Selasa, 01 Desember 2015

Hukum mencium tangan ulama





Sudah menjadi kebiasaan yang jamak di lingkungan pesantren untuk mencium tangan. Seorang santri akan mencium tangan seorang kiyai atau ustadznya. Sebagai rasa penghormatan seorang santri kepada kiyainya. Dalam hadits disebutkan :

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ حَدَّثَهُ وَذَكَرَ قِصَّةً قَالَ فَدَنَوْنَا يَعْنِيْ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلْنَا يَدَهُ
Dari Abdullah bin Umar menceritakan kepadanya, lalu ia menyebutkan kisahnya. Ia berkata : Kami mendekat kepada Nabi saw, lalu kami mencium tangannya. (H.R. Abu Dawud no. 5225. Ibnu Majah no. 3835. Ahmad no. 4853)

عن أُمِّ أَبَانَ بِنْتِ الْوَازِعِ بْنِ زَارِعٍ عَنْ جِدِّهَا زَارِعٍ وَكَانَ فِي وَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ قَالَ لَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِيْنَةَ فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَهُ
Dari Ummu Aban bintil Wazi' bin Zari' dari kakeknya Zari' saat itu ia sedang bersama rombongan utusan Abdu Qais, ia berkata, "Ketika kami tiba di Madinah, kami saling berlomba memacu kendaraan kami, lalu kami mencium tangan dan kaki Nabi saw (H.R. Abu Dawud no. 5227)

عَنْ صَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ أَنَّ قَوْمًا مِنَ الْيَهُوْدِ قَبَّلُوْا يَدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَيْهِ
Dari Shafwan bin Assal, bahwa sekelompok orang Yahudi mencium tangan dan kedua kakinya Nabi saw." (H.R. Ibnu Majah no. 3836,  Nasa’i no. 4089)

Atas dasar hadits di atas, para ulama mensunahkan mencium tangan ulama, guru, orang shaleh serta orang-orang yang kita hormati.

Imam Nawawi dalam kitabnya menjelaskan :

يُسْتَحَبُّ تَقْبِيْلُ أَيْدِى الصَّالِحِيْنَ وَفُضَلاَءِ الْعُلَمَاءِ وَيُكْرَهُ تَقْبِيْلُ يَدِ غَيْرِهِمْ.
Disunahkan mencium tangan orang-orang shaleh dan para ulama yang utama. Namun mencium tangan selain orang-orang itu hukumnya makruh. (Kitab Fatawi Al-Imam Al-Nawawi halaman 79)

Ketika menjelaskan perkataan imam Nawawi, Syaikh Muhammad Al-Hajjar dalam ta'liq (komentar) kitab Fatawi Al-Imam Al-Nawawi mengatakan :

فَإِذَا أَرَادَ تَقْبِيْلَ يَدِ غَيْدِهِ إِنْ كَانَ ذٰلِكَ لِزُهْدِهِ وَصَلاَحِهِ أَوْ عِلْمِهِ وَشَرَفِهِ وَصِيَانَتِهِ أَوْ نَحْوِ ذٰلِكَ مِنَ اْلأُمُوْرِ الدِّيْنِيَّةِ لَمْ يُكْرَهْ، بَلْ يُسْتَحَبَّ. لِأَنَّ أَبَا عُبَيْدَةَ قَبَّلَ يَدَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ . وَإِنْ كَانَ لِغِنَاهُ وَدُنْيَاهُ وَثَرْوَتِهِ وَشَوْكَتِهِ وَوِجَاهَتِهِ أَهْلِ الدُّنْيَا وَنَحْوِ ذٰلِكَ فَهُوَ مَكْرُوْهٌ شَدِيْدُ اْلكَرَاهَةِ. 
Mencium tangan orang lain, bila itu dilakukan karena orang tersebut zuhud, shaleh, berilmu, mempunyai kemulyaan, serta bisa menjaga diri, atau perkara yang semisal yang berkaitan dengan masalah agama, maka perbuatan itu tidak dimakruhkan, bahkan termasuk perbuatan sunah. Karena sesungguhnya Abu Ubaidah pernah mencium tangan Saidina Umar ra. Tapi jika dilakukan karena orang tersebut memiliki kekayaan, karena dunianya, pengaruhnya serta kekuatannya di hadapan ahli dunia, serta perbuatan lain yang serupa, maka hukumnya makruh, dengan kemakruhan yang sangat besar”. (Fatawi Al-Imam Al-Nawawi halaman 80)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar