ARTI BID’AH MENURUT SYARA’
Perlu
diketahui terlebih dahulu bahwa definisi bid’ah menurut syari’at Islam tidak
tersebut dalam hadits dan juga dalam Al-Qur’an. Yang membuat definisi atau ta’rif hanyalah ulama-ulama yang
ahli, oleh karena itu tidaklah heran
kalau terdapat perbedaan-perbedaan definisi dalam sesuatu masalah,
karena pendapat orang itu berbeda-beda.
Di bawah ini kami nukilkan beberapa pendapat para
ulama’ diantaranya adalah :
1. Syeikh Izzuddin bin Abdus Salam :
اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ
يُعْهَدْ فِى عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Bid’ah itu adalah suatu pekerjaan keagamaan yang
tidak dikenal pada zaman Rasulullah saw.”
2. Imam Jalaluddin Suyuthi :
أَصْلُ الْبِدْعَةِ مَا أُحْدِثَ عَلٰى
غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ، وَتُطْلَقُ فىِ الشَّرْعِ عَلٰى مَا يُقَابِلُ السُّنَّةَ
اَىْ مَالَمْ يَكُنْ فِى عَهْدِهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ تَنْقَسِمُ إِلىَ اْلأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ
“Maksud yang asal dari perkataan bid’ah ialah yang baru diadakan
tanpa contoh terlebih dahulu. Dalam istilah syari’at, bid’ah adalah lawan dari
sunnah, yaitu sesuatu yang belum ada pada zaman Nabi Muhammad saw.
kemudian hukum bid’ah terbagi kepada hukum lima”.
Imam Jalaluddin Suyuthi ini berpendapat bahwa hukum
bid’ah itu takluk kepada hukum fiqih yang lima, yaitu : Wajib,
sunah, mubah, makruh dan haram.
Pendapat pembagian bid’ah kepada hukum yang lima diperkuat oleh Syeikh Ibnu Hajar
Al-Asqalani, yaitu :
وَقَسَمَ بَعْضُ الْعُلَمآءِ الْبِدْعَةَ إِلىَ اْلأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ وَهُوَ وَاضِحٌ
“Dan
membagi sebagian ulama tentang bid’ah ini kepada hukum yang lima, ini terang
(ya begitu)”.
3. Syeikh Nabil Husaini :
وَقَدْ تَكَلَّمَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِى
الْمُحْدَثَاتِ الَّتِيْ قَسَّمُوْهَا الِىٰ قِسْمَيْنِ : بِدْعَةٌ
حَسَنَةٌ وَبِدْعَةٌ ضَلاَلَةٌ. فَأَمَّا الْبِدْعَةُ حَسَنَةُ فَهِيَ الْمُوَافَقُ لِكِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ
رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ
هِيَ
دَاخِلَةٌ تَحْتَ قَوْ لِهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ سَنَّ فىِ اْلإِسْلاَمِ
سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَ أَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ وَلاَ
يَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ، مَنْ سَنَّ فىِ اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً
سَيِّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ وَلاَ
يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ. رَوَهُ الْمُسْلِمٌ. وَلِلْحَدِيْثِ
الصَّحِيْحِ الْمَوْقُوْفِ وَهُوَ قَوْلُ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ : مَا
اسْتَحْسَنَهُ الْمُسْلِمُوْنَ فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا اسْتَقْبَحَهُ
الْمُسْلِمُوْنَ فَهُوَ عِنْدَ اللهِ قَبِيْحٌ. صَحَّحَهُ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ
فىِ الْأَماَلِي
“Para ahli ilmu telah membahas
persoalan ini kemudian membaginya menjadi dua bagian. Yakni bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Yang dimaksud
dengan bid’ah hasanah adalah pebuatan yang sesuai kepada kitab Allah swt. dan
sunnah Rasulullah saw Keberadaan bid’ah hasanah ini masuk dalam bingkai sabda Nabi saw : Barang siapa yang membuat sunnah
yang baik dalam agama Islam, maka dia akan mendapatkan pahala dari perbuatan tersebut serta pahala dari orang-orang
yang mengamalkannya setelah itu,
tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan barang siapa yang merintis sunnah jelek, maka
ia akan mendapatkan dosa dari perbuatan itu dan dosa-dosa orang sesudahnya yang meniru perbuatan tersebut,
tanpa sedikitpun mengurangi dosa-dosa mereka. Riwayat Imam Muslim. Dan juga berdasarkan hadits shahih yang mauquf,
yakni ucapan Abdullah bin Mas’ud :
Setiap sesuatu yang dianggap baik oleh semua muslim, maka perbuatan tersebut baik menurut Allah, dan semua
perkara yang dianggap buruk oleh orang-orang Islam, maka perbuatan
tersebut buruk menurut Allah. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Hafizh Ibn Hajar
dalam Al-Amali.
4. Menurut riwayat Abu Nu’im, Imam Syafi’i pernah berkata :
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ :
مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ، وَمَا
خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْدٌ
“Bid’ah itu dua macam, yaitu bid’ah terpuji dan bi’ah tercela.
Bid’ah terpuji ialah yang sesuai
dengan sunah Nabi dan bid’ah tercela ialah yang tidak sesui atau menentang
sunah Nabi”
Kita mungkin bertanya, mengapa Imam Syafi’i
berpendapat demikian, sedangkan Rasulullah saw telah bersabda:
مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ
وَمَنْ
يُّضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ إِنَّ اَصْدَقَ
الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ
هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُ مُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِى النَّارِ
“Barang siapa diberi hidayah oleh Allah, maka tiada yang dapat menyesatkannya. Dan barang siapa
disesatkan oleh Allah, maka tiada yang dapat memberi hidayah (petunjuk).
Sesungguhnya sebai-baik ucapan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk
perkara adalah muhdatsat (hal-hal baru), dan semua yang baru adalah bid’ah dan
semua bid’ah adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya adalah di neraka” (H.R. Nasa’i)
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ ، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : أَلَا وَإِيَّا كُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُ مُوْرِ فَإِنَّ كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٍ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Dari Abdullah bin Mas’ud, sesungguhnya Rasulullah saw. bersada
: Ingatlah dan berhati-hatilah
kalian terhadap muhdatsat (hal-hal baru), karena sesungguhnya semua yang baru
itu bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat”. (H.R. Abu Daud, Ahmad dan Ibnu Majah)
Hadits
di atas memang benar, tetapi kita tidak boleh tergesa-gesa memutuskan bahwa semua bid’ah sesat. Untuk dapat
memahaminya dengan benar, kita harus mengkaji semua hadits yang
berhubungan dengannya. Sehingga, kita tidak
terjerumus pada penafsiran yang salah. Di bawah ini akan kami coba
jelaskan makna dari hadits di atas,
PERTAMA
Untuk dapat memahami sebuah ayat dengan benar, kita harus mempelajari asbabul nuzul (sebab-sebab turunnya) Al-Qur’an pada
ayat tersebut dan juga bagaimana penafsiran para ulama tentang ayat itu. Begitu pula ketika kita hendak memahami sebuah
hadits, kita harus bertanya kepada para ulama. Sesungguhnya tidak semua
ayat atau hadits dapat diartikan secara langsung sesuai dengan makna
lahiriah-nya atau teks yang tertulis. Orang yang bersikukuh hanya mau memahami
sebuah ayat atau hadits sesuai dengan teks yang tertulis (makna lahiriyahnya),
dan tidak mau menerima penafsiran para ulama, suatu saat ia akan mengalami
kebingungan. Hadits tentang bid’ah di atas merupakan salah satu hadits yang
memerlukan penafsiran. Jika kata semua bid’ah tidak ditafsirkan, maka apa yang akan terjadi? Kita semua akan masuk neraka,
sebab kehidupan kita dipenuhi dengan bid’ah. Cara berpakaian, sarana tranportasi, pengeras suara, permadani yang
terhampar di masjid-masjid, lantai
masjid yang terbuat dari marmer, hingga barbagai kemajuan teknologi
lainnya, semua itu merupakan hal baru yang tidak pernah ada di zaman Rasulullah
saw. dan para sahabat beliau. Semuanya adalah bid’ah dan Rasulullah saw. menyatakan bahwa semua bid’ah
adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya
adalah neraka. Ketika dihadapkan pada pertanyaan seperti ini, jawaban
apa yang akan diberikan oleh mereka yang hanya berpegang pada makna lahiriyah
hadits bid’ah. Dalam hadits tersebut Rasulullah
saw tidak menjelaskan hal baru apa yang sesat, beliau menyatakan semuanya sesat. Sehingga jika hadits tersebut
dipahami secara langsung dan tidak
ditafsirkan, semua hal baru dalam permasalahan dunia maupun agama
adalah sesat dan pelakunya masuk neraka.
Ternyata
setelah dihadapkan pada pertanyaan seperti ini, mereka akan mengatakan
bahwa semua yang tersebut di atas, seperti : Cara berpakaian, sarana tranportasi, pengeras suara, permadani yang terhampar
di masjid-masjid, lantai masjid yang terbuat
dari marmer, hingga berbagai kemajuan teknologi lainnya, adalah bid’ah dunyawiyyah.
Bid’ah seperti ini tidak sesat, yang sesat hanyalah bid’ah dalam bidang agama
atau yang biasa disebut dengan bid’ah diniyyah (keagamaan).
Sungguh
aneh bukan, jika sebelumnya mereka bersikukuh pada makna lahiriah hadits yang
menyatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat, serta menganggap pembagian bid’ah
menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah sebagai sesuatu yang dipaksakan dan
bertentangan dengan hadits Rasulullah saw. kini mereka sendiri membagi bid’ah
itu menjadi dua, bid’ah keduniaan dan bid’ah
keagamaan. Jika mereka boleh membagi bid’ah menjadi dua ; bid’ah
keduniaan dan bid’ah keagamaan, padahal Rasulullah saw. tidak pernah melakukannya.
Maka para ulama besar seperti Imam syafi’i pun boleh membagi bid’ah menjadi
bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah.
KEDUA
Di
atas telah dijelaskan bahwa tidak semua hadits dapat dicerna langsung. Ada
beberapa hadits yang perlu dijelaskan dan ditafsirkan, dan salah satunya adalah hadits tentang bid’ah
tersebut. Hadits kullu bid’atin dhalalatun merupakan
hadits yang bersifat umum. Dalam hadits seperti ini biasanya terdapat kata atau
kalimat yang tidak disertakan, tidak diucapkan,
tetapi telah dipahami oleh pembaca atau pendengarnya. Hadits kullu
bid’atin dhalalatun mirip dengan babarapa hadits di bawah ini :
لاَصَلَاةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ إِلاَّ فِى
الْمَسْجِدِ
“Tidak ada shalat bagi tetangga masjid kecuali (yang dilakukan)
di dalam masjid”.
لاَصَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ
“Tidak
ada shalat dengan (tersedianya) makanan”.
وَاللهُ لَا يُؤْمِنْ وَاللهُ لَا يُؤْمِنْ وَاللهُ لَا يُؤْمِنْ، قِيْلَ : مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : مَنْ لَمْ يَأْمَنْ جَارَهُ بَوَا ئـِقَهُ
“Demi Allah tidak beriman, demi
Allah tidak beriman, demi Allah tidak berima.
Ada yang
bertanya : Siapakah wahai Rasulullah? Nabi bersabda : Orang yang tidak
menyelamatkan tetangganya dari gangguannya”.
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ
“Tidak akan masuk surga pengadu
domba”.
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ، وَعَاقَ لِوَالِدَيْهِ
“Tidak akan
masuk surga pemutus hubungan tali persaudaraan. Dan orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya”.
لَا يُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتّٰى يُحِبُّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian sebelum ia
mencintai saudaranya seperti ia
mencintai dirinya sendiri”. (H.R. Bukhari, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad)
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ
“Bukan dari
golongan kami seseorang yang tidak membaca Al-Qur’an dengan suara yang baik (merdu)”. (H.R. Bukhari, Abu Dawud, Ahmad
dan Darimi)
اَلْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوْتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا
“Shalat
witir itu benar, maka barang siapa tidak menunaikan shalat witir, ia bukan dari
golongan kami”. (H.R. Abu Dawud dan
Ahmad)
Jika
kata tidak dan bukan dari golongan kami dalam beberapa hadits di atas tidak dijelaskan, tidak
ditafsirkan, lalu bagaimana nilai bacaan Al-Qur’an kita. bagaimana jika
tidak berada dalam golongan Nabi dan para sahabatnya, kita berada dalam
golongan (kelompok) siapa? Oleh karena itu,
hadits di atas dan sejenisnya perlu dan harus ditafsirkan dengan hadits
yang lain, sehingga kita tidak salah memahami ucapan Nabi Muhammad saw. Para ulama menyatakan bahwa kata Tidak dalam
hadits di atas artinya adalah Tidak sempurna. Dalam hadits itu ada kata “sempurna”
yang tidak diucapkan Nabi saw. karena telah dipahami oleh para sahabat. Sedangkan kata Bukan dari golongan kami artinya
Bukan dari golongan terbaik kami. Dalam hadits ini ada kata “Terbaik”
yang juga tidak diucapkan oleh Nabi saw. karena telah dipahami oleh para
sahabat.
Para ulama menjelaskan bahwa dalam hadits (kullu
bid’atin dhalalatun) juga tedapat kalimat yang tidak
diucapkan oleh Nabi saw. namun telah dipahami oleh para sahabat. Kalimat itu
terletak setelah kata “Bid’atin” dan bunyinya adalah yang
bertentangan dengan syari’at. Coba kita perhatikan kalimat yang terletak di
dalam tanda kurung berikut : “Semua bid’ah (yang bertentangan dengan
syari’at) adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya adalah di neraka”
Demikian pula berkaitan dengan masalah tulisan
Al-Quran pada zaman Rasulullah saw.dan para
sahabat, meskipun tulisan Al-Qur’an pada zaman itu tidak ada titik
(nuqthah) dan baris (syakl), tapi para sahabat dapat membacanya dengan baik dan
benar, karena para sahabat itu telah memahaminya yang diberikan langsung oleh
Rasulullah saw.
Tulisan kitab suci Al-Qur’an ketika
itu seperti yang tertera di bawah ini saja (maaf harusnya tidak ada titinya) :
وأذان من الله
ورسوله إلى الناس يوم الحَج الأ كبر أن الله بريء من المشركين ورسوله ..... (
الـتـوبـه : 3 )
“Dan (inilah) pemakluman dari Allah
pada Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya
Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari
orang-orang musyrikin.” (Q.S. At-Taubah : 3)
Ayat
ini pasti dibaca oleh sahabat-sahabat Nabi sesuai dengan yang didengarnya dari Nabi dan sesuai pula dengan tata
bahasa Arab, begini :
وَأَذَانٌ مِّنَ اللهِ وَرَسُوْ لِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ اْلأَ كْبَرِ أَنَّ اللهَ بَرِيْءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلُهُ ..... ( الـتـوبـه : 3 )
Perkatan :
وَاَذَانٌ tidak akan dibaca وَاَذَانٍ karena perkataan ini mubtada’ yang menurut hukum ilmu nahwu
harus marfu’ dengan dhammah.
Perkataan : مِنَ اللهِ
tidak akan dibaca مِنَ اللهُ
karena menurut ilmu nahwu, setiap isim yang datang sesudah huruf jar
(min) mesti majrur, yaitu berharokat kasroh.
Pekataan : وَاَذَانٌ مِنَ اللهِ وَرَسُـوْلِهِ tidak akan dibaca وَاَذَانٌ مِنَ اللهِ
وَرَسُـوْلُهُ
karena kalimat Rasuulihi itu mathuf
kepada lafadz Allahi sebelumnya.
Perkataan اَنَّ tidak akan dibaca
اِنَّ karena ia datang sesudah jumlah yang mestinya berharokat fathah.
Perkataan :
بَـرِىْءٌ tidak akan dibaca بـَرِىْءً karena ia khabar anna mesti marfu’
(berharokat dhommah).
Perkataan : مِنَ اْلـمُشْـرِكِـيْنَ
tidak akan dibaca مِنَ
الْـمُسْـرِكِـيْنَ
karena perkataan ini tidak ada artinya.
Perkataan
: وَرَسُـوْلُهُ tidak akan dibaca وَرَسُـوْلِهِ sebab ini sangat merusak artinya yang bisa menyesatkan.
Pendeknya kalau sahabat-sahabat Nabi
yang terdiri dari orang-orang Arab yang mengerti dan faham ilmu nahwu dan tata
bahasa Arab, tentu mereka tidak akan salah membacanya sekalipun tidak pakai
titik dan harokat.
Misalnya
: بـَرٍىءٌ tidak akan ada yang
membaca dengan تَـرِىءٌ atau
ثَرِىءٌ atau يَـرِىءٌ tapi mesti dibaca بـَرٍىءٌ karena inilah yang sesuai dengan susunan kalimat.
Hal
ini dapat juga dicontohkan pada tulisan Indonesia
yang tidak pakai harokat, tentu dapat dibaca
dengan tepat oleh orang Indonesia
dan tidak akan salah. Umpamanya :
ساي مـلـهـت كـمبڠ مـكـن
كـمبڠ
Tulisan
ini mesti dibacanya dengan Saya melihat kambing makan kembang. Dan tidak akan
dibaca :
a. “Saya
melihat kambing makan kambing.” Karena ini tidak mungkin
b. “Saya
melihat kumbang makan kambing.” Juga tidak mungkin
c. “Saya
melihat kumbang makan kumbang.” Juga tidak mungkin
d. “Saya
melihat kambing makan kumbang.” Juga tidak mungkin
Seorang
jendral dari khalifah Bani Umaiyah Abdul Muluk bin Murwan, bernama Hajaj bin Yusuf Ats
Tsaqafi sekita tahun 70 H memerintahkan kepada
seorang ahli qira’at bernama Nashar bin ’Ashim supaya membuat
titik ayat-ayat Al-Quran dan kepada Khalil bin Ahmad diperintahkan pula
membuat harokat pada Al-Qur’an.
Maka jadilah ia sebagai yang kita
lihat sekarang. Hal ini dianggap sangat perlu karena kesalahan bacaan bisa
merusak maknanya secara menyolok. Misalnya dalam ayat di atas, yaitu tentang kalimat
وَرَسُـوْلُهُ yang terletak pada akhir
ayat, kalau dibaca وَرَسُـوْلِهِ maka artinya menjadi “bahwa
sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrikin dan dari Rasul-Nya”. Bandingkan bila ayat tersebut di baca dengan benar
: “bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin”.
Seluruh
umat Islam dari dulu sampai sekarang termasuk ulama-ulamanya, imam-imam
Mujtahid menerima dengan baik titik dan harokat pada Al-Qur’an itu walaupun diadakan sesudah Nabi wafat. Dan ini dinamakan
hukum ijma’ yaitu kesepakatan. Maka titik dan baris yang pada mulanya bid’ah,
menjadilah ia bid’ah hasanah, yaitu bid’ah yang baik.
KETIGA
Dalam hadits كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (kullu bid’atin dhalalatun), di sini ada sesuatu yang dikecualikan. Rasulullah saw bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هٰذَا
مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama)
kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak”. (H.R. Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad)
Coba kita
perhatikan kalimat yang tidak bersumber darinya (agama) Inilah kalimat yang menjelaskan bahwa tidak
semua bid’ah sesat. Berdasarkan sabda Rasulullah saw. di atas, maka hadits kullu
bid’atin dhalalatun dapat diartikan sebagai berikut : Semua
bid’ah itu sesat kecuali yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunah.
KEEMPAT
Setelah memahami keterangan di atas, mari kita
pelajari arti muhdatsat
(hal-hal baru) dalam hadits
sebelumnya. Para ulama menyatakan bahwa
kata muhdatsat (hal-hal baru) dalam hadits tersebut artinya
adalah segala hal baru yang tidak
sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Pernyataan ini didukung oleh
hadits di bawah ini :
قَالَ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ مَنْ أَحْيٰى سُنَّةً مِنْ سُنَّتِى
قَدْ أُمِيْتَتْ بَعْدِى فَلَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ
غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا، وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ
ضَلاَلَةٍ لاَ تُرْضىِ اللهَ وَرَسُوْ لَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثاَمِ مَنْ
عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ ذٰلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا
“Nabi
saw. bersabda bahwa sesungguhnya siapa yang menghidupkan sunnahku yang sudah
dimatikan orang setelah aku tidak ada, maka bagi orang itu pahala seperti
pahala orang yang mengamalkannya, tidak sedikitpun
dikurangi seperti orang yang mengamalkan sunnah. Dan barang siapa
mengadakan sebuah bid’ah dhalalah (sesat), yang tidak diridhai Allah dan
Rasul-Nya, maka dia memperoleh dosa sebanyak dosa orang yang mengamalkannya”. (H.R. Tirmidzi).
Dalam
hadits di atas disebutkan Barang siapa mengadakan sebuah bid’ah dhalalah
(yang sesat). Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua bid’ah sesat.
Andaikata semua bid’ah sesat, tentu Nabi saw akan langsung berkata : Barang
siapa mengadakan sebuah bid’ah. Dan tidak akan menambahkan kata dhalalah
dalam sabdanya tersebut. Dengan menyebut
kalimat Bid’ah dhalalah (yang sesat), maka logikanya ada bid’ah
yang tidak dhalalah (yang tidak sesat).
KELIMA
Rasulullah saw. selalu
mendorong umatnya untuk melaksanakan semua
perintah Allah, menjauhi semua larangan-Nya serta menghidupkan selalu sunah-sunah beliau. Tentunya setiap zaman
memiliki cara dakwah tersendiri dan
setiap masyarakat memiliki adat yang berbeda. Rasulullah saw
memerintahkan kita untuk berbicara dengan manusia sesuai dengan tingkat
pemikiran dan pemahamannya. Untuk menghidupkan sunah Rasul saw yang sering kali
diabaikan oleh umat Islam inilah para ulama kemudian
memunculkan berbagai gagasan dan ide cemerlang yang dapat diterima oleh
sebagian besar masyarakat. Gagasan tersebut mereka peroleh setelah mendalami
Al-Qur’an dan Al-Hadits. Meskipun dikemas dalam model atau bentuk baru, tetapi
isinya tiada lain adalah Al-Qur’an dan
Al-Hadits. Salah satu contohnya adalah
apa yang telah dilakukan oleh sayidina Umar bin Khaththab ra di bawah nanti (
masalah shalat tarawih). Beliau berupaya
menghidupkan sunah Rasulullah saw dengan mempersatukan umat dalam
kebaikan. Apa yang dilakukan oleh sayidina Umar bin Khaththab ra serta para
ulama lain yang mengikuti jejak beliau ra. tiada lain adalah salah satu upaya
untuk mengamalkan sabda Rasulullah saw yang berbunyi :
مَنْ سَنَّ فىِ اْلإِسْلاَمِ
سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ
بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ، مَنْ سَنَّ فىِ اْلإِسْلاَمِ
سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ
عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barang siapa mencontohkan suatu perbuatan baik di dalam Islam,
kemudian perbuatan tersebut
diamalkan (orang lain), maka ia akan memperoleh pahala orang-orang yang
mengamalkan tanpa sedikitpun mengurangi pahala mereka. Dan barang siapa
mencontohkan sebuah perbuatan buruk di dalam
Islam, kemudian perbuatan tersebut diamalkan (oleh orang lain), maka dia
memperoleh dosa semua orang yang mengamalkannya tanpa sedikit pun mengurangi dosa-dosa mereka”. (H.R. Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar