Sabtu, 25 Juli 2015

DALIL TAWASUL DENGAN ORANG YANG TELAH MENINGGAL



            Ada orang yang mengatakan bahwa tawassul dengan orang yang telah meninggal itu sia-sia, sebab orang yang telah meninggal tidak mempunyai kekuatan apa-apa, jangankan bergerak mendengarpun dia tak mampu, sebagai dalil bahwa orang yang telah meninggal tidak dapat mendengar adalah ayat di bawah ini :

فَإِنَّكَ لاَ تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلاَ تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاء إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ
Maka sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat mendengar, dan menjadikan orang-orang yang tuli dapat mendengar seruan, apabila mereka itu berpaling membelakang.
(Q.S. 30 Ar Ruum 52)

Jawab

      Di samping dalil-dalil di atas yang telah dikemukakan, lebih jauh kita dapat perhatihan hadits shahih :
أَنَّ النَّبِيَّ r جَعَلَ يُنَادِيهِمْ بِأَسْمَائِهِمْ وَأَسْمَاءِ آبَائِهِمْ يَا فُلَانُ بْنَ فُلَانٍ وَيَا فُلَانُ بْنَ فُلَانٍ أَيَسُرُّكُمْ أَنَّكُمْ أَطَعْتُمْ اللهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّا قَدْ وَجَدْنَا مَا وَعَدَنَا رَبُّنَا حَقًّا فَهَلْ وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا قَالَ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللهِ مَا تُكَلِّمُ مِنْ أَجْسَادٍ لَا أَرْوَاحَ لَهَا فَقَالَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ
“Sungguh Nabi saw pernah memanggil-manggil  mereka (orang-orang kafir yang mati dalam perang Badar), dengan nama mereka dan nama ayah mereka, beliau berseru: “Hai Fulan bin Fulan! Hai Fulan bin Fulan! Tidakkah akan membahagiakan kalian, bila kalian mau mentaati Allâh dan Rasul-Nya?” Sahabat Umar bertanya:Tidakkah engkau berbicara pada jasad yang sudah tidak bernyawa?” Beliau kemudian menjawab: Demi (Allah) yang diriku dalam genggamannya, engkau tak lebih mendengar dari mereka (engkau dan mereka sama-sama mendengar)(H.R. Bukhari)

Dalam hadits shahih yang lain yaitu hadits Muslim yang menerangkan bahwa Rasulullah saw, berbicara kepada orang yang telah mati sebagaimana selepas perang badar, Rasul saw, mengunjungi mayat-mayat orang kafir, lalu Rasulullah saw, bersabda : Wahai Abu Jahal bin Hisyam, wahai Umayyah bin Khalf, wahai Utbah bin Rabi’, wahai Syaibah bin Rabi’ah, bukankah kalian telah mendapatkan apa yang dijanjikan Allah pada kalian? Sungguh aku telah menemukan janji Tuhanku benar. Maka berkalah Umar bin Khaththab ra : Tidakkah engkau berbicara pada jasad yang sudah tidak bernyawa? bagaimana mereka mendengar ucapanmu? Rasul saw, menjawab : Demi (Allah) yang diriku dalam genggamannya, engkau tak lebih mendengar dari mereka (engkau dan mereka sama-sama mendengar), akan tetapi mereka tak mampu menjawab (H.R. Muslim).

            Berkenaan makna ayat di atas, Imam Qurthubi berkata dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan orang yang telah mati adalah orang kafir yang telah mati hatinya dengan kekufuran. Imam Qurthubi menukil hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa Rasul saw berbicara dengan orang mati dari kafir Qurasy yang terbunuh di perang Badar. (Tafsir Qurthubi juz 13 halaman 232).

            Berkata Imam Ath-Thabrani dalam tafsirnya bahwa makna ayat ini adalah bahwa engkau Muhammad, tak akan bisa memberikan pemahaman kepada orang yang telah dikunci oleh Allah sehingga tak bisa memahami. (Tafsir Imam Ath-Thabrani juz 20 hal. 12 dan juz 21 ha. 55)

            Imam Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya menerangkan mengenai ayat diatas dengan panjang lebar, baik dengan hadits atau atsar (perkataan sahabat) yaitu : Ummul Mu’minin Siti Aisyah ra berpegang kepada dalil ayat ini, yaitu firman Allah :
فَإِنَّكَ لاَ تُسْمِعُ الْمَوْتَى
“Maka sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat mendengar”.

Dalam sanggahannya terhadap pendapat Abdullah Ibnu Umar ra dalam riwayatnya yang menceritakan pembicaraan Nabi saw kepada orang-orang musyrik yang telah gugur dalam perang Badar, lalu mereka dilemparkan di dalam sebuah sumur di Badar, Hal itu dilakukan oleh Nabi saw sesudah tiga hari. Nabi saw dalam pembicaraannya itu mencela dan mengecam mereka yang telah mati di dalam sumur itu. Sehingga sahabat Umar bertanya kepadanya : Wahai Rasulullah, mengapa engkau berbicara kepada kaum yang telah menjadi bangkai? Maka beliau saw menjawab :

وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُوْلُ مِنْهُمْ وَلَكِنْ لَا يُجِيْبُنِيْ
“Demi (Allah) yang diriku dalam genggamannya, engkau tak lebih mendengar dari mereka (engkau dan mereka sama-sama mendengar), akan tetapi mereka tak mampu menjawab”

            Hadits ini ditakwilkan oleh Siti Aisyah ra dengan pengertian, Sesungguh nya mereka yang diajak bicara itu, setelah mereka mati benar-benar mengetahui bahwa apa yang dikatakan oleh Nabi saw kepada mereka adalah benar belaka.

            Qatadah mengatakan bahwa Allah menghidupkan mereka untuk Nabi saw sehingga dapat mendengar ucapannya, sebagai kecaman, cemoohan dan pembalasan darinya.

            Menurut pendapat yang shahih di kalangan ulama adalah riwayat Abdullah ibnu Umar, mengingat riwayat ini mempunyai banyak syahid yang membuktikan keshahihannya melalui berbagai jalur yang cukup banyak. Yang paling terkenal di antara riwayat-riwayat tersebut ialah yang diriwayatkan melalui Ibnu Abdul Barr yang dinilai shahih melalui Ibnu Abbas secara marfu’ :

مَا مِنْ أَحَدٍ يَمُرُّ بِقَبْرِ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ كَانَ يَعْرِفُهُ فِى الدُّنْيَا فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ إِلَّا رَدَّ اللهُ عَلَيْهِ رُوْحَهُ حَتَّى يَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ
“Tiada seorang pun yang melalui kuburan saudara muslimnya yang ia kenal semasa hidupnya, lalu ia mengucapkan salam kepadanya, melainkan Allah mengembalikan ruhnya hingga menjawab salamnya”.

            Telah terbuktikan pula melalui suatu hadits yang bersumber dari Nabi saw ditujukan kepada umatnya, bahwa apabila mereka hendak mengucapkan salam kepada ahli kubur, hendaklah mereka menyalami ahli kubur sebagai mana mereka menyalami orang yang mereka ajak bicara. Untuk itu seorang Muslim dianjurkan mengucapkan salam berikut :
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِيْنَ
“Semoga keselamatan terlimpahkan kepada kalian, wahai (penduduk) kampung kaum yang beriman”

            Ini jelas pembicaraan yang ditujukan kepada orang yang mendengar dan mengerti. Seandainya pembicaraan ini tidak memakai teks tersebut, tentulah sama saja dengan berbicara kepada yang tiada atau benda mati. Ulama salaf telah sepakat membenarkan hal ini (mengucapkan salam kepada ahli kubur). Menurut atsar-atsar yang berpredikat mutawatir (riwayat yang sangat banyak) dari mereka, mayit mengetahui orang hidup yang berziarah kepadanya dan merasa gembira dengan kunjungannya.

            Ibnu Abud Dunya telah meriwayatkan di dalam Kitabul Qubur melalui Siti Aisyah ra yang mengatakan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda :

مَامِنْ رَجُلٍ يَزُوْرُ قَبْرَ أَخِيْهِ وَيَجْلِسُ عِنْدَهُ إِلاَّ إِسْتَأْنَسَ بِهِ وَرَدَّ عَلَيْهِ حَتَّى يَقُوْمُ
“Tiada seorang pun yang menziarahi kubur saudaranya, lalu duduk di sisinya melainkan saudaranya itu terhibur dengan kedatangannya dan menjawab salamnya hingga ia bangkit (meninggalkannya)”.

            Telah diriwayatkan pula melalui Abu Hurairah ra yang telah mengatakan bahwa apabila seseorang melewati kuburan yang penghuninya ia kenal, lalu ia mengucapkan salam kepadanya, maka salamnya dijawab olehnya.
            Ibnu Abud Dunya telah meriwayatkan berikut sanadnya dari seorang lelaki dari kalangan keluarga Ashim Al-Juhdari yang telah menceritakan bahwa ia pernah melihat Ashim Al-Juhdari dalam mimpinya setelah Ashim meninggal dunia. Lalu lelaki itu bertanya : Bukankah engkau telah mati? Ashim memjawab, benar. Lelaki itu bertanya lagi : Sekarang engkau berada di mana? Ashim menjawab : Saya demi Allah, berada di suatu tempat taman dari taman surga bersama sejumlah teman-temanku. Kami berkumpul setiap malam jum’at, dan pagi harinya di tempat Bakr Ibnu Abdullah Al-Muzani. Maka kami menerima berita-berita tentang kalian.

            Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa lelaki itu bertanya lagi, apakah yang berkumpul itu tubuh kalian, ataukah arwah kalian? Ashim menjawab : Mustahil bila yang berkumpul adalah jasad kami, karena jasad kami telah hancur luluh dan yang dapat bertemu hanyalah arwah kami saja. Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa lelaki itu bertanya lagi, apakah kalian mengetahui bila kami berziarah kepada kalian? Ashim menjawab : Kami mengetahuinya pada hari Kamis sore dan seluruh hari Jum’at serta malam hari Sabtu hingga matahari terbit. Mengapa demikian, bukan pada hari-hari lainnya? Ashim menjawab : Berkat keutamaan dan kebesaran hari Jum’at.

            Ibnu Abud Dunya mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Muhammad Ibnul Hasain, telah menceritakan kepada kami Bakh Ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Hasan Al-Qashshab yang menceritakan bahwa ia setiap pagi hari Sabtu selalu berangkat bersama Muhammad Ibnu Wasi’ menuju Al-Jiban, lalu mereka berdiri di kuburan yang ada di sana, dan mengucapkan salam kepada ahli kubur serta mendoakan mereka, sesudah itu mereka pulang. Maka pada suatu hari Hasan Al-Qashshas bertanya : Bagaimana kalau kita ubah kebiasaan hari ini menjadi hari Senin? Muhammad Ibnu Wasi’ menjawab : Telah sampai suatu berita kepadaku bahwa orang-orang yang telah mati mengetahui para peziarah mereka hanya hari Jum’at dan hari sebelumnya serta sehari sesudahnya.

            Telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Yahya Ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl, Ibnu Muwaffiq (anak lelaki pamannya Sufyan Ibnu Uyaynah) yang menceritakan : Ketika ayahku meninggal dunia, aku merasa sedih, dan aku selalu menziarahi kuburnya setiap hari. Kemudian ia tidak lagi menziarahinya selama beberapa waktu yang dikehendaki Allah swt. Pada suatu hari aku kembali menziarahi kubur ayahku, dan ketika aku sedang duduk di dekat kubur ayahku, tiba-tiba mataku terserang kantuk, lalu tertidur. Di dalam mimpiku aku melihat seakan-akan kubur ayahku terbuka, dan seakan-akan ayahku sedang duduk di pinggirnya dengan berpakaian kain kafannya, sedangkan rupanya adalah rupa orang yang telah mati.

            Al-Fadl melanjutkan kisahnya, bahwa ia menangis melihat pemandangan itu, lalu ayahnya bertanya, hai anakku, apakah gerangan yang membuatmu lama tidak menziarahiku? Aku menjawab : Apakah engkau benar-benar mengetahui kedatanganku? Ayahnya menjawab : Tidak sekali-kali kamu datang menziarahiku melainkan aku mengetahuinya. Dulu kamu sering menziarahiku, dan aku merasa senang dengan kedatanganmu. Orang-orang yang ada di sekitarku merasa senang pula pada doamu. Al-Fadl mengatakan bahwa setelah itu ia sering menziarahi kubur ayahnya.

            Telah menceritakan kepada Muhammad, telah menceritakan kepadaku Yahya Ibnu Bustam, telah menceritakan kepada kami Utsman Ibnu Suwaid At-Tafawi yang mengatakan bahwa ibunya adalah seorang wanita ahli ibadah yang dikenal dengan julukan Rahibah. Ketika ajalnya telah dekat, Rahibah mengangkat kepalanya kearah langit, lalu berdoa : Wahai Tuhan yang menjadi harapan dan dambaanku selama hidup dan matiku, janganlah Engkau menjadikan aku terhina saat matiku, dan janganlah Engkau menjadikan diriku merasa asing dalam kesendirianku.

            Setelah ia meninggal dunia, aku (Utsman Ibnu Suwaid) selalu menziarahi kuburnya setiap hari Jum’at, mendoakannya serta memohonkan ampunan buatnya, juga buat ahli kubur lainnya. Pada suatu malam aku melihat ibuku dalam mimpi, maka aku bertanya kepadanya : Ibu, bagaimanakah keadaanmu? Ia menjawab : Anakku, sesungguhnya maut itu benar-benar merupakan musibah yang sangat keras. Dan sesungguhnya aku, segala puji bagi Allah, benar-benar ada di alam barzakh yang terpuji yang penuh dengan bau yang harum dan dihamparkan padanya kain sutera yang tebal dan yang tipis sampai hari berbangkit nanti.

            Aku bertanya kepadanya : Apakah engkau mempunyai keperluan? Ia menjawab : Ya. Aku bertanya, keperluan apa? Ia menjawab : Janganlah engkau meninggalkan kebiasaan menziarahi kami dan mendoakan bagi kami, karena sesungguhnya aku benar-benar merasa gembira dengan kedatanganmu pada hari Jum’at. Jika engkau tiba dari rumah keluargamu, maka dikatakan kepadaku : Hai Rahibah, inilah putramu telah datang, maka bergembiralah. Dengan demikian, bergembiralah semua orang mati yang ada sekitarku.

            Telah menceritakan kepadaku Muhammad, telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibnu Abdul Aziz Ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Bisyr Ibnu Mansur yang mengatakan bahwa ketika wabah ta’un (kolera) sedang menjalar, ada seorang lelaki bolak-balik pergi ke Al-Jiban. Dia datang untuk ikut menyalati jenazah. Apabila petang jari, ia berdiri di dekat kuburan seraya berdoa : Semoga Allah menghibur kalian dan menyayangi kalian dalam keterasingan kalian, dan semoga Dia memaafkan kesalahan-kesalahan kalian serta menerima kebaikan-kebaikan kalian. Dia tidak lebih selain mengucapkan kalimat tersebut..

            Bisyr Ibnu Mansur melanjutkan kisahnya, bahwa di suatu petang hari lelaki itu pulang ke rumah keluarganya tanpa mampir di kuburan dan tidak berdoa sebagaimana biasanya untuk ahli kubur. Ketika aku (lelaki itu) tidur, tiba-tiba dalam mimpinya ia kedatangan sejumlah orang, lalu aku bertanya : Siapakah kalian ini dan apa keperluan kalian? Mereka menjawab : Kami adalah ahli kubur. Aku bertanya : Lalu apa keperluan kalian? Mereka menjawab : Biasanya engkau mengirim suatu hadiah pada kami saat engkau dalam perjalanan pulangmu ke rumah keluargamu. Aku bertanya : Hadiah apakah itu ? Mereka menjawab : Doa-doa yang biasa engkau ucapkan di dekat kuburan kami. Aku menjawab : Aku akan membiasakan lagi. Sejak saat itu aku tidak pernah meninggalkan kebiasaanku itu. Dan dari peristiwa itu aku mengetahui bahwa mayit itu mengetahui  amal perbuatan kaum kerabat dan saudara-saudaranya.

            Abdullah Ibnul Mubarak mengatakan, telah menceritakan kepadaku Shaur Ibnu Yazid, dari Ibrahim, dari Ayyub yang mengatakan bahwa amal perbuatan orang-orang yang hidup ditampakkan kepada orang-orang yang telah mati (dari kalangan keluarganya). Apabila melihat kebaikan, mereka bergembira, dan apabila meliahat keburukan, mereka mengatakan : Ya Allah maafkanlah mereka.

            Ibnu Abud Dunya mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad Ibnul Husain, telah menceritakan kepadaku Khalid Ibnu Amr Al-Umawi, telah menceritakan kepada kami Shadaqah Ibnu Sulaiman Al-Ja’fari yang menceritakan bahwa dia mempunyai kebiasaan yang buruk, dan ketika ayahnya meninggal dunia, ia bertaubat dan menyesali perbuatan dosa yang pernah dilakukannya. Kemudian ia tergelincir lagi melakukan kebiasaan buruk itu, maka ia melihat ayahnya dalam mimpinya, lalu ayahnya berkata : Anakku, alangkah gembiranya aku denganmu, pada mulanya semua amal perbuatanmu ditampakkan kepada kami dan kami menyerupakannya dengan amal perbuatan orang-orang yang shaleh. Tetapi setelah ketergelinciranmu itu aku merasa sangat malu dengan apa yang telah kamu perbuat itu. Maka janganlah engkau membuatku sedih di kalangan orang-orang yang telah mati di sekitarku.

            Khalid Ibnu Amr Al-Umawi melanjutkan kisahnya: Sejak saat itu aku mendengarnya selalu mengucapkan doa berikut di waktu sahurnya, yang secara kebetulan rumahnya di Kufah bertetangga denganku, yaitu : Ya Allah, aku memohon kapada-Mu taubat yang tidak pernah diulangi lagi dan tidak pernah terkotor lagi, wahai Allah yang memperbaiki keadaan orang-orang yang shaleh dan wahai Allah yang memberi petunjuk orang-orang yang sesat, wahai Allah Maha Pelimpah Rahmat.

            Pembahasan mengenai hal ini memerlukan bab tersendiri mengingat banyak atsar dari para sahabat yang mengangkatnya. Disebutkan bahwa sebagian kalangan sahabat Anshar dari kalangan kaum kerabat Abdullah Ibnu Rawwahah selalu mengucapkan doa berikut :

أللهم إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنْ عَمَلٍ أُخْزَى بِهِ عِنْدَ عَبْدُ اللهِ بْنِ رَوَّاحَةَ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari amal perbuatan yang karenanya Abdullah Ibnu Rawwahah terhina”.

            Dia mengucapkan doa tersebut setelah Abdullah bin Rawwahah mati syahid.

            Islam mensyariaatkan mengucapkan salam kepada orang-orang yang telah mati. Dan seperti yang telah kita ketahui, mengucapkan salam kepada orang yang tidak dikenal serta tidak diketahui kemuslimannya merupakan suatu hal yang tidak diperbolehkan, Nabi saw telah mengajarkan kepada umatnya bila mereka melihat kuburan hendaknya mengucapkan doa berikut :
سَلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شآءَ اللهُ بِكُمْ لَاحِكُوْنَ، يَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَمِنْكُمْ وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ اْلعَافِيَةَ
“Keselamatan semoga terlimpahkan kepada kalian, wahai ahli kubur dari kalangan orang-orang mukmin. Dan sesungguhnya kami, insya Allah akan menyusul kalian. Semoga Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dan yang terkemudian di antara kami dan kalian. Kami memohon kepada Allah buat kami dan kalian akan keselamatan”.

            Salam dan pembicaraan serta seruan ini jelas ditujukan kepada yang mendengar, yang berbicara, yang memahami serta menjawab, sekalipun orang yang bersangkutan tidak dapat mendengar jawabannya. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

            Demikian secara panjang lebar keterangan ini yang diketengahkan oleh Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsirul Qur’anil ‘Adzim

            Dari keterangan di atas bahwa orang yang telah meninggal, mereka masih hidup di alam mereka, dapat mendengar tawassul kita dan menolong mendoakan hajat kita kepada Allah. Terdapat sekian banyak dalil yang menunjukkan kehidupan mereka di alam kubur, dapat mendengar tawassul kita dan menolong hajat kita kepada Allah  diantaranya adalah firman Allah :

وَلاَ تَقُولُواْ لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبيلِ اللهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاء وَلَكِن لاَّ تَشْعُرُونَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (Q.S. 2 Al Baqarah 154)

وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللهِ أَمْوَاتاً بَلْ أَحْيَاء عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. (Q.S. 3 Ali 'Imran 169)

            Jadi kalau ada orang atau kelompok yang hanya memperbolehkan bertawassul  dengan orang yang mesih hidup saja dan melarang bertawassul dengan orang yang telah meninggal akan terjerumus pada kemusyrikan, karena menganggap makhluk hidup bisa memberi manfaat, sedang orang yang telah meninggal tidak dapat memberi manfaat sama sekali.

            Sedangkan aqidah kita menganggap bahwa semua yang hidup dan yang mati sama-sama tidak dapat memberi manfaat apa-apa kecuali karena Allah swt memuliakannya. Bukan karena ia hidup lalu ia bisa memberi manfaat di hadapan Allah, jika demikian berarti yang hidup sebanding dengan Allah. Lalu apakah yang hidup bisa berbuat sesuatu pada keputusan Allah? Tidak, demi Allah bukan demikian. Tidak ada perbedaan dari yang hidup dan yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah swt. Yang hidup tidak akan mampu berbuat kecuali dengan izin Allah swt dan yang mati pun tidak mustahil memberi manfaat bila memang dikehendaki Allah swt.
            Ketahuilah bahwa pengingkaran akan kekuasaan Allah swt atas orang yang mati adalah kekufuran yang nyata, karena hidup ataupun mati tidak membedakan kodrat Allah dan tidak bisa membatasi kemampuan Allah swt, ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepadaAllah swt tetap abadi walau mereka telah wafat.

            Sebagai contoh dari bertawassul, seorang pengemis datang pada seorang saudagar kaya yang dermawan, kebetulan almarhumah istri saudagar itu adalah tetangganya. Saat mengemis pada saudagar itu ia berkata : Berilah hajat saya tuan, saya adalah tetangga dekat almarhumah istri tuan. Maka tentunya si saudagar akan memberi lebih pada si pengemis karena ia tetangga mendiang istrinya. Bukankah hal ini mengambil manfaat dari orang yang telah mati? Bagaimana dengan pandangan yang mengatakan orang mati tidak dapat memberi manfaat? Secara jelas saudagar itu sangat menghormati, mengabulkan hajat si pengemis, atau memberinya uang lebih, karena ia menyebut nama orang yang ia cintai walau sudah wafat. Istri saudagar yang telah wafat itu tidak bangkit dari kubur dan tidak tahu menahu tentang urusan hajat si pengemis pada si saudagar. Namun pengemis itu mendapat manfaat besar dari orang yang telah wafat.

            Jadi kesimpulan yang dapat kita ambil adalah kita diperbolehkan berdoa tanpa perantara, boleh berdoa dengan perantara, boleh berdoa dengan perantara orang shaleh, boleh berdoa dengan perantara amal kita yang baik, boleh berdoa dengan perantara Nabi Muhammad saw, shalihin atau benda. Misalnya : Wahai Allah demi kemuliaan Ka’bah penuhilah hajatku, atau wahai Allah demi kemuliaan Arafah kabulkanlah hajatku, dan lain sebagainya. Tidak ada larangan dari Allah mengenai hal ini, tidak pula dari Rasul, para sahabat, tabi’an dari para muhaddisin. Bahkan sebaliknya Allah menganjurkannya, Rasulullah saw mengajarkannya, sahabat mengamalkan nya, lalu bagaimana dengan kita ? Kalau kita mencintai Allah dan Rasul-Nya, tentunya kita mengikuti anjuran Allah yang diajarkan oleh Rasulullah dan yang telah diamalkan oleh para sahabat. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar