْ دُعِيَ مِنَ
الصَّالِحِيْنَ لِيُتَبَرَّكِ بِهِ أَنَّهُ يُجِيْبُ إِذَا أَمِنَ الْفِتْنَةَ
Dan dalam hadits ini diperbolehkan tabarruk (mencari
berkah) pada tempat-tempat shalat Nabi saw,
atau tempat yang pernah dipijaknya. Orang-orang shaleh yang diundang untuk
diambil berkahnya harus memenuhi undangan itu selama tidak menimbulkan
fitnah.
وَفِيْهِ اِجْتِمَاعِ
أَهْلِ الْمَحَلَّةِ عَلَى الْإِمَامِ أَوِ الْعَالِمِ إِذَا وَرَدَ مَنْزِلُ بَعْضَهُمْ
لِيَسْتَفِيْدُوْا مِنْهُ وَيَتَبَرَّكُوْا بِهِ
Dan dalam hadits ini (juga)
berkumpul di hadapan imam apabila mendatangi rumah salah seorang di antara mereka, untuk
mengambil manfaat serta mendapatkan berkah darinya.
Maka
bagaimana menurut para pengikut Wahabi berkaitan dengan banyak riwayat lain yang berkaitan dengan para
sahabat seperti pada kasus yang dapat kita lihat diantaranya pada
riwayat-riwayat berikut ini:
حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ يَحْيٰى قَالَ قَرَأْتُ عَلىٰ مَالِكٍ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ عَبْدِ
اللهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ جَدَّتَهُ مُلَيْكَةَ
دَعَتْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِطَعَامٍ صَنَعَتْهُ فَأَكَلَ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ
قُوْمُوْا فَأُصَلِّيَ لَكُمْ قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ فَقُمْتُ إِلٰى حَصِيْرٍ لَنَا قَدِ اسْوَدَّ مِنْ
طُوْلِ مَا لُبِسَ فَنَضَحْتُهُ بِمَاءٍ فَقَامَ عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْتُ أَنَا
وَالْيَتِيْمُ وَرَاءَهُ وَالْعَجُوْزُ مِنْ وَرَائِنَا فَصَلَّى لَنَا رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ انْصَرَفَ
Telah menceritakan kepada kami
Yahya bin Yahya, katanya; aku pernah menyetorkan hapalan kepada Malik dari Ishaq bin Abdullah bin Abu Thalhah dari Anas bin Malik, bahwa neneknya
Mulaikah pernah mengundang Rasulullah saw karena hidangan yang aku buat.
Beliau pun memakannya, setelah itu beliau bersabda: Berdirilah kalian, aku akan
mengimami untuk kalian. Anas bin Malik berkata; Aku lalu berdiri menuju sebuah
tikar yang warnanya telah menghitam, karena sekian lama dipakai, lalu kuperciki dengan air, sementara Rasulullah saw
berdiri di atasnya. Aku lalu membuat
shaff bersama seorang anak yatim yang berada di belakang beliau dan
seorang wanita tua di belakang kami. Rasulullah saw kemudian shalat dua rakaat
mengimami kami, selanjutnya beliau beranjak pergi. (H.R. Muslim no. 1531)
أَخْبَرَنَا سَعِيْدُ
بْنُ يَحْيَى بْنِ سَعِيْدٍ الْأُمَوِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي قَالَ حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ سَعِيْدٍ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ سَأَلَتْ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَأْتِيَهَا فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهَا
فَتَتَّخِذَهُ مُصَلًّى فَأَتَاهَا فَعَمِدَتْ إِلٰى حَصِيْرٍ فَنَضَحَتْهُ
بِمَاءٍ فَصَلَّى عَلَيْهِ وَصَلَّوْا مَعَهُ
Telah mengabarkan kepada kami
Sa'id bin Yahya bin Sa'id Al-Umawi dia berkata; bapakku telah menceritakan
kepada kami, dia berkata; telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari
Ishaq bin Abdullah bin Abu Thalhah dari Anas bin Malik bahwasanya Ummu Sulaim
pernah meminta Rasulullah saw untuk datang
kepadanya dan shalat di rumahnya, maka
dia menyiapkan tempat shalat untuk Rasulullah saw. Lalu Rasulullah
datang kepada Ummu Sulaim, dan Ummu Sulaim segera menuju tikar, lalu
menyiramnya dengan air, maka beliau shalat di atasnya dan mereka (keluarga Ummu
Sulaim) shalat bersamanya. (H.R. Nasa’i no. 736)
حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ حَكِيْمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنِ ابْنِ عَوْنٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ
سِيْرِيْنَ عَنْ عَبْدِ الْحَمِيْدِ بْنِ الْمُنْذِرِ بْنِ الْجَارُوْدِ عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ صَنَعَ بَعْضُ عُمُوْمَتِي لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا فَقَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّيْ أُحِبُّ أَنْ تَأْكُلَ فِي بَيْتِي
وَتُصَلِّيَ فِيْهِ قَالَ فَأَتَاهُ وَفِي الْبَيْتِ فَحْلٌ مِنْ هٰذِهِ الْفُحُوْلِ فَأَمَرَ بِنَاحِيَةٍ مِنْهُ فَكُنِسَ وَرُشَّ فَصَلَّى وَصَلَّيْنَا
مَعَهُ قَالَ أَبُوْ عَبْدُ اللهِ بْنِ مَاجَةَ الْفَحْلُ هُوَ الْحَصِيْرُ
الَّذِي قَدِ اسْوَدَّ
Telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Hakim berkata, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Abu 'Adi dari Ibnu 'Aun dari Anas bin Sirin dari
Abdul Hamid bin Al-Mundzir bin Al-Jarud dari Anas bin Malik ia berkata;
Sebagian dari bibiku membuatkan makanan untuk Nabi saw, lalu ia berkata kepada Nabi saw; "Aku suka jika engkau makan dan
shalat di rumahku." Anas
berkata; "Kemudian beliau mendatanginya, sementara di rumah ada tikar, beliau memerintahkan memegang
bagian ujungnya agar di bersihkan dan diperciki air. Kemudian beliau
shalat dan kami shalat bersamanya." Abu Abdullah Ibnu Majah berkata;
"Al Fahlu adalah tikar yang sudah menghitam lusuh."
(H.R. Ibnu Majah no. 805)
حَدَّثَنَا الْمَكِّيُّ
بْنُ إِبْرَاهِيْمَ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيْدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ قَالَ كُنْتُ
آتِي مَعَ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ فَيُصَلِّي عِنْدَ الْأُسْطُوَانَةِ الَّتِي
عِنْدَ الْمُصْحَفِ فَقُلْتُ يَا أَبَا مُسْلِمٍ أَرَاكَ تَتَحَرَّى الصَّلَاةَ عِنْدَ هٰذِهِ الْأُسْطُوَانَةِ
قَالَ فَإِنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى الصَّلَاةَ عِنْدَهَا
Telah
menceritakan kepada kami Al-Makki bin Ibrahim berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Abu 'Ubaid
berkata, "Aku dan Salamah bin Al-Akwa' datang (ke Masjid), lalu dia
shalat menghadap tiang yang dekat dengan tempat mushhaf. Lalu aku tanyakan,
'Wahai Abu Muslim, kenapa aku lihat kamu
memilih tempat shalat dekat tiang ini? Dia menjawab, 'Sungguh aku melihat Nabi saw memilih untuk shalat
di situ'." (H.R. Bukhari no. 502)
Dari keempat
hadits ini cukuplah kita ketahui bahwa para sahabat Nabi saw berkeinginan untuk
bertabarruk dengan bekas tempat shalat Nabi.
Indikasinya adalah yang mengundang Nabi baik nenek Mulaikah, Umu Sulaim,
bibi Anas bin Malik, semuanya yang tentunya pengelihatannya masih kuat, apa juga bertujuan sama seperti sahabat
‘Itban yang pengelihatannya sudah lemah, untuk mengetahui dan memastikan
arah kiblat? Tentunya harus dijawab dengan jujur
oleh kaum pengingkar (wahabi).
Perbuatan-perbuatan
para sahabat mengenai tabarruk, tawassul pada waktu beliau saw. masih hidup
tidak ditegur atau dilarang oleh Nabi malah diridhai oleh beliau saw. Begitu
juga perbuatan para sahabat dan istri Nabi
saw. setelah wafatnya beliau saw. juga tidak ada sahabat lainnya yang mencela, mensyirikkan perbuatan mereka.
Demikian pula perbuatan antara para ulama yang telah kami kemukakan
Memang golongan
pengingkar ini tidak bisa membedakan antara tabarruk,
tawassul, ta’dzim dengan penyembahan atau pengkultusan. Dengan pengharaman, pensyirikan mereka tentang masalah
ini, seakan-akan mereka ini merasa
lebih pandai, taqwa dan lebih mengetahui syari’at Islam dibandingkan dengan Rasulullah saw, para kerabat,
para sahabatnya serta para ulama yang melakukan tawassul, tabarruk,
ta’dzim dan sebagainya.
Begitu
juga tidak ada terlintas dipikiran orang-orang muslimin bahwa mereka menyembah
Ka’bah, karena ruku’, sujud menghadap bangunan batu tersebut atau
menyembah hajar aswad karena mencium dan mengusap-usapnya atau meyembah kuburan karena berdiri khidmat dihadapan kuburan
atau mencium kuburan itu. Bila ada seorang muslim yang berkeyakinan bahwa dia
beribadah karena Ka’bah, Hajar Al-Aswad dan kuburan, maka akan hancurlah
keimanan dan ke Islamannya.
Jadi yang penting
semuanya disini adalah keyakinan atau niat dalam
hati, karena semua amal itu tergantung pada niatnya Apa salahnya bila
orang ingin mencium, mengusap kuburan Rasulullah saw. atau para ahli taqwa
lainnya, selama niat orang tersebut hanya sebagai ta’dzim, tabarruk bukan
sebagai penyembahan?
Memang
golongan pengingkar selalu mengarang-ngarang, menafsir, menyangka perbuatan seseorang seenaknya saja karena
tidak sepaham dengan pendapatnya, seakan-akan mereka
tahu niat didalam hati setiap orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar