Rabu, 19 Agustus 2015

TITIK DAN HARAKAT AYAT-AYAT AL-QUR'AN





            Al-Qur’an pada zaman Nabi saw. dan juga pada zaman khulafaurrasyidin tidak pakai titik (nuqthah) dan juga tidak pakai harokat (syakl).
            Tulisan kitab suci Al-Qur’an ketika itu seperti yang tertera di bawah ini saja (maaf harusnya tidak ada titiknya sama sekali) :
وادان من الله ورسوله الى االناس يوم الحج الا كبر ان الله برىء من المسركين ورسوله ( التوبه : 3 )
“Dan (inilah) pemakluman dari Allah pada Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bawha sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya  berlepas diri dari orang-orang musyrikin.” (Q.S. At-Taubah : 3)
            Ayat ini pasti dibaca oleh sahabat-sahabat Nabi sesuai dengan yang didengarnya dari Nabi dan sesuai pula dengan tata bahasa Arab, begini :

وَاَذَانٌ مِّنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ اِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ اَنَّ اللهَ بَرِيْءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلُهُ ( التوبه : 3 )
Perkatan :  وَاَذَانٌ    tidak akan dibaca وَاَذَانٍ  karena perkataan ini mubtada’ yang menurut hukum ilmu nahwu harus marfu’ dengan dhammah.
Perkataan :  مِنَ اللهِ  tidak akan dibaca  مِنَ اللهُ  karena menurut ilmu nahwu, setiap isim yang datang sesudah huruf jar (min) mesti majrur, yaitu berharokat kasroh.
            Pekataan : وَاَذَانٌ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ   tidak akan dibaca  وَاَذَانٌ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلُهُ  karena kalimat Rasulihi itu mathuf kepada lafadz Allahi sebelumnya.
            Perkataan اَنَّ  tidak akan dibaca  اِنَّ  karena ia datang sesudah jumlah yang mestinya berharokat fathah.
            Perkataan : بَرِىْءٌ  tidak akan dibaca  بَرِىْءً  karena ia khabar anna mesti marfu’ (berharokat dhommah).
            Perkataan : مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ  tidak akan dibaca  مِنَ الْمُسْرِكِيْنَ  karena perkataan ini tidak ada artinya.
            Perkataan : وَرَسُوْلُهُ  tidak akan dibaca وَرَسُوْلِهِ  sebab ini sangat merusak artinya yang bisa menyesatkan.
            Pendeknya kalau sahabat-sahabat Nabi yang terdiri dari orang-orang Arab yang mengerti dan faham ilmu nahwu dan tata bahasa Arab, tentu mereka tidak akan salah membacanya sekalipun tidak pakai titik dan harokat.
            Misalnya : بَرِىْءٌ  tidak akan ada yang membaca dengan  نَرِىْءُ  atau  تَرِىْءٌ  atau  ثَرِىْءٌ  atau  يَرِىْءٌ tapi mesti dibaca  بَرِىْءٌ    karena inilah yang sesuai dengan susunan kalimat.

            Hal ini dapat juga dicontohkan pada tulisan Indonesia yang tidak pakai harokat, tentu dapat dibaca dengan tepat oleh orang Indonesia dan tidak akan salah. Umpamanya :

ساي مـلهـت كـمـبـڠ مـكـن كـمـبـڠ

          Tulisan ini mesti dibacanya dengan “Saya melihat kambing makan kembang.” Dan tidak akan dibaca :   
a. “Saya melihat kambing makan kambing.” Karena ini tidak mungkin
b. “Saya melihat kumbang makan kambing.” Juga tidak mungkin
c. “Saya melihat kumbang makan kumbang.” Juga tidak mungkin
d. “Saya melihat kambing makan kumbang.” Juga tidak mungkin


            Seorang jendral dari khalifah Bani Umaiyah Abdul Muluk bin Murwan, bernama Hajaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi sekita tahun 70 H memerintahkan kepada seorang ahli qira’at bernama Nashar bin ’Ashim supaya membuat titik ayat-ayat Al-Quran dan kepada Khalil bin Ahmad diperintahkan pula membuat harokat pada Al-Qur’an.
            Maka jadilah ia sebagai yang kita lihat sekarang. Hal ini dianggap sangat perlu karena kesalahan bacaan bisa merusak maknanya secara menyolok. Misalnya dalam ayat di atas, yaitu tentang kalimat وَرَسُوْلُهُ  yang terletak pada akhir ayat, kalau dibaca  وَرَسُوْلِهِ  maka artinya menjadi “bahwa sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrikin dan dari Rasul-Nya”.

            Seluruh umat Islam dari dulu sampai sekarang termasuk ulama’-ulama’nya, imam-imam Mujtahid menerima dengan baik titik dan harokat pada Al-Qur’an itu walaupun diadakan sesudah Nabi wafat. Dan ini dinamakan hukum ijma’ yaitu kesepakatan.

            Al Auza’i berkata dari Yahya bin abu Katsir : “Al-Qur,an itu dahulu kosong (dari titik dan harokat), yang pertama mereka adakan padanya adalah titik pada Ba’ dan Ya’ dan mereka mengatakan : Tidak mengapa dengannya, karena sesungguhnya hal itu adalah cahaya baginya. Sesudah itu mereka mengadakan titik-titik besar di akhir ayat. Dan mereka mengatakan tidak mengapa, dengannya diketahui permulaan ayat".

            Abu Bakar Al-Hudzali ra. berkata : “Saya bertanya kepada Al-Hasan tentang penambahan titik mushhaf dengan merah. Ia menjawab: Apakah yang kamu titik-titikkannya ? Saya berkata : Mereka meng-i’rabi kata-kata dengan bahasa Arab. Ia berkata : Adapun i’rab Al-Qur’an itu tidak mengapa.”

            Khalid bin Al-Hidza’ ra. berkata : “Saya masuk pada Ibnu Sirin, saya melihatnya sedang membaca pada mushhaf yang bertitik, padahal dulunya ia membenci titik-titik itu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar