Rabu, 19 Agustus 2015

SEJARAH SINGKAT KEOTENTIKAN AL-QUR’AN




            Al-Qur’an itu telah memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu dari sekian banyak ciri dan sifatnya itu adalah dia merupakan kitab suci yang keotentikannya (kemurniannya) itu dijamin oleh Allah swt. dan dia adalah kitab suci yang selalu dijaga dari pengurangan ataupun penambahan.
            Hal ini kita yakini karena Allah swt. sendiri telah berfirman dalam Al-Qur’an :

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ  ( الحجر: 9)

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S. Al-Hijr : 9) 
            Dalam hal ini ulama’ terkenal dari Mekah, Syeikh Muhammad Ali Ash-Shabuni berkata :
“Para ulama’ ahli tafsir telah berkata : Diantara keistimewaan Al-Qur’an yang agung adalah Allah telah menjaganya dari penggantian dan perubahan dengan dua cara, yaitu : Yang pertama, terjaga dengan tulisan dan yang kedua terjaga dengan hafalan. Hal ini berbeda dengan kitab-kitab suci lainnya, kitab-kitab suci lainnya selain Al-Qur;an itu hanya tertulis, tidak dihafalkan. Oleh karena itu logislah jika kitab suci mereka itu mengalami perubahan-perubahan dari aslinya. (Kitab Shafwan At-Tafaasiir).
Berdasarkan penjelasan ulama’ mufasirin tadi, menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu terjaga keotentikannya karena adanya dua hal yaitu : Al- hifdzu fish-shudur (pengafalan) dan Al-hifdzu fis-suthur (penulisan).

a. Penghafalan
            Pada permulaan Islam, bangsa arab adalah satu bangsa yang buta huruf, amat sedikit di antara mereka yang pandai menulis dan membaca. Oleh karena itu satu-satunya andalan mereka adalah hafalan. Masyarakat Arab khususnya, pada masa turunnya Al-Qur’an terkenal sebagai masyarakat  sederhana dan bersahaja. Kesederhanaan ini menjadikan mereka memiliki waktu luang yang cukup untuk menghafal Al-Qur’an dengan baik.
            Ayat-ayat Al-Qur’an turun secara bertahap, sedikit demi sedikit. Hal ini mempermudah pencernaan maknanya dan proses penghafalannya.
            Tiap-tiap diturunkan ayat-ayat itu  Nabi menyuruh menghafal kannya dan menuliskannya, di batu, kulit binatang, pelepah tamar, dan apa saja yang bisa disusun dalam sesuatu surat. Nabi menerangkan tertib urut ayat-ayat itu. Nabi mengadakan peraturan, yaitu Al-Qur’an sajalah yang boleh dituliskan , selain dari Al-Qur’an, Hadits atau pelajaran-pelajaran yang mereka dengar dari mulut Nabi, dilarang menulisnya. Larangan ini dengan maksud supaya Al-Qur’an itu terpelihara, jangan sampai barcampur aduk dengan yang lain-lain yang juga didengar dari Nabi.
            Nabi menganjurkan supaya Al-Qur’an itu dihafal, selau dibaca dan diwajibkannya membacanya dalam sembahyang.
Dengan jalan demikian banyaklah orang yang hafal Al-Qur’an. Surat yang satu macam, dihafal oleh ribuan manusia, dan banyak yang hafal seluruh Al-Qur’an.

b. Penulisan
            Sekalipun Nabi saw. dan para sahabat beliau menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, namun untuk menjamin terpeliharanya wahyu-wahyu Ilahi itu, beliau tidak hanya mengandalkan hafalan saja, akan tetapi juga tulisan. Tarikh Islam menginformasikan, bahwa setiap ada ayat yang turun, Nabi saw. Selalu memanggil Kuttab Al-Wahyi (para pencatat wahyu) untuk menuliskan ayat-ayat yang baru saja diterimanya sambil menyampaikan tempat dan urutan setiap ayat dalam setiap suratnya.
            Untuk membuktikan bahwa Al-Qur’an yang ada sekarang ini benar-benar otentik dan tidak berbeda sedikitpun dengan apa yang diterima dari Nabi saw. dahulu, kami akan mengemukakan sekelumit sejarah penulisan Mushhaf sebagai berikut :
            Diceritakan dalam sejarah bahwa pada masa pemerintahan Abu Bakar terjadi peperangan yang hebat untuk menumpas orang-orang murtad dan pengikut-pengikut orang yang mengaku dirinya nabi, diantara peperangan-peperangan itu yang terkenal adalah peperangan Yamamah.  Tentara Islam yang ikut dalam peperangan ini, kebanyakan terdiri dari para sahabat dan penghafal Al-Qur’an. Dalam peperangan itu telah gugur 70 orang penghafal Al-Qur’an. Bahkan sebelum itu gugur pula hampir sebanyak itu dari penghafal Al-Qur’an di masa Nabi saw. pada suatu pertempuran di sumur Ma’unah dekat kota Madinah.
            Oleh karena itu saidina Umar bin Khaththab  khawatir akan gugurnya para sahabat penghafal Al-Qur’an yang masih hidup, maka ia lalu datang kepada saidina Abu Bakar untuk memusyawarahkan hal ini. 
            Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan : 
أَنَّ زَيْدَابْنَ ثَابِتٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ : أَرْسَلَ إِلَيَّ أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ مَقْتَلَ أَهْلِ الْيَمَامَةِ فَإِذَا عُمَرُابْنُ الْخَطَّابِ عِنْدَهُ. قاَلَ أَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : إِنَّ عُمَرَ أَتَانِيْ فَـقَالَ : إِنَّ الْقَتْلَ قَدِاسْتَحَرَّ يَوْمَ الْيَمَامَةِ بِقُرَّاءِ الْقُرْآنِ وَ إِنِّيْ اَخْشٰى أَنْ يَسْتَحِرَّ الْقَتْلَ بِالْقُرَّاءِ بِالْمَوَاطِنِ فَيَذْهَبُ كَثِيْرٌ مِنَ الْقُرَّاءِ وَ إِنِّيْ أَرٰى أَنْ تَأْمُرَ بِجَمْعِ الْقُرْآنِ، قُلْتُ لِعُمَرَ : كَيْفَ نَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قاَلَ  عُمَرُ : هَذِهِ وَاللهِ خَيْرٌ. فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِيْى حَتّٰى شَرَحَ اللهُ صَدْرِيْ لِذٰلِكَ. وَرَأَيْتُ فِى ذَلِكَ الَّذِيْ رَاٰى عُمَرُ. قاَلَ زَيْدٌ، قاَلَ أَبُوْ بَكْرٍ: إِنَّكَ رَجُلٌ شّابٌّ عَاقِلٌ لاَ نَـتَّهِمُكَ وَقَدْ كُنْتَ تَكْتُبُ الوَحْيِ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَـتَـبَّعِ لْقُرْآنَ فَاجْمَعْهُ. فَوَاللهِ لَوْ كَانُوْا كَلَّـفُوْنِيْ نَـقْلَ جَبَلٍ مِنَ الْجِبَالِ مَا كَانَ أَثْـقَلَ إِلَيَّ مِمَّا أَمَرَنِيْ بِهِ مِنْ جَمْعِ لْقُرْآنِ، كَيْفَ تَفْعَلُوْنَ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَ : هُوَ وَاللهِ خَيْرٌ. فَلَمْ يَزَلْ أَبُوْ بَكْرٍ يُرَاجِعُنِيْ حَتّٰى شَرَحَ اللهُ صَدْرِيْ لِلَّذِيْ شَرَحَ لَهُ صَدْرَ أَبِى بَكْرٍ وَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَتَـتَـبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ مِنَ الْعَسَبِ وَاللِّحَافِ وَصُدُوْرِ الرِّجَالِ الْحَدِيْثِ.
“Bahwasanya Zaid bin Tsabit ra berkata : Abu Bakar Shiddiq (khalifah pertama) memanggil saya sesudah terjadi peperangan Yamamah, dimana banyak sahabat-sahabat Nabi saw. mati syahid. Saya dapati di hadapan beliau ada Sayyidina Umar bin Khaththab. Berkata Abu Bakar ra : Sesungguhnya Umar mendatangiku dan mengatakan kepada saya bahwa banyak ahli-ahli Qur’an (yang menghafal Al-Qur’an) wafat dalam peperangan yamamah. Saya hawatir kalau-kalau mereka banyak yang wafat dalam medan-medan perang yang lain, sehingga ayat Qur’an bisa hilang. Umar mendesak kepada saya supaya mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushhaf, lalu saya berkata kepadanya : Bagaimana engkau akan membuat suatu pekerjaan yang tidak dibuat oleh Rasulullah? Umar menjawab, demi Allah. Pekerjaan ini baik. Umar selalu meyakinkan saya sampai Allah menjernihkan dada saya dan saya setuju, dan akhirnya saya sependapat dengan Umar. Berkata Zaid, berkata Abu Bakar kepadaku : Engkau seorang pemuda pintar yang dipercaya. Engkau pada masa Nabi saw. masih hidup menjadi penulis wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasulnya. Cobahlah kumpulkan wahyu itu. Demi Allah (jawab Zaid), kalau engkau perintahkan saya untuk memindahkan sebuah gunung dari beberapa gunung, barang kali tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Bagaimana bisa membuat sesuatu yang tidak dibuat Rasulullah saw? Abu Bakar mendesak, Demi Allah ini baik. Maka Abu Bakar selalu meyakinkan saya, kata Zaid. Sehingga Tuhan membukakan hati saya sebagaimana hati Abu Bakar dan Umar. Maka saya cari ayat-ayat Al-Qur’an itu dan saya kumpulkan di mana pada mulanya ditulis di atas pelapah tamar, batu-batu putih dan yang ada di dalam dada para sahabat-sahabat Nabi saw. (H.R. Bukhari – Kitab Fathul Bari).

            Adapun dipilihnya Zaid bin Tsabit sebagai ketua tim penulis Mushaf ini,  karena ia seorang  anak muda yang cerdas,  penuh  dedikasi  dan berdisiplin tinggi, juga termasuk salah seorang yang ditugaskan oleh Nabi saw. pada masa beliau hidup untuk menuliskan wahyu Al-Qur’an.
            Dengan dibantu beberapa orang sahabat Nabi saw. Zaid pun memulai tugas sucinya itu. Abu Bakar ra. Memerintahkan kepada kaum muslim untuk membawa naskah tulisan Al-Qur’an yang mereka miliki ke Masjid Nabawi, kemudian diteliti oleh Zaid bin Tsabit dan timnya. Dalam hal ini Abu Bakar memberi petunjuk agar tim tersebut tidak menerima satu naskahpun kecuali yang telah memenuhi dua syarat berikut uni :
            Syarat pertama, tulisannya itu harus sesuai dengan hafalan para sahabat yang lain dan syarat kedua, tulisannya itu benar-benar ditulis atas perintah Nabi saw. dan ditulis dihadapan beliau, karena ada sebagian sahabat yang menulis Al-Qur’an atas inisiatif sendiri. Dan untuk membuktikan syarat kedua tersebut, diharuskan adanya dua orang saksi mata.
            Sejarah telah mencatat, bahwa Zaid bin Tsabit ketika itu menemukan kesulitan karena ia dan para sahabat menghafal ayat berikut ini :

لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ ( التوبة : 128)

Yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 128, tetapi naskah yang ditulis di hadapan Nabi saw. tidak ditemukan. Syukurlah pada akhirnya naskah terebut ditemukan juga di tangan seorang sahabat Nabi saw. yang bernama Abu Khuzaimah Al-Anshari ra.
            Mushhaf yang dikumpulkan Zaid bin Tsabit tersimpan pada saidina Abu Bakar sampai beliau wafat dan sesudah itu mushhaf ini jatuh ke tangan Saidina Umar bin Khaththab (klalifah kedua), dan sesudah Umar bin khaththab wafat, mushhaf ini disimpan oleh siti Hafshah binti Saidina Umar ra. istri Rasulullah saw.
            Di masa khalifah Utsman bin Affan ra. Pemerintahan mereka telah sampai ke Armenia dan Azarbaiyan di sebelah timur dan Tripoli di sebelah barat. 
            Ke mana mereka pergi, dan di mana mereka tinggal Al-Qur’an itu tetap jadi imam (panutan) mereka.
            Pada mereka ada naskah-naskah Al-Qur’an itu, tetapi naskah-naskah yang mereka punyai itu tidak sama susunan surat-suratnya.
            Begitu juga ada didapat di antara mereka perbedaan tentang bacaan Al-Qur’an itu. Asal mulanya perbedaan bacaan ini ialah karena Rasulullah saw. sendiripun memberi kelonggaran kepada kabilah-kabilah Arab yang berada di masanya, untuk membaca dan melafadzkan Al-Qur’an itu menurut lajnah (dialek) mereka masing-masing. Kelonggaran ini diberikan oleh Nabi saw. supaya mudah mereka menghafal Al-Qur’an ini.
            Tetapi kemudian kelihatan tanda-tanda bahwa perbedaan tentang bacaan Al-qur’an ini kalau dibiarkan, akan mendatangkan perselisihan dan perpecahan yang tidak diinginkan dalam kalangan kaum Muslimin.
            Orang yang mula-mula memperhatikan hal ini adalah seorang sahabat yang bernama Huzaifah bin Yaman.
            Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutka : 
“Bahwasanya Huzaifah bin Yaman ra. Datang kepada saidina Utsman ra. (khalifah ketiga). Ketika itu Huzaifah mengepalai jihad di daerah Syam dalam memerangi Armenia dan Azarbaiyan. Huzaifah sangat terkejut mendengar perbedaan-perbedaan prajurit dalam membaca Al-Qur’an. Maka datanglah Huzaifah kepada khalifah Utsman bin Affan, lalu beliau berkata : Wahai khalifah, buru-burulah menolong umat Islam sebelum mereka berselisih tentang kitab suci sebagai perselisihan Yahudi dan Nashara. Maka Saidina Utsman meminta kepada siti Hafshah agar kumpulan Al-Qur’an yang ada di tangan beliau diberikan kepadanya untuk disalin dan kemudian dikembalikannya. Maka siti Hafshah memberikan mushhaf yang disimpannya itu kepada saidina Utsman bin Affan. Saidina Utsman menunjuk empat orang sahabat untuk menyalin Al-Qur’an itu, yaitu : Zaid bin Tsabit (penulis wahyu di zaman Rasulullah saw), Abdullah bin Zubair, Said bin ‘Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam. Keempat sahabat ini menyalin mushaf itu dan menjadikannya banyak mushhaf. Saidina Utsman memerintahkan kepada 3 orang anggota panitia yang semuanya dari suku Quraisy : Kalau kamu berbeda faham dengan Zaid bin Tsabit tentang tulisan-tulisan Al-Qur’an, maka pakailah menurut bahasa (dialek) Quraisy karena Al-Qur’an diturunkan sesuai dengan dialek Quraisy. Maka semua panitia bekerja. Sesudah selesai menyalin mushaf itu maka Saidina Utsman mengembalikan mushhaf yang dipinjamnya dari siti Hafshah. Saidina Utsman mengirim setiap naskah mushhaf itu ke pelosok daerah dan memerintahkan supaya sekalian ayat-ayat yang ditulis di atas tulang-tulang, tembikar-tembikar dan lain-lain, dihapuskan atau dibakar. (H.R. Bukhari – Kitab Fathul Baari).
            Al-Qur’an yang telah dibukukan ini dinamai “Al-Mushhaf” (Isim maf’ul dari ashhafa, dan ashhafa artinya mengumpulkan, shuhuf jamak dari shahifah artinya lembaran-lembaran yang telah bertulis.
            Dalam Sejarah diterangkan panitia yang dibentuk Saidina Utsman menulis lima buah Mushhaf. Empat buah diantaranya dikirim ke Mekah, Syiria, Basrah dan Kufah, agar di tempat-tempat itu disalin pula dari masing-masing mushhaf itu, dan satu buah lagi ditinggalkan di Madinah untuk Saidina Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai dengan “Mushhaf Al-Imam.”
            Sedangkan di Indonesia, pemerintah Indonesia sudah mempunyai Al-Qur’an pusaka berukuran 1 x 2 meter, yang ditulis dengan tangan oleh penulis-penulis Indonesia sendiri, mulai tanggal 23 Juni 1948 sampai 15 Maret 1960, yang sekarang disimpan di Masjid Baiturrohim dalam istana negara. Al-Qur’an pusaka itu selain untuk menjaga kesucian dan kemurnian Al-Qur’an, juga dimaksudkan untuk menjadi induk dari Al-Qur’an yang diterbitkan di Indonesia.
            Selain itu di pondo-pondok pesantren, madrasah-madrasah sampai perguruan tinggi terdapat pula usaha-usaha menghafal Al-Qur’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar